» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Liputan Khusus
Etika Berinternet: Kritik Terhadap Gubes UNAIR dan Tercorengnya Wajah Institusi?
18 Agustus 2022 | Liputan Khusus | Dibaca 888 kali
Media sosial baru-baru ini tampak ricuh dengan adanya berita pemblokiran akses internet oleh Kemenkominfo. Twitter pun juga tidak luput dari berita tersebut. Kala itu perdebatan panas banyak terjadi, diantaranya adalah perdebatan antara salah satu guru besar Unair dan akun partai Socmed yang memiliki 214 ribu pengikut. Dosen tersebut adalah Henry Subiakto, yang merupakan dosen program studi Ilmu Komunikasi dan sekaligus juga merangkap sebagai anggota staf ahli Menkominfo.

Retorika-id. Pada 3 Agustus 2022 akun twitter @PartaiSocmed mengunggah sebuah cuitan yang berbunyi “Baiklah, kami buka sedikit ancaman dan body shaming yang dilakukan oleh guru besar @Unair_Surabaya terhadap kami. Apa tujuannya coba @henrysubiakto kirim DM seperti ini?”

Kemudian akun tersebut mencantumkan sebuah tangkapan layar yang menunjukkan percakapannya dengan akun Twitter Henry Subiakto. Diperlihatkan Henry mengirimkan pesan “Hei pendek, kalau sama aku jangan sok pinter,” yang dibalas oleh akun @PartaiSocmed “Sekarang lewat DM? Kok jadi body shaming prof? Emosi ya?”

Henry melanjutkan dengan “Artinya aku tahu kamu,” dan “Makanya jangan kurang ajar.”

Perkataannya ini dinilai secara implisit mengancam dan mengarah pada perbuatan doxxing. Perbuatannya itu pun menuai kritikan panjang dari warganet. Namun tak sedikit pula yang mendukung beliau dan melawan


kubu akun Partai Socmed.

Perdebatan masih terus berlanjut dan berlangsung kian rungsing, sampai saat berita ini ditulis (09/08/2022), akun Twitter Henry Subiakto mengunggah sebuah gambar yang setelahnya terungkap adalah gambar yang telah diedit. Gambar itu adalah gambar akun @PartaiSocmed yang (seolah-olah) mengatakan “Jokowi itu hanya boneka bodoh yang diperalat PDI Megawati yang tua bangka,” Henry pun menambahkan caption “Ini contoh kejahatanmu, yg tdk bisa kamu hapus. Ini hanya salah satu,”

Akun @PartaiSocmed pun menanggapi bahwa ia tidak pernah membuat cuitan tersebut dan hal ini menunjukkan bahwa Henry Subiakto selaku guru besar UNAIR terjebak menyebarkan berita hoaks. Henry kemudian menyangkal bahwa ia tidak akan dikenakan sanksi karena menyebar tangkapan layar hoaks tersebut, yang mengedit tangkapan itulah yang akan dijerat hukum, ia juga menambahkan bahwa ia bisa memberi “pelajaran” mengenai UU ITE terhadap pemilik akun Twitter @PartaiSocmed.

Terdapat beberapa masalah yang muncul dari peristiwa ini. Pertama, Henry sebagai seorang guru besar Universitas Airlangga, khususnya FISIP, melekatkan identitasnya pada institusi Universitas Airlangga. Mau tidak mau, ia akan dilihat sebagai wajah Universitas Airlangga di mata masyarakat. Setiap perilakunya akan dianggap merepresentasikan Universitas Airlangga, karena bagaimanapun Henry adalah seorang guru besar. Beberapa warganet nampak sangsi dengan reputasi prestisius Universitas Airlangga sebagai dampak dari kata-kata dalam cuitan Henry yang dinilai kurang sopan.

Apalagi di internet, yang bisa diakses masyarakat luas. Jejak digital di internet juga tidak akan hilang karena siapapun bisa mengambil tangkapan layar.

Karenanya, etika berinternet sangat dibutuhkan dalam berselancar di dunia maya. Etika ini terdiri dari beberapa poin seperti tidak menyinggung SARA, doxxing, dan lainnya. Perilaku yang ditunjukkan Henry kurang sesuai dengan hal ini.

Memang, kebebasan berpendapat dijamin oleh undang-undang. Akan tetapi, kebebasan yang besar melekat dengan tanggung jawab yang besar pula. Tanggung jawab untuk memanfaatkan kebebasan tersebut dengan sebaik-baiknya. Apa yang dilakukan Henry, sayangnya, tidak terlihat dalam peristiwa twit war yang terjadi belakangan ini.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai mahasiswa? Untuk menjaga nama almamater tercinta, salah satu hal yang bisa kita lakukan adalah menaati standar-standar etika yang berlaku di internet. Memang, tidak ada batasan pakem terkait bagaimana cara kita berinteraksi di dunia maya. Namun, sebagai masyarakat beradab, kita pastinya mengetahui batas-batas norma dan etika di dunia nyata. Sederhananya, jangan katakan di dunia maya apa yang tidak akan kita katakan di dunia nyata.

 

Penulis: Ghulam Pambayung & Jingga Ramadhintya

Editor: Ega Putra

 


TAG#humaniora  #politik  #sosial  #universitas-airlangga