» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Fenomena Revenge Porn: Perempuan Belum Bebas dari Kekerasan Berbasis Gender Online
31 Mei 2023 | Opini | Dibaca 1234 kali
Fenomena Revenge Porn: Perempuan Belum Bebas dari Kekerasan Berbasis Gender Online: - Foto: Pinterest
Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) terus meningkat setiap tahunnya. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2022, kasus KBGO tercatat sebanyak 1.721 kasus. Artinya, kasus ini mengalami peningkatan sebanyak 83% dari tahun sebelumnya. Salah satu bentuk dari KBGO yang saat ini marak terjadi adalah revenge porn.

Retorika.id -Melalui media sosial masyarakat dapat dengan mudah menyebarkan informasi. Namun penggunaan media sosial ini sering disalahgunakan dengan penyebaran konten konten negatif. Seperti dijadikan tempat untuk kejahatan atau kekerasan berbasis online atau yang biasa disebut dengan istilah cyber crime. Salah satu yang temasuk dalam cyber crime ini adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)

Revenge porn atau pornografi balas dendam digunakan untuk mendeskripsikan mengenai ekstorsi gambar yang eksplisit atau penyebarluasan video intim yang awalnya dibuat dalam konteks pribadi kepada publik melalui internet tanpa persetujuan dari individu yang ditampilkan dalam konten tersebut (Burris, 2015) Bedasarkan kasus-kasus revenge porn pihak perempuan akan sangat dirugikan dan menjadi sorotan. Identitas gender menjadi sasaran yang rapuh untuk menyerang seseorang secara seksual. Korban terbanyak adalah perempuan dan minoritas seksual karena kerentanan identitas mereka

Hal ini umumnya dilakukan oleh orang orang terdekat seeperti pacar, mantan kekasih atau pihak ketiga. Motif pelaku menyebarkan konten tersebut sebagai usaha menjatuhkan citra korban, mempermalukan atau sebagai bentuk ancaman ketika suatu hubungan akan mulai berakhir buruk.

Istilah revenge porn pertama kali muncul di surat kabar Sydney Morning Herald Australia yang judulnya “Revenge porn: government urged to make it illegal” pada tahun 2015. Istilah ini muncul untuk menggambarkan ekstorsi gambar dan fenomena penyebaran gambar atau video seksual seseorang, biasanya oleh mantan pasangan secara daring atau online akibat kandasnya hubungan.

Namun istilah revenge porn ini juga kurang sesuai untuk digunakan, karena dinilai kurang baik bagi


korban dan cenderung merendahkan korban. Mengutip laman Awas Kekerasan Berbasis Gender Online (awaskbgo.id), Rabu (24/5/2023). "Istilah revenge porn problematik karena mengindikasikan bahwa kekerasan terjadi karena korban berbuat salah terlebih dahulu, sehingga pelaku berhak melakukan balas dendam," tulis laman tersebut. Oleh sebab itu kata yang sesuai untuk disisi korban adalah image based sexsual abuse yang lebih menggambarkan kekerasan berbasis gambar.

Pada kasus revenge porn, korban dapat mengalami kekerasan fisik maupun non fisik. Kekerasan fisik bisa berupa verbal bertujuan mengancam korban hingga mendominasi agar korban terpaksa menuruti keinginan pelaku. Sedangkan kekerasan non fisik dapat berupa kerugian yang kemudian mempengaruhi semua aspek kehidupan, antara lain psikologis, tekanan mental, emosional, kerugian ekonomi, keterasingan sosial. Kehilangan kepercayaan diri hingga mengisolasi diri.

Dalam mengatasi kasus ini dierlukan adanya kerangka hukum yang mengatur secara komprehensif terkait KBGO khususnya revenge porn sehingga dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi korban. Pada 12 April 2022 Pemerintah mengesahkan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di Indonesia. Dimana terdapat 9 tidak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam Undang Undang tersebut.

Masing masing dari tindak pidana tersebut mengatur hukuman yang berbeda beda, dari jerat penjara, hingga denda jutaan rupiah. Pelaku tindak pidana kekerasan seksual bisa dihukum membayar restitusi (ganti rugi terhadap korban), hak asuhnya dicabut, identitasnya diumumnkan, dan kekayaannya dirampas.

Namun yang menjadi urgensi adalah rendahnya pemahaman aparat penegak hukum atas isu gender dan kekerasan seksual yang menjadi salah satu faktor yang mendorong banyak kasus kekerasan seksual di Indonesia tidak terselesaikan. Masyarakat dan aparat penegak hukum saat ini cenderung belum memiliki pemahaman yang sensitif gender, bahkan terkadang memiliki kecenderungan tidak berpihak kepada perempuan sebagai korban.

Hal ini juga diungkapakan melalui cuitan salah satu pengguna twitter “Sekitar tahun 2017, saya melaporkan revenge porn secara langsung ke salah satu kantor kepolisian di kota saya waktu itu, tapi polisinya malah nyuruh damai, padahal udah ada percobaan pembunuhan juga”, ungkapnya.

Revenge porn seringkali mendapatkan respons negatif serta tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana yang dibutuhkannya. Aparat penegak hukum seringkali masih memperlakukan korban kekerasan seksual sebagai objek, bukan subjek yang harus didengarkan dan dihormati hak-hak hukumnya. Bahkan, seringkali korban yang melaporkan kasusnya kepada aparat penegak hukum malah dipersalahkan sehingga seakan menjadi korban untuk yang kedua kalinya atau reviktimisasi (Faizah, 2022).

Untuk menghindari dan mengurangi kasus revenge porn, diharapkan masyarakat untuk berhati-hati dalam pergaulan dan lebih memahami serta mengimplementasikan konsep privasi serta consent. Masyarakat juga perlu meningkatan pemahaman teknologi, internet, media sosial sebagai media yang bisa dimanfaatkan untuk mencegah serta melaporkan kekerasan perempuan apabila hal yang tidak diinginkan terjadi, dalam kasus revenge porn.

 

Referensi:

Arini, Azzahra dan Kiki. (29 November 2021). Fenomena Revenge Porn Berbasis Internet dalam Prespektif Feminisme.Fenomena Revenge Porn Berbasis Internet dalam Perspektif Feminsime - SWAKARYA

Burris, Aubrey. “Hell Hath No Fury Like A Woman Porned: Revenge porn And The Need For A Federal Nonconsensual Pornography Statute”.Florida Law Review 66, (2015): 2325.

Cosima Marriner.(30 September 2015). Revenge porn: government urged to make it illegal.https://www.smh.com.au/national/government-urged-to-outlaw-revenge-porn-20150926-gjvod5.htm

Faizah, Azza dan Hariri. (Juli 2022) Pelindungan Hukum terhadap Korban Revenge Porn sebagai Bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.3. No.7 

Ita, Rahayu dan Nuswantoro.(2019). Kewajiban dan Tanggungjawab Negara Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Revenge Porn di Indonesia : Diponegoro Law Journal. Vol.8. No.1

Rusti Dian.(16 Februari 2023). 11 Jenis Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang Kasusnya Terus Mengalami Peningkatan.https://narasi.tv/read/narasi-daily/11-jenis-kekerasan-berbasis-gender-online-kbgo-yang-kasusnya-terus-mengalami-peningkatan

 

 

Penulis: Ariati Putri M

Editor: Jingga Ramadhintya 

 


TAG#budaya  #bullying  #gender  #humaniora