» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Diskriminasi Rasial : dari Sharpeville hingga Yogyakarta
21 Maret 2018 | Opini | Dibaca 2377 kali
Diskriminasi Rasial : dari Sharpeville hingga Yogyakarta: - Foto: Pinterest
Hari ini, 68 tahun yang lalu, di kota Sharpeville terjadi demonstrasi orang-orang kulit hitam yang memprotes kebijakan yang mendiskriminasi mereka. Momentum ini dinobatkan oleh UNESCO sebagai Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial, tiap tanggal 21 Maret.

retorika.id - Sharpeville, ia lahir ketika orang-orang mati. Perlawanan bersetubuhan dengan pembantaian. Suara tembakan menyambut kelahirannya. Darah yang tumpah ruah menangisi kehadirannya. Ia adalah tragedi itu, yang melebur hitam-putih menjadi abu-abu. Sebuah abu-abu harapan akan keadilan dan persamaan.

Hari ini, 68 tahun yang lalu, di kota Sharpeville terjadi demonstrasi orang-orang kulit hitam yang memprotes kebijakan yang merugikan mereka. Kebijakan diskriminatif tersebut mewajibkan orang kulit hitam membawa buku referensi yang berisi identititas pribadi seperti nama, majikan dan nomor pajak. Sekitar 5000 orang kulit hitam sengaja melanggar aturan tersebut sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang disriminatif. Hal ini berlanjut dengan dilakukannya berdemontrasi secara damai di depan kantor polisi Sharpeville oleh mereka.

Awalnya demonstrasi tersebut berlangsung secara damai hingga tiga jam kemudian beberapa demonstran melakukan aksi lempar batu. Pihak kepolisian sendiri sebenarnya telah mengingatkan demonstran untuk membubarkan diri, tetapi demonstran enggan untuk membubarkan diri hingga kemudian pihak kepolisian Sharpeville melakukan penembakan secara acak ke arah demonstran. Hal tersebut membuat demonstran berlarian dan terluka bahkan menimbulkan korban jiwa sebanyak 69 orang.


style="text-align: left;">Tragedi tersebut memang merupakan memori yang pahit jika dikenang, utamanya terkait pembantaian yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Tetapi perlawanan yang ditunjukkan oleh ribuan orang kulit hitam tersebut menginspirasi gerakan-gerakan lain yang menentang diskriminasi rasial. Hal inilah yang melatarbelakangi UNESCO untuk mengenang tragedi Sharpeville tersebut sebagai Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial, tiap tanggal 21 Maret. Hari di mana setiap entitas diskriminasi yang berbasis perbedaan ras mesti dilawan hingga tereliminasi.

Hari ini sepertinya peringatan akan eksistensi diskriminasi akan tetap relevan. Apalagi bentuk diskriminasi sekarang tidak hanya berbasis pada perbedaan ras tetapi juga berlandaskan perbedaan etnis atau suku bangsa, agama, bahkan jenis kelamin dan orientasi seksual. Rasa-rasanya entitas diskriminasi memiliki beragam rupa layaknya dasamuka. Ragam rupanya merupakan bukti bahwa ia juga berkembang biak dan menyebar tak kenal ruang.

Di Indonesia sendiri, diskriminasi juga memiliki eksistensinya sendiri. Meskipun katanya Indonesia adalah bangsa yang berideologikan Pancasila, yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan, bangsa yang juga berprinsipkan pluralisme, yang menghendaki pluralitas di dalamnya. Tetapi masyarakat Papua, etnis Tionghoa, penyandang disabilitas hingga istilah non-pribumi yang sering digunakan dalam agenda populis merupakan saksi keberadaan diskriminasi di Indonesia.

Sebulan yang lalu, ramai diberitakan gugatan dari seorang warga etnis Tionghoa yang tidak bisa membalik nama tanah yang telah dibelinya di Yogyakarta. Hal itu terjadi karena identitasnya sebagai warga etnis Tionghoa non-pribumi. Singkatnya, warga yang dianggap non-pribumi tidak bisa memiliki Surat Hak Milik tanah di Yogyakarta. Akibatnya tanah yang telah dibeli warga non-pribumi statusnya menjadi Hak Guna Bangunan, yang mana tanah menjadi hak milik negara dalam hal ini Pemerintah Provinsi Yogyakarta. Aneh, warga negara membelikan tanah untuk negara.

Kebijakan yang diskriminatif ini muncul setelah Undang-Undang nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pengesahan Undang-Undang tersebut secara otomatis memunculkan kembali Intruksi 5 Maret 1975 yang tidak memperbolehkan warga non-pribumi untuk memiliki hak kepemilikan tanah di Yogyakarta.

Intruksi tersebut sebenarnya bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 28 I ayat 2 yang menyebut, “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Selain itu kebijakan tersebut juga bertentang dengan berbagai produk hukum lain seperti UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Bertolak dari kasus-kasus tersebut sepertinya kita mesti memperingati Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial tiap tahun. Bukan karena diskriminasi rasial tersebut telah “hilang”,  malah diskriminasi akan terus ada sepanjang masyarakat tumbuh. Peringatan hari ini juga merupakan bagian kita dalam mewarisi semangat demontran Sharpeville untuk terus melawan berbegai bentuk diskriminasi, khususnya diskriminasi rasial.

 

Referensi :

1960 : Scores die in Sharpeville shoot-out (Maret, 21). Dilansir dari BBCNews

Susahnya Tionghoa Punya Tanah di Yogya. (2016, Oktober 5). Dilansir dari laman Tirto.id

 

Penulis : Moch. Khoirudin


TAG#demokrasi  #demonstrasi  #politik  #satire