» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Tak Ada yang Mulia Ketika Membajak Buku
23 April 2020 | Opini | Dibaca 2015 kali
Sumber: Buku Bajakan Foto: PCWorld
Malas membaca jadi polisi. Rajin membaca jadi pintar. Apalagi baca buku bajakan, pasti jadi pencuri yang pintar. Ya, miriplah dengan koruptor, sama-sama pencuri pintar.

retorika.id- Belakangan yang lalu jagat media sosial tengah ramai mempersoalkan postingan yang diunggah di  Whatsapp yang menyebarkan link e-book. Mereka yang mendukung berdalih jika hal itu agar masyarakat betah di rumah dengan membaca. Sungguh niat yang mulia. Lagi pula tidak ada tujuan komersil di sini. Semantara bagi yang lain tindakan itu perlu ditentang. Sebab, e-book yang mereka sebar itu ilegal.

Bersamaan dengan buku bajakan, penyebaran e-book yang ilegal ini memang jadi momok bagi penulis dan penerbit. Bukan hanya buku mereka yang tak laku, mereka dihadapkan pada alasan apologetis: bahwa semua itu demi menyeberluaskan pengetahuan dan berbagai rezeki dengan para pedagang buku bajakan.

Pembajak atau siapapun bisa beralasan bahwa para penulis itu sudah kaya. Ketika dibagi-bagikan penulis justru senang sebab gagasan mereka tersampaikan. Pedagang buku bajakan di kios-kios buku perlu uang buat makan. Karena itu penulis, apalagi penerbit, perlu membagi makanan dalam industri perbukuan.

Dalam menerbitkan sebuah buku, penerbit mempekerjakan banyak pihak. Mulai dari editor, penata bahasa, layouter, desain, pekerja percetakan, hingga


pekerja di toko-toko buku tentu social media specialist juga terlibat. Menerbitkan tidak dalam satu dua hari, proses itu berminggu-minggu. Karenanya banyak juga mulut dan dapur yang mesti dihidupi dari penjualan buku.

Masalahnya lebih laku mana buku orisinal atau buku bajakan. Rasanya tak perlu survei pun kita tahu jawabannya. Buku bajakan lebih banyak jumlahnya di pasaran dan lebih terjangkau harganya. Pembaca pun lebih memilih yang murah, bukan?. Karena itu yang terjadi, lalu dari mana penerbit membayar pekerja-pekerjanya. Ya tetap dari buku yang sudah terbit, tapi tidak laku banyak.

Sampai di sini agaknya jadi tak relevan berbicara soal perlawanan kapitalisme ilmu pengetahuan. Pembajak bukan lah Robin Hood, mereka murni pencuri. Mereka mengambil keuntungan dari kerja penulis dan penerbit.

Akan tetapi, penulis kan sudah kaya? Iya memang sudah kaya, tapi itu sebagian kecil. Selebihnya penulis-penulis yang tak terlalu dikenal mesti cari penghasilan tambahan. Jika sudah begitu tak perlu lah kita berjihad menyebarkan pengetahuan kalau para penulis di ambang kelaparan. Karena apa yang mesti kita bagikan jika penulis tak sempat menulis karena harus cari makan dengan cara yang lain.

Lagi pula, niat mulia dari yang katanya pegiat literasi untuk meningkatkan minat baca masyarakat itu sudah tak relevan. Begini apa yang ditulis dalam buku adalah pesan yang mesti tersampaikan. Tentu dengan perantara penerbit yang penulis setujui. Di sini penerbit yang memiliki hak bicara dari penulis. Pembajak buku karenanya tak memiliki hak untuk menjadi perentara penulis.

Lalu bagaimana jika kalian hanya membeli? Bahwa buku bajakan itu hemat di kantong dan terjangkau bagi masyarakat kelas bawah. Memang membelinya bisa menghemat pengeluaran tapi dampaknya luar biasa, khususnya untuk para pekerja industri perbukuan. Lagi pula, apa dengan cara ini kita mau pintar?. Jika membeli buku palsu itu saja dianggap sepele, boleh jadi bukan soal ketika semua aspek kehidupan mesti jadi palsu.

Katakanlah memang dan benar-benar tidak cukup modal untuk membeli buku orisinil yang harganya lumayan. Kita bisa kok pinjam buku baik dari teman, perpustakaan atau taman baca. Mau yang lebih murah bisa kok dengan mengakses aplikasi iPusnas. Apalagi jika kita cukup sosialis bisalah kita beli buku patungan dengan kawan-kawan. Soal siapa pemilik buku itu tak perlu diperebutkan. Itu adalah saat yang tepat merealisasikan hak milik kolektif. Terlebih jika dibarengi dengan membuka taman baca atau perpustakaan jalanan, tentu lebih berfaedah. Sosialisnya jadi, pahalanya dapat.

Tetapi jika kita bukan sosialis dan tak mengamini kepemilikan kolektif. Coba pikir-pikir lagi, menulis itu bukan perkara mudah dan jadi satu dua jam seperti mesin fotokopi. Boleh jadi menulis buku sama beratnya dengan menulis skripsi. Tentu kita tak mau jika gagasan kita dicuri orang lain bukan, apalagi sampai mengambil keuntungan.

Rasanya tak perlu jadi profesor di fakultas hukum untuk mengerti bahaya dan besar kerugian dari membajak buku. “Tapi kan, kalau bagi-bagi e-book tidak ada tujuan komersial? Lagian itu demi memperluas akses literasi bagi masyarakat kelas bawah kok”. Yang harus dimengerti adalah smartphone dan internet yang dipakai untuk mengakses itu umumnya dimiliki kelas menengah urban. Jadi, aksesibilitas bukanlah soal. Sebab, membeli buku secara online pun dimungkinkan. Dan jika kita bisa membeli smartphone beserta paket internet, kenapa kita tak bisa membeli buku aslinya?

 

Penulis: R. Mochammad Khoiruddin


TAG#aspirasi  #gagasan  #  #