» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Liputan Khusus
Indeks Optimisme pada Generasi Muda Naik, Jangan Sampai Jadi Frustasi
18 Agustus 2021 | Liputan Khusus | Dibaca 1274 kali
Indeks Optimisme pada Generasi Muda Naik, Jangan Sampai Jadi Frustasi: - Foto: Tangkapan layar GNFI
Jumat (13/8/2021) GNFI bekerjasama dengan KedaiKOPI mengadakan disukusi tentang Laporan Survei Indeks Optimisme pada Generasi Muda. Diskusi tersebut menghadirkan Najelaa Shihab, Roby Muhammad, dan Ahmad Erani Yustika sebagai pembicara. Dari hasil survei yang didapat, pembicara mencatat berbagai poin yang harus diperhatikan. Termasuk pengertian optimisme generasi muda saat ini, hasil tingkat optimisme terkait sektor pendidikan dan kebudayaan yang tinggi, serta tingkat optimisme sektor politik dan hukum yang rendah.

Disukusi tentang Laporan Survei Indeks Optimisme pada Generasi Muda telah diadakan pada Jumat (13/8/2021). Diskusi tersebut menghadirkan Najelaa Shihab, Roby Muhammad, dan Ahmad Erani Yustika sebagai pembicara. Tahun ini, Survei yang diadakan oleh Good News From Indonesia (GNFI) bekerja sama dengan lembaga survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) yang bertujuan untuk mengukur dampak pandemi Covid-19 yang telah mengubah perilaku, kebiasaan, dan dinamika kehidupan masyarakat.

Survei tahun ini membagi perhatian pada lima isu utama, di antaranya Pendidikan dan Kebudayaan, Kebutuhan Dasar, Ekonomi dan Kesehatan, Kehidupan Sosial, dan Politik dan Hukum. Berdasarkan data secara keseluruhan, generasi muda merasa optimistis terhadap masa depan Indonesia dengan net index 67,0%. Artinya, generasi muda memiliki kualifikasi optimisme yang tinggi.

Berdasarkan lima sektor yang diteliti, tingkat optimisme paling tinggi berada pada sektor pendidikan dan kebudayaan dengan net index 83,9%. Sektor berikutnya adalah kebutuhan dasar dengan net index 75,1%. Kemudian, sektor ekonomi dan kesehatan dengan net index 64,5%. Hal ini cukup mencengangkan, sebab pada masa pandemi Covid-19 ini, Indonesia tengah mengalami perlambatan ekonomi dan terbatasnya peralatan medis.

Sementara sektor kehidupan sosial menyusul dan menempati posisi ke-4 dengan net index 50,5%. Terakhir, net index optimisme paling rendah ditujukan pada bidang politik dan hukum yakni 28,1%. Bahkan presentasi tersebut masuk dalam klasifikasi tingkat optimisme rendah/pesimis.

Kritik terhadap Optimisme Generasi Muda

Mulanya, pengertian optimisme ini masih menjadi perdebatan. “Saat kita mendesain survei ini ada perdebatan soal, ‘Apa itu optimisme?’ Apakah kita mau pakai optimisme yang besar dengan negara Indonesia akan menjadi negara yang kuat, atau optimisme yang sifatnya efikasi (red. kemampuan untuk mencapai tujuan atau hasil yang diinginkan).” ucap Kunto Adi Wibowo, Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI & Peneliti Komunikasi Media. Namun, setelah dibagi menjadi dua, optimisme dalam survei ini difokuskan pada efikasi.

Menurut Akhyari Hananto, Pendiri dan Pemimpin Redaksi GNFI. Survei ini berguna untuk memberikan insight isu-isu yang dapat membuat anak muda generasi sekarang optimis. Dan juga mendorong critical thinking bagi audiens dalam melihat kedua fenomena tersebut.

Najelaa Shihab, Pendidik dan Inisiator Semua Murid Semua Guru juga berujar, hasil survei di atas tentu menjadi kabar baik bagi negara. Data-data


tersebut juga berguna bagi pemangku pembuat kebijakan. Optimisme juga dapat menjadi modal untuk sehat jiwa dan raga karena mengubah mindset ataupun kebiasaan melihat dunia dalam perspektif yang lebih positif.

Namun, dalam proses diskusi itu pula muncul pertanyaan dari peserta yakni Dr. Suko Widodo, M.Si., selaku Pakar Komunikasi Universitas Airlangga. Apakah negara telah memfasilitasi ruang bagi mereka mewujudkan harapannya (red.optimisme anak muda)? Sebab apabila optimisme bertemu dengan realitas yang tak mendukungnya (realitas sosial), berpotensi melahirkan kekecewaan dan frustasi yang harus diantisipasi.

Menanggapi hal tersebut, Najelaa sependapat bahwa optimisme yang harus di terapkan adalah realistic optimism. “Kita juga nggak mau, optimisme yang kemudian muncul di pemuda-pemuda kita itu adalah optimisme yang nggak jejeg gitu ya, nggak berdasarkan data karena nggak adanya critical mindest, dsb. Jadi perlu berhati-hati juga melihat hasil surveinya,“ terangnya.

Senada dengan Najelaa, Robby Muhammad Pakar Sosiolog dan Akademisi juga menyampaikan, optimisme untuk generasi muda memang harus ada tetapi harus juga dilihat, kemana dukungan tersebut akan diberikan.

“Masalahnya nanti dia akan ikut otoritas yang mana? Karena bisa jadi otoritas ini punya kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan bisa ujung-ujungnya: katakanlah merusak relasi yang ada. Jadi ke depan itu, saya terus melihat, masalahnya bukan optimisme yang turun tapi begitu banyak kantong-kantong opini yang fanatik dalam apapun. Karena optimisme ini inheren.”

Ahmad Erani selaku Pakar Ekonomi dan Guru Besar Universitas Brawijaya juga mengingatkan, bahwa dalam melihat survei tersebut, kita perlu memperhatikan karakteristik responden. Generasi anak muda zaman sekarang hakikatnya berada dalam dunia yang serba ringkas, cepat, dan segala sesuatunya dapat difasilitasi dengan teknologi. Oleh karena itu, mereka lebih percaya diri dan independen.

Selain itu, mereka juga sangat gandrung dengan perubahan dan tantangan, tidak terlalu suka dunia yang statis, tapi berharap ada lompatan-lompatan untuk menjadikannya peluang, dan sebagai terobosan baru. Yang tak kalah penting, pada survei kali ini, responden diambil dari generasi muda yang tinggal di kota-kota besar di Indonesia. Sehingga mereka labih masif memperoleh informasi.

Kemampuan dalam menggunakan teknologi itu membuat anak muda zaman sekarang dapat memberikan opininya di berbagai media sosial. Akibatnya, ada kontestasi opini publik baik yang bersifat positif maupun negatif. Selain itu, mereka juga lebih cerdas dalam menyaring informasi. Menurut Erani, ini sesuatu yang membanggakan, karena untuk generasi X sekalipun belum tentu bisa melakukan seleksi informasi dengan baik.

Namun, generasi muda saat ini juga selalu mempertanyakan otoritas. Sehingga mereka merasa pesimis soal kredibilitas kebijakan pemerintah. Erani mengkhawatirkan optimisme yang dimiliki anak muda saat ini akan menjadi optimisme bersyarat melihat karakteristik generasi mudanya. “Optimisme bersyarat maksudnya mereka hari ini melihat situasi tidak semuram seperti yang mereka harapkan. Tapi ujungnya nggak enak: pemerintah mesti lebih pintar lagi mengurus negara, sediakan lapangan pekerjaan, harus dibenahi.”

Namun, di atas segalanya Erani berujar jika hasil survei ini merupakan sebuah peluit yang nyaring dan mesti didengar oleh pemerintah, agar makin beradaptasi dengan perbaikan kuantitas kebijakan.

Hasil Optimisme Pendidikan dan Kebudayaan yang Tinggi, Serta Politik dan Hukum yang rendah

Berkaitan dengan hasil optimisme pendidikan dan kebudayaan yang memiliki net index tinggi, Najelaa merasa bimbang antara sedih atau senang mendengar laporan tersebut.

“Padahal pendidikan itu harus dilihat dalam konteks ekosistemnya, perspektifnya. Betapa pendidikan itu sangat amat terkait dengan semua sektor lainnya. Saya antara bangga dan sedih sih, kok pendidikan yang paling tinggi. Harusnya mungkin, kalau lihat (red.sektor) yang lain rendah. Dan kalau kita percaya, pendidikan itu hulunya dari berbagai hal. Mungkin pendidikan yang paling rendah dibandingkan dengan yang lain,” ucap Najelaa.

Jika berbicara soal alasan generasi optimis dalam sektor pendidikan karena aksesnya yang mudah, responden juga perlu mencatat. Akses pendidikan saat ini memang memiliki capaian-capaian yang baik. Tetapi akses tersebut tidak selalu disertai dengan kualitas pendidikan yang baik pula. Ini juga terjadi di semua jenjang termasuk perguruan tinggi yang dinilai menjadi alasan kuat optimis oleh pemuda. Selain itu, kemungkinan besar responen mengisi survei tersebut berdasarkan atas pengalaman atau perjalanan pendidikannya sebagai individu.

Terkait dengan permasalahan di sektor politik dan hukum yang memiliki net index rendah, Erani berpendapat jika hal tersebut dapat dipengaruhi oleh pandemic effect. Sebab, responden menempatkan isu kesehatan dan ekonomi sebagai salah satu persoalan yang serius di bawah kebijakan pemerintahan yang dianggap kurang kredibel.

“Saya kira ada manifestasi yang tercermin dari pandemi termasuk dalam beberapa hal misalnya bidang ekonomi, pekerjaan yang sebetulnya sebelum pandemi itu merupakan salah satu capaian pemerintah yang lumayan impresif. Tapi akibat pandemi datanya kemudian merosot. Termasuk anggapan kebijakan pemerintah tidak konsisten. Itu karena hampir semua negara lintang pukang dan panik menghadapi situasi yang tidak ada (red.persiapan) sebelumnya,” jelas Erani.

Langkah yang Harus diperhatikan Oleh Pemerintah

Untuk mengatasi rasa pesimis terhadap kondisi politik dan hukum, Erani berujar jika anak muda perlu melihat produk pemerintah dari 3 jenis langkah yang bisa dilacak. Yakni terkait kebijakan, pelayanan dan tindakan. 

Kebijakan, pemerintah dapat memperbaiki ruang tersebut dengan mengadopsi pengetahuan sebagai basis menentukan kebijakan. Misalnya, dalam penanganan pandemi, mereka dapat merumuskan kebijakan dengan mendengar fatwa dari orang-orang ahli pandemi atau dunia medis.

“Ya mungkin untuk sementara waktu para saudagar agak minggir dalam perumusan keputusan. Intinya adalah gagasan, pengetahuan yang memimpin dalam formulasi kebijakan. Kelompok-kelompok baru anak-anak muda itu sangat rasional, jadi mereka mengukur kebijakan itu dari rasionalisasi proses pengambilan keputusan.

Pelayanan, pemerintah harus beradu cepat dengan inisiatif masyarakat untuk membantu warga, misalnya dari relawan-relawan. Level kecepatan pelayanan itu harus melampaui modal sosial dari masyarakat itu sendiri, atau setidaknya sama sehingga antara harapan dengan kenyataan bisa menjadi lebih seimbang atau berhimpit.

Tindakan atau lelaku para pejabatnya, saat situasinya sulit, maka semua harus merasakan hal yang sama. Seperti misalnya, tindakan pejabat yang sedang ramai dibicarakan hari ini. “Sekarang yang dibutuhkan itu sembako bukan baliho. Nah, itu sangat menyeruak di mana-mana. Sehingga lelaku etis pejabat publik ditantang. Apakah mereka itu sedang memikirkan konstituen atau untuk kepentingan hajat warga negara tadi,” jelas Erani.

Terlepas dari hal di atas. Survei terkait optimisme ini diharapkan mampu memberikan energi yang berbeda dengan orang yang pesimis. Jika orang pesimis fokus pada persoalan, orang optimis lebih fokus untuk membuka kesempatan.

Sebagai penutup, Najelaa juga berpesan agar optimis pemuda bukan hanya pada progress sekarang, tapi juga optimis dalam melakukan aksi. “Mari juga optimis bukan hanya pada progress yang sekarang, tapi mari optimis dan melakukan aksi. Memastikan bahwa progress dan kemajuan ini jadi sesuatu yang berkelanjutan dan kemudian bisa jadi percepatan untuk betul-betul mencapai target-targer yang selama ini belum tercapai di semua sektor.”

 

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Annisa Firdaus


TAG#demokrasi  #ekonomi  #hukum  #pemerintahan