Departemen Antropologi UNAIR menggelar pameran peringatan 25 tahun jalannya Reformasi. Pameran yang digelar di halaman depan Museum Etnografi FISIP UNAIR ini membahas tentang hilangnya dua mahasiswa UNAIR pada saat demonstrasi tahun 1998, Herman dan Bimo.
Retorika.id - Departemen Antropologi UNAIR menggelar pameran peringatan 25 tahun Reformasi pada Rabu (17/05/2023) dan (24/05/2023). Pameran ini adalah kolaborasi antara Antropologi UNAIR dengan beberapa pihak, termasuk Komnas Perempuan dan Kawan Herman-Bimo. Pameran yang berjudul “Yang (Tak Pernah) Hilang Dalam Memori Kolektif” ini menyoroti peristiwa hilangnya dua aktivis yang merupakan mahasiswa FISIP UNAIR.
Dua aktivis tersebut adalah Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah, atau biasa dipanggil Bimo. Herman dan Bimo termasuk dalam 13 aktivis yang hilang saat demonstrasi 1998. Foto-foto Herman dan Bimo dipajang di pameran yang digelar di sepanjang halaman depan Museum Etnografi FISIP UNAIR, bersama dengan potongan koran yang memberitakan aktivisme mahasiswa UNAIR 25 tahun lalu.
Dr. Pinky Saptandari E.P., Dra., MA. selaku dosen di Antropologi UNAIR menjelaskan bahwa pameran ini merupakan implementasi dari mata kuliah
Antropologi Pembangunan. “Dalam mata kuliah ini, ada sub-bab tentang penerapan metode memori kolektif. Tujuannya adalah untuk mengenang peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi. Berhubung ini bulan Mei, saya ambil (tema) peristiwa ‘98,” ungkapnya pada Tim Retorika. “Jadi tujuan dari pameran ini adalah untuk mengajak mahasiswa merawat memori kolektif kita tentang perjalanan sejarah bangsa.”
Ia juga menekankan pentingnya mengingat peristiwa Reformasi terutama pada saat menjelang Pemilu 2024. “Dari peristiwa-peristiwa semacam ini kita jadi belajar bahwa mahasiswa itu harus paham politik meski tidak langsung terjun. Jangan sampai kita jadi objek permainan politik dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sejarah ini kita jadikan proses pembelajaran bersama agar kita nantinya bisa menjadi bangsa yang lebih bijaksana dalam menyikapi apa pun,” pungkasnya.
Selain itu, Dr. Pinky mengungkapkan bahwa mengajak mahasiswa UNAIR merawat memori kolektif tidak bisa dilakukan dengan membahas Reformasi secara umum. Diperlukan pembahasan mengenai peristiwa yang dekat dengan mahasiswa. Maka dari itu, Antropologi UNAIR mengajak Kawan Herman-Bimo berkolaborasi dan menitik beratkan fokus pameran pada peristiwa hilangnya Herman-Bimo saat demonstrasi ‘98.
“Boleh kita membicarakan yang lebih umum tentang Reformasi, misalnya tentang apa itu perubahan politik, atau apa saja warisan yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya. Akan tetapi, jangan sampai mengabaikan apa yang terjadi pada civitas akademika di sini, khususnya di FISIP UNAIR,” ujar Dandik Katjasungkana selaku perwakilan dari komunitas Kawan Herman-Bimo.
Dandik juga berharap pameran ini dapat memberikan informasi pada mahasiswa bahwa telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat yang belum ditangani secara serius oleh pemerintahan pasca-Soeharto. “Anak-anak muda harus tahu hal ini supaya mereka bisa belajar bahwa tidak ada peristiwa yang boleh berakhir dengan cara kekerasan dan melanggar hak asasi manusia. Dengan mereka belajar hal tersebut, semoga bisa terinternalisasi pemikiran bahwa kita semua bisa menjadi bagian dari upaya pencegahan pelanggaran HAM,” tambahnya.
Ia pun mendesak pemerintah agar segera menuntaskan bukan hanya kasus Herman-Bimo, melainkan juga kasus 13 aktivis lain yang sampai saat ini masih tidak diketahui keberadaannya. Menurutnya, jika tidak segera diselesaikan, ini bisa menjadi contoh buruk baik bagi perpolitikan Indonesia maupun bagi hukum dan kemanusiaan secara luas. “Kalau pemerintah ini betul-betul mau menegakkan hak asasi manusia, ya selesaikan kasus ini sampai tuntas,” tuntutnya.
Penulis: Vraza Cecilia A.Z
Editor: Shafira Brihan
TAG: #aspirasi #demokrasi #dinamika-kampus #event