Aksi Cor Kaki sebagai wujud solidaritas bagi warga rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Gunungsari diselenggarakan di depan Gedung Negara Grahadi pada Kamis (06/06/2024). Aksi ini melayangkan tuntutan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang dinilai mengabaikan hak warga rusunawa akan tempat tinggal yang layak. Aksi ini diikuti oleh berbagai elemen masyarakat yang menyayangkan tindakan pemerintah dalam pengusiran paksa warga Rusunawa Gunungsari.
Retorika.id - Massa dari berbagai elemen masyarakat berkumpul di depan Gedung Negara Grahadi untuk menuntut hak para korban penggusuran paksa rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Gunungsari Surabaya pada Kamis (06/06/2024). Massa aksi yang bertajuk “Aksi Cor Kaki: Solidaritas bagi Korban Penggusuran Paksa Rusunawa Gunungsari Surabaya” ini terdiri dari warga rusunawa Gunungsari, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Komunitas Pemuda Independen (KOPI), Perempuan Bercahaya Jatim, Persatuan Buruh Pasar Tradisional (PBPT), Persatuan Rusun Nusantara (PRN), Paguyuban Arek-arek Jawa Timur (Pagar Jati), serta elemen masyarakat lainnya.
Aksi ini merupakan buntut dari penggusuran paksa warga rusunawa yang dilakukan aparat pada 16 Mei 2024 akibat belum dibayarnya biaya sewa. Setelahnya, pada tanggal 22 Mei 2024, telah dilakukan mediasi bersama Komisi D DPRD Jawa Timur terkait tindak lanjut dari pengajuan keringanan pelunasan biaya sewa.
Namun, pihak Komisi D menolak pengajuan keringanan dan hanya memberi tenggat waktu selama 2 bulan untuk melunasinya secara langsung. Hal ini tentu menyulitkan warga korban karena tidak adanya keringanan untuk melunasi biaya sewa dengan sistem cicilan.
Melalui aksi ini, massa mengecam segala bentuk represivitas dan tindak kekerasan terhadap warga korban penggusuran. Cor kaki juga dilakukan sebagai aksi simbolik untuk menyuarakan protes atas kebijakan pemerintah yang dinilai tidak dapat memberikan ruang bagi
korban untuk mendapat hunian tetap yang layak sesuai dengan hak yang seharusnya mereka dapatkan.
Ketiadaan pemerintah dalam memastikan terpenuhinya hak-hak warga atas hunian yang layak sebagaimana tercantum dalam pasal 28 H ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak” turut melatarbelakangi aksi ini.
Aksi ini memuat beberapa tuntutan yang merupakan manifestasi keresahan korban atas tindak represif pemerintah selama proses penggusuran paksa ini. Tuntutan-tuntutan tersebut diantaranya sebagai berikut:
-
Menolak relokasi ke Liponsos Surabaya karena berdampak pada akses pendidikan anak, pekerjaan, kesejahteraan, kesehatan dan tempat tinggal layak;
-
Warga ex. Stren Kali Jagir terdampak pengusiran dapat kembali menempati unit di Rusunawa Gunungsari;
-
Memberikan keringanan pembayaran tunggakan sewa Rusunawa Gunungsari; dan
-
Evaluasi pengelolaan Rusunawa Gunungsari karena telah dihuni warga yang tergolong secara ekonomi mampu/kaya/bukan MBR.
Salah satu keresahan warga korban penggusuran Rusunawa Gunungsari adalah adanya penghuni rusunawa yang sebenarnya tergolong keluarga mampu. Poin ini tentu dapat menjadi sorotan mengingat rusunawa yang dibangun seharusnya dapat memfasilitasi dan mengutamakan fungsinya sebagai hunian bagi masyarakat prasejahtera.
Bayu Kuntoro Mukti, perwakilan warga rusunawa mengklaim bahwa saat ini terdapat sejumlah keluarga yang seharusnya tidak menempati rusunawa tersebut.
“Rusun sudah dialihfungsikan bukan hanya untuk MBR. Dulu 80 persen penghuninya adalah warga Eks Stren Kali Jagir, sekarang hanya 40 persen. 60 persen penghuni yang sekarang ini sebenarnya mampu untuk punya rumah yang layak (tidak seharusnya di rusun, -red), tapi malah kita yang diusir.”
Hal ini membuat massa aksi merasa pemerintah perlu mengevaluasi kembali peruntukan rusunawa yang tidak sesuai dengan tujuan awal pembangunannya sebagai hunian bagi masyarakat prasejahtera.
Penolakan relokasi hunian ke Liponsos menurut warga juga tidak etis, karena masih terdapat banyak aspek yang perlu dipertimbangkan dengan adanya relokasi tersebut seperti bagaimana mereka dapat beradaptasi terkait dengan hal-hal seperti pekerjaan, keluarga, pendidikan, dan lain-lain.
“Kita kan bukan orang yang terlantar, kita juga berkeluarga, kan nggak mungkin kita berkeluarga di sana. Terkait anak-anak yang sekolah akhirnya juga berantakan semua pendidikan anak. Pekerjaan juga terdampak karena warga rusun sebagian besar bekerja di sekitar rusun,” sambung Bayu.
Pasca 16 Mei 2024 hingga saat ini, mediasi yang telah dilakukan terpantau belum menunjukkan adanya perkembangan apapun dari pemerintah. Sejumlah 38 kepala keluarga memutuskan untuk bertahan di pendopo sementara. Namun, upaya penggusuran kembali dilakukan pemerintah dengan melakukan pemutusan saluran air dan perusakan tenda yang didirikan secara mandiri oleh warga.
Bahkan, berbagai tekanan masih dilakukan oleh aparat hingga saat ini. Berdasarkan informasi terbaru yang didapat, hari ini, Kamis, (06/06/2024), sejumlah warga yang terdiri dari 3 perempuan dan 1 warga lanjut usia yang masih menetap di pendopo kembali mendapat intimidasi dari pihak aparat ketika aksi berlangsung.
Massa aksi secara kolektif berencana untuk terus menggelar aksi hingga tuntutan dikabulkan oleh pemerintah provinsi. “Aksi tidak akan berhenti disini, tapi sampai ada keputusan yang baik pemprov untuk memfasilitasi rumah yang layak untuk kaum miskin.” jelas SA Saputro, salah satu perwakilan massa aksi.
Massa aksi juga akan terus mengawal tuntutan dan memutuskan akan menginap di depan Taman Apsari hingga pemerintah memberikan kembali hak atas hunian yang layak kepada mereka.
Penulis: Aveny Raisa dan Khumairok Nurisofwatin
TAG: #surabaya #wong-cilik # #