» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Surat Pembaca
Catatan Harian Menantu Sinting: Pembelajaran Hidup dari Kisah Pernikahan Batak
11 Agustus 2024 | Surat Pembaca | Dibaca 557 kali
Catatan Harian Menantu Sinting: Pembelajaran Hidup dari Kisah Pernikahan Batak: Catatan Harian Menantu Sinting: Pembelajaran Hidup dari Kisah Pernikahan Batak Foto: www.Kincir.com
Beberapa tahun belakangan ini, banyak diproduksi film yang membahas tentang menariknya kehidupan di lingkungan budaya Batak. Salah satu film yang tak kalah unik adalah Catatan Harian Menantu Sinting, yang dibuat berdasarkan novel ternama karya Rosi L. Simamora. Film ini membahas tentang dinamika kehidupan dalam ikatan pernikahan khas Batak.

Retorika.id - Beberapa tahun belakangan ini, banyak diproduksi film yang membahas tentang menariknya kehidupan di lingkungan budaya Batak, seperti Ngeri-ngeri Sedap, Harta Tahta Boru Ni Raja, dan lainnya. Salah satu film yang tak kalah unik adalah Catatan Harian Menantu Sinting,  yang dibuat berdasarkan novel ternama karya Rosi L. Simamora. Film ini membahas tentang dinamika kehidupan dalam ikatan pernikahan khas Batak dan diperankan oleh aktor-aktor papan atas tanah air, seperti Raditya Dika, Ariel Tatum, Lina Marpaung, dan Robby Purba. 

Film ini dimulai dengan adegan pernikahan antara Sahat (diperankan oleh Raditya Dika) dan Minar (diperankan oleh Ariel Tatum) yang cukup detail dan realistis. Penonton langsung bisa melihat betapa meriahnya pernikahan khas Batak dan segala keunikan yang ada di dalamnya. Film ini juga memberi gambaran tentang peraturan adat dalam pernikahan Batak yang dapat menarik perhatian orang non-Batak. Contohnya, film ini memberi penjelasan mengenai budaya


“anak lelaki sebagai penerus marga” dan harapan bahwa semua keturunannya memiliki anak sebelum dia meninggal (Saur Matua)

Setelah itu, penonton akan dibawa ke kehidupan sehari-hari Sahat dan Minar yang selalu direcoki oleh mamak mertua (ibu mertua, diperankan oleh Lina Marpaung). Di sini, Mamak tidak diberikan nama yang jelas, tetapi selalu dipanggil “Inang” oleh Minar sebab itu merupakan panggilan untuk mertua perempuan dalam bahasa Batak. Sahat dan Minar harus dihadapkan oleh pilihan untuk childfree atau menuruti Mamak untuk segera memiliki anak laki-laki. Sahat dan Minar awalnya memilih childfree sebab mereka ingin menikmati masa romantis berdua sebelum menjalankan peran sebagai orang tua.  

Seiring berjalannya waktu, tekanan mamak membuat Sahat dan Minar tidak tahan lagi. Mereka pun memutuskan untuk memiliki anak laki-laki. Masalah makin parah akibat saudara laki-laki kandung Sahat membatalkan pernikahannya karena suatu alasan. Mamak pun memutuskan untuk tinggal dengan Sahat dan Minar di rumah baru mereka. Keadaan ini membuat Sahat dan Minar tidak nyaman dan makin diperparah dengan Mamak yang mulai mengatur semuanya di rumah tersebut. 

Film ini juga menampilkan adegan dan lawakan dewasa yang dikemas dengan pintar sehingga penonton umum masih bisa menikmatinya. Film ini kemudian ditutup dengan berhasilnya Sahat dan Minar memiliki anak serta pernikahan saudara kandung laki-laki Sahat. Meskipun demikian, ada plot twist di akhir yang tidak bisa penulis bocorkan di sini sebab akan mengganggu kenikmatan saat menonton. 

Penulis menyukai bagaimana Sunil Soraya, yang sudah banyak membuat film bersama Raditya Dika, masih mampu dalam mengolah film ini dengan riset terhadap kehidupan Batak yang sangat dalam. Penulis juga kagum dengan dialog berbahasa Batak yang ditampilkan, meski masih terdengar kurang pas aksennya sebab Raditya Dika tidak terbiasa dalam menggunakannya. Akting Lina Marpaung sebagai Mamak yang paling bagus menurut penulis dan Ariel Tatum sebagai Minar cukup mampu mengimbanginya. Penulis suka dengan pergerakan kameranya yang cantik dan tidak melelahkan mata penonton.

Satu hal yang mengganjal adalah rating usia yang dirasa kurang pas dengan adegan-adegan di film ini. Meskipun sudah dikreasikan sedemikian agar tidak terlalu vulgar, ada beberapa adegan yang tetap membuat beberapa orang berusia 13 tahun ke atas kurang nyaman menontonnya. 

Kesimpulannya adalah kita harus bisa mempelajari budaya-budaya suku kita kembali agar kita  tetap bisa melestarikannya hingga anak cucu nanti. Penulis merekomendasikan calon penonton untuk menonton film ini di bioskop, sebab pengalamannya pasti akan berbeda jika ditonton di rumah atau tempat lainnya. Jangan lupa bimbingan orang tua juga saat menontonnya. Penulis memberikan nilai 8 dari 10 untuk film ini. Semoga film-film adat budaya kita tetap terus diproduksi ke depannya untuk variasi film-film nasional kita. 

Kontributor: Yosua Septian (@yosuaseptiannew)

Editor: Vraza Cecilia A.Z


TAG#review  #  #  # 
Rubrik "Surat Pembaca" terbuka untuk siapa saja. Silakan kirim karya Anda dengan melampirkannya ke email redaksi@retorika.id dengan subjek (Surat Pembaca) Nama - Judul Tulisan.