» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Liputan Khusus
Melihat Lebih Dekat SNBT UNAIR: Akankah Perjokian Terulang?
13 Mei 2023 | Liputan Khusus | Dibaca 605 kali
Ujian masuk perguruan tinggi merupakan salah satu agenda tahunan di institusi pendidikan perguruan tinggi. Namun, bagaimana jika agenda tersebut juga turut diiringi praktik kotor perjokian? Tim Retorika berkesempatan untuk melihat lebih dekat penyelenggaraan SNBT di pusat SNBT UNAIR serta melihat kesiapan UNAIR dalam mencegah perjokian.

Ujian masuk perguruan tinggi berbasis komputer kembali dilaksanakan di tahun ini. Ada beberapa hal yang menjadi perbedaan dari pelaksanaan Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT) di tahun ini dengan tahun lalu. Hal itu antara lain dari substansi tes yang diberikan, total waktu tes, hingga protokol kesehatan yang cenderung lebih longgar daripada tahun sebelumnya.

Beberapa perubahan tersebut turut dirasakan tidak hanya oleh peserta namun juga penyelenggara ujian. Ketua penyelenggaraan SNBT di pusat SNBT UNAIR, Prof. Dr. Bambang Sektiari Lukiswanto, DEA., Drh., mengatakan bahwa tahun ini persiapan cenderung ringan. Hal itu ia sampaikan pada Jumat (14/5/2023). Pernyataan ini utamanya didasari oleh pelonggaran protokol kesehatan akibat Covid-19 yang tidak seketat tahun lalu.

Jika mengingat gelaran UTBK (nama ujian sebelum diganti menjadi SNBT) tahun 2022, selain pandemi yang masih menjadi ‘masalah’, ada kasus perjokian yang turut menjadi topik paling santer saat itu. Kasus perjokian yang diungkap akun anonim di Twitter kala itu menjadi perbincangan sentral, utamanya oleh peserta UTBK. Hal itu akhirnya berdampak pada ditangkapnya 8 orang joki UTBK di daerah Surabaya. Modus pelaku adalah dengan memasang kamera kecil di baju yang dipakai untuk menangkap foto soal di layar komputer. Lalu foto itu diterima master yang bertugas mengerjakan soal dan mengirim jawaban lewat alat pendengaran yang ditanam di telinga.

Modus perjokian semacam itu sebenarnya sudah diantisipasi dengan melakukan ‘sterilisasi’ tiap peserta ujian


menggunakan metal detector. Namun, modus seperti ini masih bisa lolos jika metal detector yang digunakan tidak memiliki kesensitifan yang bagus, atau lebih buruknya ada oknum pengawas yang sengaja ada ‘main’ dengan pihak penjoki untuk meloloskan modus tersebut. UNAIR sendiri menyediakan metal detector di setiap ruang ujian untuk menunjang keamanan ujian. Ada perbedaan spesifikasi metal detector yang digunakan di setiap ruang, namun menurut ketua penyelenggara SNBT UNAIR sudah dilakukan pengecekan dan semuanya memiliki tingkat sensitivitas  yang baik, sehingga menjamin alat-alat berbahan metal tidak akan bisa lolos.

Pusat SNBT UNAIR memiliki 33 ruang ujian yang tersebar di kampus A, B, dan C. Terdapat 13 penanggung jawab ruang, 33 kepala ruang, 28 pengawas ruang (5 ruang kecil berisi kurang lebih 25 orang hanya dijaga oleh kepala ruang), 42 orang penanggung jawab IT ruang. Di samping adanya pengawas, pihak SNBT di UNAIR melakukan sistem monitoring khusus sebagai upaya meminimalisir kasus perjokian. Sistem monitoring khusus yang dimaksud ialah adanya layar monitor untuk memantau secara real time jumlah kehadiran peserta serta memantau langsung pergerakan peserta ujian di seluruh ruang ujian yang disediakan UNAIR. 

“Kita bisa memantau di samping ada pengawas. Saya curiga pada ini misalnya (sambil menunjuk layar monitor), saya bisa mengamati semuanya. Pengawas mungkin tidak melihat dia tolah-toleh, tapi jika ada tindakan yang mencurigakan kita bisa ketahui langsung bisa capture ini,” ungkap Prof. Bambang sambil menunjukkan cara kerja sistem monitoring kepada tim Retorika. Sistem ini layaknya double monitoring kepada peserta ujian. Jadi selain mendapat pengawasan langsung oleh pengawas ruang, ada pengawasan lain yang dilakukan melalui sistem monitoring khusus ini. 

Berkat sistem monitoring ini, ada beberapa peserta ujian yang pernah tertangkap basah melakukan kecurangan. Sayangnya, kelemahan sistem ini adalah menuntut adanya seseorang yang harus terus mengawasi pergerakan peserta, sedangkan beberapa pergerakan sulit dijangkau karena letak CCTV yang tidak mampu menjangkau seluruh ruangan. Prof. Bambang juga menambahkan bahwa, jika ada anggaran, nantinya model CCTV akan ditambahkan di tengah ruangan, sehingga mampu menangkap seluruh pergerakan yang ada.

Metal detector dan sistem monitoring khusus yang dimiliki UNAIR adalah bentuk antisipasi secara teknis dalam mencegah kasus perjokian terjadi. Namun, bagaimana jika secara mentalitas peserta tetap lemah dalam menghadapi godaan perjokian demi tercatat sebagai mahasiswa baru di kampus impian? 

Menengok beberapa waktu lalu, Prof. Bambang mengungkapkan bahwa pihak UNAIR pernah menangkap pelaku perjokian. Namun, untuk memproses hal tersebut ke ranah hukum, perlu waktu dan usaha yang besar. Di lain sisi, ada tuntutan untuk terus melanjutkan proses pelaksanaan ujian yang masih panjang. Menurutnya, perlu adanya upaya oleh polisi untuk turut menindaklanjuti hal tersebut karena hal ini tentu mencederai keabsahan ujian itu sendiri. Pelaku perjokian layak dihukum berat dalam hal ini. Terlebih, selama ini yang mendapat ganjaran pidana hanya penjoki saja, sedangkan seseorang yang secara sadar menyewa joki tersebut 'hanya' mendapatkan sanksi berupa catatan hitam di SNPMB. 

“Fenomena (perjokian) pasti akan (terus) terjadi selama kita tidak menyediakan kesempatan yang memadai untuk semua lulusan SMA. Selama kesempatan masih sulit, kompetisi iya (pasti tetap ada). Fenomena (perjokian) akan terus ada, karena usaha baik buruk tergantung dari masing-masing orang,” ungkap Prof. Bambang. Beliau juga menambahkan bahwa masalah perjokian sebenarnya adalah problematika laten di masyarakat. Artinya, perjokian mungkin hanya dilakukan sebagian kecil peserta, sehingga tidak semua pihak merasakan dampak negatif dari hal tersebut. Namun, jika dibiarkan terus menerus, hal ini akan merusak kredibilitas dan integritas dari institusi pendidikan. 

Perlu upaya kolektif dari seluruh unsur untuk mengatasi hal ini. Mulai dari unsur yang paling dekat dengan calon mahasiswa, yaitu keluarga, hingga pemerintah. Pendidikan karakter dan agama juga selayaknya harus diperkuat, di samping pendidikan akademik, sebagai tameng untuk mencegah munculnya bibit perjokian.

Penulis:

Afifah Alfina
Dewi Rachmawati

Editor: Vraza Cecilia

 


TAG#akademik  #event  #pendidikan  #sarana-prasarana