» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Pop Culture
Pukul Sebelas Malam Bersama Marie Antoinette dan Intrik yang Melingkupinya
31 Mei 2023 | Pop Culture | Dibaca 730 kali
Pukul Sebelas Malam Bersama Marie Antoinette dan Intrik yang Melingkupinya: - Foto: smithsonianmag.com
Marie Antoinette adalah tokoh yang muncul saat menyinggung sejarah Prancis dan kerap kali disebut-sebut sebagai penyebab utama negara itu tenggelam dalam utang piutang. Dipenggalnya Marie menyisakan jejak dari sejarah kelam Prancis yang tak terlupakan

Retorika-id. Saat saya yang kala itu berumur 15 tahun melihat buku sejarah dunia yang teronggok di dalam rak perpustakaan sekolah, saya mendapati bahwa setiap materi tentang Revolusi Prancis disinggung, tak pernah luput pula nama Marie Antoinette tertulis di tiap lembarnya, beserta satu paragraf khusus membahas eksekusi yang mengatakan bahwa Marie adalah salah satu penyebab utama dari surutnya Prancis dari puncak perekonomian dunia, Madamme Deficit, julukan untuk Marie dari buku sejarah yang saya baca. Karena keterbatasan informasi dan kemalasan untuk menggali lebih jauh, saya memilih menelan mentah-mentah informasi tersebut tanpa inisiatif untuk menggali lebih dalam. 

Baru saat saya memasuki masa transisi dari siswa sekolah menengah atas menuju dunia perkuliahan, saya mulai merasakan kejenuhan dan tertarik mengulik informasi mengenai sejarah dunia secara lebih mendalam, hanya pada topik yang menarik minat saya tentunya (saya belum serajin itu). Maka sampailah kita pada tulisan ini yang akan sedikit banyak membahas tentang Marie Antoinette dan beberapa bagian tentangnya yang entah kenapa selalu muncul di literasi sejarah.

Maria Antonia Josepha Johanna lahir 2 November Tahun 1755 di Vienna, Austria. Beliau adalah anak kelima belas dari Permaisuri Maria Theresa dari Austria, dan Kaisar Romawi Suci I. Seperti pada umumnya kehidupan gadis aristokrat pada abad ke-18, Marie lebih difokuskan untuk mempelajari dasar-dasar moral dan religius ketimbang kemampuan akademik. Sesuai kesimpulan yang didapat dari Perang Tujuh Tahun pada tahun 1763, Permaisuri Maria Theresa menganggap bahwa aliansi antara Prancis dan Austria adalah prioritas yang harus dilakukan; mempersatukan aliansi dengan hubungan pernikahan adalah praktik yang wajar di


antara keluarga kerajaan Eropa kala itu.

Hal ini yang membuat Permaisuri Maria tidak segan untuk melibatkan putrinya yang tak lain adalah Marie untuk menjalin aliansi tersebut. Ketika Marie berusia 10 tahun pada 1765, ibunya menyusun pernikahan Marie dengan Louis Auguste yang pada waktu itu berusia 11 tahun dan kelak akan kita kenal dengan nama Louis XVI, cucu dari Raja Louis XV dari Prancis.

Pernikahan itu kemudian dilaksanakan pada 16 Mei 1770, masing-masing berumur 15 tahun dan 16 tahun. Kemudian saat Marie berumur 19 tahun, ia dinobatkan menjadi ratu. Bukan saja umur yang menurut standar usia pernikahan sekarang terlalu dini, halangan lain yang dihadapi adalah betapa bertolak belakangnya sifat Louis XVI dan Marie sendiri, Louis sebagaimana telah dididik sedemikian rupa dengan materi akademis, memiliki sifat introvert dan cenderung konservatif apabila dibandingkan dengan Marie yang lepas, ekstrovert, serta cenderung gemar bergaul dan bersenang-senang.

Marie gemar mengadakan pesta dan pergi ke pertemuan-pertemuan di mana para ningrat meminum wine mahal dan memakan kue gurih berlemak di atas nampan perak, seakan itu belum cukup, Marie gemar berjudi, mengoleksi pakaian dan perhiasan mewah, menata rambut dengan biaya yang besar, serta menjalin hubungan romantis dengan seorang Diplomat dari Swedia, Count Axel von Versen.

Sebenarnya lazim bagi para borjuis untuk bertingkah seperti itu, tidak jauh bedanya dengan para cukong dan keluarga elite masa sekarang yang menghamburkan ratusan ribu dolar untuk sepasang sepatu, atau rumah pantai modern berpintu kaca, maupun mobil mewah mengilat dengan pintu naik turun laksana sayap pegasus. Namun kesalahannya adalah Marie melakukan segala kegiatan ini saat Prancis sedang terpuruk, pailit, dan berhutang di mana-mana.

Sampai di sini mungkin kita akan bergumam “Bukankah Marie penyebab defisit Prancis pada masa itu?”

Memang betul, Marie memperparah keadaan ekonomi Prancis, namun perlu digarisbawahi bahwa sistem perekonomian Prancis sendiri sudah mulai kolaps saat Raja Louis XV memerintah, lalu insiden besar terjadi, salah satu penyebab lengsernya Prancis pada puncak kejayaan, yang dikenal dengan Gelembung Missisipi, kegagalan Compagnie du Missisipi untuk menggunakan pengaruh politiknya dalam memengaruhi harga saham menyebabkan publik tidak lagi memercayai kredibilitas sistem perbankan Prancis. Tentu saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai hal tersebut, sebab bukan itu poin utama dari pembahasan kita kali ini, kilas balik kecil ini hanyalah sebagai pengingat betapa nyaris mustahil untuk seseorang menjadi penyebab utama dari kehancuran besar yang membuat Prancis terpuruk untuk waktu yang cukup lama.

Bila saya boleh berasumsi, latar belakang Marie yang dibentuk untuk fokus lebih kepada kewajiban religius dan moral, menjadikannya kurang peka dan berempati terhadap kekacauan yang sedang terjadi di negara tempat suaminya memerintah, ketidakpekaan ini menjadikan Marie sebagai sasaran empuk dan bulan-bulanan massa, terlebih Marie bukanlah gadis yang terbiasa hidup sederhana sejak kecil, sulit bagi Marie untuk melihat bahwa ia tidak bisa membawa dan menerapkan kebiasaannya bermewah-mewah dan memangkas anggaran belanja yang mungkin masih dalam batas kewajaran menurut benaknya. 

Kebencian warga Prancis kepada Marie membuahkan banyak gosip simpang siur dan pamflet atau brosur yang mengandung politik pornografi, disebut libelles. Libelles ditempatkan di jalan-jalan sempit maupun luas di Prancis, menggemborkan kebencian yang laksana lahar, tanpa henti mengalir, memenuhi sudut-sudut kota. Tidak peduli seberapa banyak kebohongan yang ada di dalam libelles, atau betapa sedikit kandungan kebenaran di dalamnya, pamflet-pamflet kebencian ini terus terbit dan bermunculan, menjadikan Marie korban dari pornografi.

Ketika akhirnya Marie dijatuhi hukuman mati dengan cara dipenggal — yang saya rasa sudah banyak kita ketahui dari berbagai sumber — kisah tentangnya diwariskan dan diceritakan secara turun temurun, kebanyakan mengandung bumbu-bumbu negatif dan konotasi merendahkan, menggambarkan Marie sebagai salah satu wanita paling materialistis di dunia, sumber dari segala masalah ekonomi dan penyulut Revolusi Prancis.

Betapa besar pengaruh perang dan ketimpangan politik serta barangkali juga budaya patriarki yang gemar menjadikan perempuan sebagai samsak tinju. Marie hanya satu dari banyak contoh, ketika kehendak dan hak manusia dikesampingkan demi kekuasaan dan persekutuan. Serta betapa yang superior akan hampir selalu menuliskan ceritanya. Bias sejarah seringkali mengambinghitamkan individu maupun subjek yang menjadi sasaran kekecewaan publik, pun tak terlepas dari deskripsi yang dituturkan oleh berita.

Tidak ada pembenaran atas kesalahan yang dilakukan Marie Antoinette, namun hendaknya kita dapat memahami bahwa sangat banyak kejadian yang berkelindan di balik tiap peristiwa, sehingga tidak ada salahnya bersikap kritis terhadap topik paling absurd sekalipun. 

 

Penulis: Jingga Ramadhintya 

Editor: Ariati Putri M

 


TAG#humaniora  #kisah  #sejarah  #sosial