» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Info Kampus
Reposisi Militer dalam Konstelasi Politik
26 April 2019 | Info Kampus | Dibaca 1437 kali
Diskusi Publik: Dwifungsi TNI Foto: Dokumentasi pribadi/Alvidha
“Pemberlakuan dwifungsi ABRI di era post-industri ini sudah tidak relevan lagi. Sehingga, agenda reformasi sektor keamanan merupakan situasi mendesak yang harus dilakukan dalam rangka penguatan civil society”, ujar Aminah, dosen FISIP UNAIR.

Kamis (25/4) kemarin, Fakultas Hukum Universitas Airlangga berksempatan menggelar diskusi publik dengan topik bahasan “Melanjutkan Agenda Reformasi Sektor Keamanan”. Diskusi yang diselenggarakan oleh Kementerian Sosial dan Politik Fakultas Hukum UNAIR bersama Human Rights Law Studies (HRLS) dan koalisi masyarakat sipil untuk reformasi ini menghadirkan tiga pemantik, yakni Dr. Siti Aminah MA. selaku dosen FISIP UNAIR, Dr. Herlambang Perdana Wiratraman  S.H., M.A. sebagai direktur Pusat Studi Hukum HAM/HRLS FH UNAIR dan ketua yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati S.H.

Acara dimulai pada pukul 13.00 WIB, yang dibuka dengan sambutan dari Presbem FH UNAIR, Ilham Hakiki. Diskusi yang membahas tentang kelanjutan agenda reformasi ini bertujuan memberikan pemahaman mengenai upaya penolakan


berlakunya dwifungsi ABRI yang memainkan peran di ranah sipil.

Aminah mengungkapkan bahwa keterlibatan TNI/POLRI dalam ranah-ranah yang bukan tupoksinya akan mengancam eksistensi masyarakat sipil, seperti tindakan razia buku yang dianggap “terlarang”, penggusuran paksa, dan pengamanan demonstrasi massa secara represif. “Pemberlakuan dwifungsi ABRI di era post-industri ini sudah tidak relevan lagi. Sehingga, agenda reformasi sektor keamanan merupakan situasi mendesak yang harus dilakukan dalam rangka penguatan civil society”, ujar Aminah.

Sepakat dengan pendapat tersebut, Herlambang setuju untuk tidak diberlakukannya undang-undang yang berpotensi melegalkan TNI/POLRI dalam mengisi posisi di institusi pemerintahan atau sektor-sektor strategis lainnya. Baginya, apabila wacana dwifungsi ABRI dilakukan akan menciderai tatanan demokrasi.

Dalam hal ini sesuai dengan catatan kepolisian bahwa terdapat surplus perwira menengah dan tinggi tanpa jabatan yang berjumlah berkisar 500 orang. “Sebenarnya sudah ada larangan dalam aturan undang-undang, tetapi dalam praktiknya masih dijumpai pengisian jabatan oleh anggota militer aktif di beberapa lembaga pemerintahan, misalnya pada Badan Penanggulangan Bencana (BNPB)”, ungkap Herlambang.

Sementara itu, Asfinawati memaparkan terkait pengertian dari militerisme dan militerisasi. Menurutnya, militerisme adalah cara berfikir yang mengutamakan militer dan merendahkan hal-hal yang bukan militer (non kekerasan). Sedangkan militerisasi merupakan proses memiliterkan sistem, budaya, dan kultur di institusi sipil.

“Apabila sebuah negara menganut militerisme dalam pengambilan keputusan, maka negara itu cenderung menggunakan kekuatan bersenjata sebagai upaya penyelesaian konflik”, jelas Asfinawati.

Dirinya juga menambahkan bahwa dalam TAP MPR No. 6 tahun 2000 termuat larangan dwifungsi angkatan bersenjata RI dalam mengisi peran sosial dan politik karena mampu menimbulkan penyimpangan peran dan fungsi TNI dan Kepoisian RI, serta berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Serangkaian acara diakhiri dengan sesi tanya jawab diantara peserta diskusi. Aminah memungkasi dengan menegaskan poin penting bahwa diperlukannya sistem demokrasi yang baik di Indonesia sebagai langkah penguatan agenda reformasi sektor keamanan agar mampu berjalan secara berkesinambungan.

 

Penulis: Alvidha Febrianti


TAG#demokrasi  #  #  #