» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Liputan Khusus
ASIEQ Educare: PFA dan SHA sebagai Terapi Kesehatan Mental di Masa Pandemi
14 Agustus 2021 | Liputan Khusus | Dibaca 1565 kali
ASIEQ Educare: PFA dan SHA sebagai Terapi Kesehatan Mental di Masa Pandemi: - Foto: DOKUMENTASI PRIBADI /AISYAH AMIRA WAKANG
“Setiap orang, punya coping – usaha untuk menetralisasi atau mengurangi stres. Sehingga dengan tanpa belajar teknik-teknik relaksasi atau terapi psikologi, setiap manusia bisa beradaptasi terhadap stres yang mereka alami,” ujar Suryantingsih, S.Psi., M.Psi., Psikolog dalam webinarnya yang bertajuk Self Healing ASIEQ: Psychological First Aid Dampak Pandemi Covid 19 pada Minggu (1/8/2021) kemarin. Namun, ia juga menambahkan, pada masa pandemi ini timbul permasalahan yang semakin sulit, sehingga menimbulkan masalah psikologis yang lebih kompleks. Maka, kita perlu belajar management stres dan terapinya agar sehat jiwa dan raga. Jenis-jenis terapi yang dimaksud ada dua, yakni Psychological First Aid (PFA) dan Self Healing ASIEQ (SHA).

retorika.id- Sejak Juli lalu, angka kematian pasien Covid-19 meningkat di Indonesia. Dirilis dari Katadata.co.id pada Senin (12/7) lonjakan kasus positif mencapai 40.427 orang. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang memiliki peringkat tertinggi di dunia. Pandu Riono selaku Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) menyatakan, saat ini Indonesia sudah masuk gelombang kedua lonjakan kasus Virus Corona (Covid-19) dan bersiap menuju puncaknya.

Tidak jarang dipelbagai daerah ada sirine suara ambulan berlalu lalang tiap beberapa menit sekali, rumah sakit kolaps, informasi donor plasma bertebaran di berbagai media sosial, kebutuhan mencari oksigen, hingga kabar duka dari orang-orang sekitar yang meramaikan notifikasi gawai. Suryantiningsih, S.Psi., M.Psi., Psikolog menyatakan jika hal tersebut juga dapat berdampak pada kondisi psikologis seseorang.

“Bayangkan, di grup itu isinya dalam satu hari banyak sekali (red. Ucapan) innalillahi innalillahi, lagi, innalillahi, teman saya meninggal dunia, suami teman, kemudian saudara. Rasanya merinding sekali, seperti menunggu giliran. Terus terang, saya sendiri juga stres berat waktu itu,” ujar Yanti melalui webinarnya yang bertajuk “ Self Healing ASIEQ: Psychological First Aid Dampak Pandemi Covid 19” pada Minggu (1/8/2021) kemarin.

Berdasarkan pengalaman itu pula, Suryantiningsih atau yang akrab dipanggil Bunda Yanti ini membuat formulasi terapi bersama tim komunitas ASIEQ Educare. Sebuah layanan psikologi pendidikan anak dengan meningkatkan 4 kecerdasan, yakni Adversity (AQ), Spiritual (SQ), Intelegensi (IQ), dan Emotional (EQ).

Kecemasan Melanda Masyarakat

Sebelum pelaksanaan webinar dimulai, Yanti dan tim telah menyebarkan survei lewat g-form, untuk mengetahui rasa cemas apa yang masyarakat hadapi selama pandemi Covid-19. Hasilnya, beberapa orang menyatakan jika dirinya takut jatuh sakit dan meninggal dunia, tidak mau datang ke fasilitas layanan kesehatan karena takut tertular saat dirawat, takut kehilangan mata pencaharian, tidak dapat bekerja selama isolasi,  dikeluarkan dari pekerjaan, diasingkan, merasa tidak berdaya untuk melindungi orang-orang terkasih, takut berpisah, menolak mengurus anak kecil/manula, merasa bosan, kesepian, depresi saat isolasi, dan takut mengalami pengalaman wabah sebelumnya.

Yanti berujar, dalam wabah apapun, wajar jika seseorang merasa tertekan dan khawatir. Ini adalah respon umum dari orang-orang yang terdampak, baik secara langsung ataupun tidak. Secara emosi, kita akhirnya sering merasa cemas. Dalam psikologi, kecemasan sendiri terbagi menjadi tiga level. Level ringan, sedang, dan berat.

Kondisi ringan dan sedang merupakan hal yang wajar. Rasa cemas sebenarnya adalah mekanisme yang diberi oleh Tuhan di kejiwaan kita supaya kita lebih memahami kondisi yang sedang terjadi serta mencari solusi. Tetapi, jika penyintas sampai pada kondisi level yang berat, hal itu dapat membahayakan terutama di masa pandemi seperti ini.

Kecemasan pada level berat dapat mengakibatkan penurunan imun, tidak produktif, stres, depresi, bahkan bunuh diri. Kecemasan pada level ini sering diiringi dengan perilaku obsesif kompulsif. Misalnya, cuci tangan berkali-kali, minum obat dan vitamin berkali-kali, hanya tidur di kamar dan menjauhi orang lain.

Secara umum, solusinya adalah meningkatkan daya juang atau adversity dan menjelaskan pada ahlinya. Kita perlu memastikan arahan sesuai dengan anjuran dokter, meningkatkan imun, makan bergizi dengan meminum vitamin, olahraga, berjemur, serta melakukan sesuatu yang menyenangkan.

Pentingngya Self Healing untuk Kesehatan Mental

Meski begitu, solusi di atas tidaklah sesederhana demikian. Hal ini dikarenakan berbeda masalah, tentunya berbeda pula tingkat kondisi mentalnya. Sebab, kemampuan seseorang dalam menghadapi situasi traumatis membutuhkan waktu pemulihan yang berbeda-beda.

“Dalam kondisi seperti ini kita harus punya ilmunya untuk melakukan pertolongan kepada diri kita sendiri. Supaya tidak menjadi trauma-trauma yang membekas dan tertanam secara mendalam di psikis kita,” jelas Yanti.

Berdasarkan data survei tahun 2020 yang dilakukan oleh Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK), reaksi umum dampak pandemi dapat memengaruhi fisik, emosi, pikiran, dan tingkah laku.

  • Fisik: pusing, mual, keringat, dingin, jantung berdebar, maag, gatal-gatal, gangguan makan dan pencernaan, gangguan tidur, rasa lelah.
  • Emosi: cemas, takut, shock, sensitif atau mudah marah dan tersinggung, sedih, merasa bersalah.
  • Pikiran: bingung, tidak berdaya, tidak tahu apa yang harus dilakukan, kehilangan orientasi, ragu-ragu, sulit mengambil keputusan, terbayang-bayang tentang sesuatu.
  • Tingkah laku: menarik diri, resah, menangis, tidak sabar, mudah terlibat dalam konflik, defense mechanism atau pertahanan diri sebagai upaya menyesuaikan diri (adaptif) dari tekanan dan lingkungan yang sedang dihadapi.

Efek dari kondisi fisik di atas sebenarnya dapat terjadi karena kondisi psikologis atau yang dinamakan psikosomatik. “Itu adalah kacaunya psikologis kita, yang


akhirnya memengaruhi sistem kerja organ-organ. Akhirnya, organ yang lemah itulah yang akan mengalami rasa sakit. Ada juga yang nyeri punggung, dan sebagainya,” jelas Yanti.

Bagi seseorang yang baru merasakan kehilangan, dampaknya akan berpengaruh pada pikiran. Pada kondisi ini, orang yang baru ditinggalkan oleh keluarga, kerabat, atau orang terdekat sering kali masih terbayang-bayang akan kehadiran orang tersebut. Apabila aktivitasnya sampai terganggu dalam waktu lebih dari 7 hari, bisa dikatakan ia masih mengalami unfinished business – istilah psikologi di mana masih ada luka batin dalam dirinya.

Efek dari pemikiran tersebut dapat memengaruhi perilaku sosialnya. Seperti menarik diri dari lingkungan sekitar, sering konflik, memberontak atau tidak lagi percaya diri, dan merasa tidak bermanfaat lagi sebagai manusia. Ekstrimnya, timbul pemikiran untuk menyakiti diri sendiri atau mengakhiri hidup. Oleh karena itu, penting untuk melakukan self healing demi kesehatan mental kita.

Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki mekanisme alami untuk beradaptasi dengan apa yang sedang dia hadapi. “Setiap orang, punya coping – usaha untuk menetralisasi atau mengurangi stres. Sehingga tanpa belajar teknik-teknik relaksasi atau terapi psikologi, setiap manusia bisa beradaptasi terhadap stres yang mereka alami,” ujar Yanti.

Namun, ia juga menambahkan bahwa pada masa pandemi ini timbul permasalahan yang semakin sulit. Sehingga menimbulkan masalah psikologis yang lebih kompleks. Maka, kita perlu belajar managemen stres dan terapinya agar sehat jiwa dan raga. Salah dua terapi yang dimaksud adalah Psychological First Aid (PFA) dan Self Healing ASIEQ (SHA).

Dengan coping behavioral therapy, penyintas diharapkan mampu berdialog terhadap dirinya sendiri secara otomatis untuk meletakkan masalah sesuai dengan tempatnya, dan menyelesaikannya sesuai dengan hukum-hukum kelogisan. Namun, di masa pandemi ini, jika kita hanya mengandalkan coping behavior alami kita, hal ini dapat menjadi rawan karena derasnya arus informasi di berbagai media sosial seperti yang telah dijelaskan di atas – kabar lonjakan Covid, berita meninggal dunia, dan lain sebagainya. Kondisi yang demikian dapat memunculkan stres hingga membuat kita gagal menguatkan diri sendiri. Oleh karena itu, tetap diperlukannya teknik terapi seperti Psychological First Aid (PFA) maupun Self Healing ASIEQ (SHA).

PFA: Psychological First Aid

Menurut World Health Organization (WHO), PFA adalah serangkaian tindakan yang diberikan guna membantu menguatkan mental seseorang yang mengalami krisis. PFA sendiri merupakan tindakan pertolongan pertama yang dilakukan untuk orang lain.

PFA itu sebenarnya bukan untuk kita ya, itu semacam pertolongan pertama pada kecelakaan yang kita kenal, mulai dari SD kita selalu diajarkan P3K – Pertolongan pertama pada kecelakaan terhadap fisik. Nah, ini bagaimana kalau terjadi kecelakaan secara psikologis,” jelas Yanti.

Sayangnya, PFA sendiri tidak pernah diajarkan secara langsung baik oleh orang tua, guru, maupun lembaga pendidikan lainnya sedari kita kecil. Padahal dampaknya bisa lebih luar biasa dibanding penyakit fisik. Berikut adalah tahapan yang harus dilakukan sebelum memberikan PFA:

- Kita siap untuk menolong. Artinya sebelum menolong orang lain kita harus memastikan diri kita aman. Jika kita hendak menolong orang lain, tetapi ternyata kondisi diri kita juga sedang tidak baik maka kita dianggap kurang bijak terhadap diri sendiri. Sebab keamanan adalah yang nomor satu.

- Berpijak pada data kontekstual. Gunakan analisa yang sudah kita kuasai terkait masalahnya. Tanyakan atau amati bagaimana kondisi orang tersebut. PFA ini diutamakan dan paling efektif jika dilakukan oleh orang-orang terdekat secara emosional.

Setelah syarat di atas terpenuhi, kita dapat menerapkan langkah-langkah PFA sebagai berikut:

1. Look. Perhatikan apa yang dibutuhkan orang tersebut. Misal dalam kondisi atau kasus yang umum. Contohnya, Anda dan teman anda sedang berjalan di trotoar. Tiba-tiba dia mendapat notifikasi di gawainya jika ibunya meninggal dunia. Karena shock, teman Anda tak sadar jika gawainya terjatuh, seketika ia pun menangis di tengah jalan. Saat itu, hal pertama yang dapat anda lakukan adalah mengajak dia minggir ke tempat yang nyaman, supaya tidak mengganggu pengguna jalan lainnya. Itu adalah salah satu bentuk PFA.

2. Listen. Setelah dia merasa lebih baik dan siap bercerita. dengarkan ceritanya dengan seksama. Jika masih belum, berikan stimulus atau clue, tetapi tidak dengan cara memaksa.

3. Comfort. Saat dia menangis, kita dapat menggandeng atau merangkulnya. Kita bisa saling duduk, dan memberi air minum agar lebih tenang. Sekali lagi, jangan memaksanya untuk bercerita terlebih dahulu. Biarkan dia tenang sampai tangisnya reda. Cukup berikan dia rasa nyaman.

4. Connection. Bantu menghubungkan dengan layanan. Misal, ibu teman anda meninggal karena Covid. Anda dapat membantu menghubungkan dengan petugas ambulans atau proses pengurusan jenazah, bantuan sosial, dll.

5. Protect. Lindungi teman anda agar tidak mengalami kerugian.

6. Instilling hope. Tanamkan harapan yang dapat membangkitkan kondisi teman anda menjadi lebih baik. Misal dengan mengatakan, “Ibumu pasti bahagia di sana, jika kamu ceria kembali, jika kamu bisa menjalankan kehidupan lagi dengan lebih baik, jika kamu berkarya dan bermanfaat untuk orang lain.”

Dalam kondisi yang dibatasi ini, kita mungkin tidak bisa bertemu secara langsung dengan orang-orang yang hendak kita bantu. Tetapi, kita tetap bisa memberikan semangat melalui chat atau calling dengan teknologi masa kini. Berikan pengertian kepada mereka bahwa ketidakhadiran kita, seperti misalnya tidak datang melayat atau menemani mereka secara langsung. Bukan berarti kita tidak peduli terhadap kesulitan mereka. Tetapi justru karena kita peduli dan sayang, kita hanya bisa memeluk mereka dari jauh. Sebab itu juga salah satu bentuk upaya kita dalam memutus penyebaran Covid.

“Yang tak kalah penting, tidak perlu semua anggota dalam grup (red. media sosial) mengucapkan bela sungkawa, cukup satu orang yang mengucapkan, kemudian yang lain japri saja. Supaya tidak menimbulkan kecemasan yang berlebihan,” imbuh Yanti.

SHA: Self Healing ASIEQ

SHA adalah pertolongan pada diri kita sendiri yang mengalami masalah psikologis. Teknik ini merupakan terapi yang telah diformulasikan oleh tim ASIEQ Educare agar sehat jiwa dan raga. Dalam prosesnya, kita dapat melakukan penyembuhan luka batin atau mental secara mandiri di manapun dan kapanpun.

Cara melakukan SHA:

1. Pahami kondisi diri. Apakah kita punya masalah secara psikologis?

2. Analisa kausalitas. Analisa sebab dan akibat kita mengalami gangguan psikologis. Pikirkan apa penyebabnya, lihat kondisi sekitar atau apa yang telah terjadi sebelumnya. Misalkan, akhir-akhir ini jantung anda sering berdebar, bisa jadi anda terlalu banyak mendengar berita duka.

3. Self talk and Cognitive Behavioral Therapy (CBT).Untuk membentuk daya juang, kita dapat berbicara dengan diri sendiri. Menanamkan sugesti pagi, siang, malam.

Di pagi hari, setelah bangun tidur kita bisa menerapkan terapi syukur. Lakukan pernapasan melalui hidung, dan pada setiap hembusannya ucapkan rasa syukur sebanyak minimal 3 kali. Setelah itu, anda dapat melakukan sugesti positif dalam diri. Misalnya dengan mengatakan, “Puji syukur saya sehat, saya bahagia, dan saya siap berkarya.”

Di siang hari kita dapat melakukan sugesti positif kembali karena sudah beraktivitas selama setengah hari. Misalnya dengan mengatakan, “Alhamdulillah saya sudah melakukan aktivitas selama setenagh hari. Memang jenuh, memang ada hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan, tapi saya sangat bersyukur karena saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi.”

Di malam hari, lakukan self talk lagi dengan menyebutkan hal-hal yang membahagiakan. Sebutkan minimal 3 hal yang anda anggap penting sekali, meskipun itu adalah hal yang sederhana. Terima dan syukuri kejadian yang terjadi di hari itu.

4. SEFT & Logoterapi. Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) dikembangkan oleh Ahmad Faiz Zainuddin, lulusan psikologi Unair. SEFT sendiri melibatkan Tuhan dalam proses energi psikologi hingga mengalami amplfying effect (pelipatgandaan). Energi psikologi adalah ilmu yang menerapkan berbagai prinsip dan teknik berdasarkan konsep sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi pikiran, emosi dan perilaku seseorang (Setyawari, 2016). SEFT terdiri dari 3 tahap:

  • The Set-Up. Terdiri dari 2 aktivitas, yang pertama adalah mengucapkan kalimat penuh rasa khusyuk, ikhlas dan pasrah sebanyak 3 kali. Misalnya, “Yaa Tuhan, walaupun saya sakit Covid, saya ikhlas menerima sakit saya ini, saya pasrahkan kesembuhannya pada Mu. Saya ikhlas, saya pasrah” Atau ketika anda cemas, katakan “Ya Tuhan, saya cemas sekali hari ini. Saudara saya terpapar Covid. Tapi saya ikhlas menerima perasaan ini. Ini adalah hal yang wajar, saya pasrahkan semuanya kepada Mu. Saya ikhlas, saya pasrah.”Yang kedua adalah sambil mengucapkan kalimat di atas dengan penuh perasaan, anda dapat menekan dada bagian "Sore Spot" atau titik nyeri di daerah sekitar dada atas yang jika ditekan terasa agak sakit. Atau mengetuk dengan dua ujung jari di bagian "Karate Chop". 
  • The Tune-In. Jika anda memiliki masalah fisik. Rasakan rasa sakit tersebut dan arahkan pikiran anda ke tempat rasa sakit itu. Barengi dengan hati dan mulut yang berdoa secara bersamaan. Jika anda memiliki masalah emosi, cobalah untuk memikirkan sesuatu atau peristiwa spesifik tertentu yang dapat membangkitkan emosi negatif anda dan ingin anda hilangkan. Ketika terjadi reaksi negatif (marah, sedih, takut, dsb), tetaplah berdoa di hati dan mulut anda.
  • Tapping. Bersamaan dengan Tune-In ini kita, lakukanlah langkah ketiga yakni tapping. Pada proses inilah kita menetralisir emosi negatif atau rasa sakit fisik (Zainuddin, 2012). Caranya adalah mengetuk ringan titik-titik tertentu/akupuntur di tubuh kita dengan dua ujung jari. Titik-titik tersebut terdiri dari 9-18 titik pada tubuh. Setelah itu akhiri dengan tarikan nafas lalu hembuskan.sumber: SEFT Corporation 2011

5. Writing Theraphy. Menuliskan tiap kejadian yang anda alami, dapat mengurangi rasa cemas dan pikiran negatif. Misalkan menggunakan buku harian, note di ponsel, voice record, dsb. Semua emosi yang diluapkan akan direduksi ke berbagai media tadi. Berikut adalah tahapannya: 

  1. Tuliskan segala rasa cemas atau masalah yang anda hadapi.
  2. Buatlah perencanaan atau langkah-langkah apa saja yang akan dilaksanakan. Hal ini termasuk solusi yang dapat dilakukan.
  3. Tuliskan minimal 3 rasa bahagia dan syukur. Bahkan dalam hal yang sangat sederhana.      Namun, perlu diingat, pada tahap nomor 1 biasanya anda dapat membuka luka lama. Jika hal tersebut terjadi, akan muncul kondisi yang sangat emosional. Pada saat itu, jangan dipungkiri jika anda ingin meluapkan semua perasaan anda, entah itu marah, menangis, dan sebagainya. Biarkan dan berhenti sejenak untuk menulis. Karena pada saat kondisi emosional, kita tidak bisa berpikir dengan baik. Jalan keluar berpikir logis terhambat karena amigdala tertutup dengan emosi. Anda bisa mengatasinya lagi dengan self talk. Batasi perasaan tersebut sampai 5 – 15 menit, lalu lanjut mencari solusi dan kembali untuk menulis.

6. Relaksasi. Cara paling mudah untuk meningkatkan indera tubuh kita adalah relaksasi atau juga bisa menggunakan teknik grounding.Misal, saat anda hendak melibatkan indera pembau. Siapkan tisu dan bau atau wangi-wangian yang anda sukai. Bisa parfum, minyak kayu putih, dan sebagainya. Semprotkan agak jauh ke arah tisu, kemudian hirup bau dari tisu. Nikmati dan rasakan aromanya.

Anda juga dapat menambahkan teknik set up dan tune in. Selain itu, anda dapat latihan bernafas sambil menghitung dengan jari. Caranya, rekatkan telapak tangan anda dengan kaki tetap menapak tanah. Mulailah bernafas secara perlahan. Pada saat anda menghirup udara rekatkan jempol dengan jempol. Setelah itu, hembuskan perlahan sambil merekatkan jari-jari telunjuk. Begitu seterusnya. Anda juga dapat melakukan teknis nafas perut. Di mana tangan kanan diletakkan di dada, dan tangan kiri di atas perut. Untuk merasakan pernafasan perut, anda bisa membuncitkan perut anda. Lalu, kempeskan perut saat mengeluarkan nafas.

Yanti berujar jika teknik-teknik di atas tidak bisa diajarkan semua dalam satu waktu. Oleh karena itu, ia membagi pertemuan dengan 4 kali pelatihan tiap satu bulannya. Yakni, September, Oktober, November, dan Desember mendatang.

Di akhir sesi, Yanti menegaskan jika tidak semua orang memang membutuhkan bantuan. Ada orang-orang yang hanya membutuhkan waktu sebentar untuk bangkit kembali. Ada juga yang sudah terbiasa menggunakan teknik coping behavior sehingga mereka bisa menganalisa dan mencari solusi secara mandiri.

“Kalau misalkan ada teman kita yang tidak meminta bantuan, kita tidak boleh memaksa. Cukup bagi dia untuk mengatasi masalahnya sendiri. Kita hanya bisa memberikan empati. Dia pasti punya mekanismenya sendiri.” Tutup Yanti.

Hariyadi selaku tim sekaligus mentoring ASIEQ juga menambahkan, ada kalanya keadaan atau kondisi yang kita alami, tidak bisa kita rubah. Tetapi, kita bisa mengubah diri kita sendiri untuk lebih adaptif dalam menghadapi situasi perubahan keadaan, sehingga fokus kita adalah pada cita-cita bukan masalah yang ada.

 

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Ega Putra

 

Daftar Pustaka

Nasution, A.D. (2021, Juli 12). Kematian Pasien Covid-19 Indonesia Tertinggi di Dunia 2 Hari Terakhir. Katadata.co.id. Diperoleh dari https://katadata.co.id/ameidyonasution/berita/60ed2917c3188/kematian-pasien-covid-19-indonesia-tertinggi-di-dunia-2-hari-terakhir

Khr. (2021, Juni 21). Pakar: Indonesia Menuju Puncak Gelombang Kedua Corona. CNN Indonesia. Diperoleh dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210621093834-20-657084/pakar-indonesia-menuju-puncak-gelombang-kedua-corona.

Zainuddin, A.F. (2012). Spiritual Emosional Freedom Technique (SEFT). Jakarta: Afzan Publishing.

Setyawari, M.B. (2016, April 3). Mengenal Terapi Masalah Kejiwaan dengan SEFT. UHB News. Diperoleh dari http://news.uhb.ac.id/id/posts/mengenal-terapi-masalah-kejiwaan-dengan-seft/.