» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Mild Report
Melawan Lupa Perjuangan di Boven Digul
20 November 2020 | Mild Report | Dibaca 2688 kali
Jika Jerman memiliki kamp konsentrasi Auschwitz maka di Indonesia terdapat Boven Digul. Jika di kamp konsentrasi Auschwitz dominasi kekejaman berasal dari manusianya yakni NAZI yang membantai orang-orang Yahudi. Di Boven Digul cukup alam yang menjadi algojo bagi kaum pergerakan bangsa Indonesia kala itu. Kukuhnya rasa nasionalisme para kaum pergerakan lebih besar ketimbang ancaman maut dari ganasnya kondisi geografis Boven Digul. Alih-alih dibuang dan diasingkan, upaya pembebasan bangsa dari penjajahan tetap tersemai di dada.

 

retorika.id- Belanda saat itu, merasa tepat memilih Boven Digul sebagai kamp konsentrasi atau penjara alam bagi kaum pergerakan yang secara radikal menentang pemerintahannya. Kondisi alamnya yang benar-benar terisolir dengan banyaknya ancaman seperti nyamuk malaria, binatang buas, dan juga serangan orang-orang suku Head hunter atau kanibal. Gagasan-gagasan kemerdekaan dari perintis perjuangan yang dibuang disini diharapkan hanya menjadi narasi yang terisolir menyatu bersama rimba belantara. 

Namun Belanda keliru. Kukuhnya rasa nasionalisme para kaum pergerakan  lebih kuat ketimbang ancaman maut dari ganasnya kondisi geografis Boven Digul. Alih-alih dibuang dan diasingkan, upaya pembebasan bangsa dari penjajahan tetap tersemai di dada.

Nasionalisme dan persatuan terbentuk di Boven Digul sebagai modal perjuangan berikutnya. Maka dari itu, perlu bagi kita untuk mengulik kembali perjuangan di Boven Digul sebagai Kamp Konsentrasi di ujung Timur Indonesia.  

Para ‘Digulis’

Kata Boven sendiri berasal dari bahasa Belanda yang bermakna ‘atas’. Sedang Digul, adalah nama sebuah sungai yang ada di Papua bagian Selatan. Boven Digul atau Digul ‘atas’ berlokasi di sekitar hulu sungai Digul. Lokasi kamp konstentrasi para kaum pergerakan, persisnya terletak di Tanah Merah yang saat ini menjadi bagian dari Kabupaten Boven Digul.

Kapten L. Th. Becking memimpin proyek pembangunan “Kamp Boven Digul” yang dijadwalkan akan tiba di Tanah Merah sekitar 27 Maret 1927. Ia dikirim dengan membawa 100 serdadu beserta 600 orang tawanan yang ternyata sampai lebih dulu di Digul, yakni pada bulan Januari 1927 (Handoko, Susanto T, 2016: 84). Merekalah rombongan pertama yang datang ke Digul.

Melihat perkembanganya, pembangunan dari tempat pengasingan ini pun sangat cepat dan terkesan tergesa-gesa. Dalam rentang dua bulan sudah terbangun barak, gudang, rumah sakit, stasiun radio, kantor pos, dan tempat mandi besar yang terhubung dengan aliran sungai (Handoko, Susanto T, 2016: 84).

Boven Digul lekat dengan pembuangan kaum PKI setelah melakukan gerakan pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda sekitar tahun 1926-1927. Karena aksinya yang radikal, para aktivis PKI ini ditangkap dan dibuang di Digul. Sejak saat itu, Digul memiliki citra tersendiri sebagai tempat pembuangan PKI.

Namun sesungguhnya hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Hindia Belanda yang kala itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal A. C. D de Graaf sudah memiliki ide ini yakni sekitar tahun 1925, setahunan sebelum adanya pemberontakan PKI (Handoko, Susanto T, 2016: 83).

Tak hanya tokoh-tokoh atau aktivis dari PKI, banyak dari tokoh-tokoh Partai Republik Indonesia (PARI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (PARTINDO), Perhimpunan Muslim Indonesia (PERMI), Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan lainnya  yang juga diasingkan di kamp konsetrasi terpencil ini (Handoko, Susanto T, 2016: 82).

Ada pula tokoh-tokoh kedaerahan seperti Jong Java, Jong Celebes, dan Jong Sumatra. Siapapun mereka, tak peduli dari latar belakang partai manapun, Boven Digul akan menanti mereka yang melawan pemerintahan kolonial.

Rombongan-rombongan interniran terus berdatangan hingga rombongan ketujuh


bersama M.A Monsju. Monsju menggantikan Kapten Becking sebagai Pemimpin Pengawas di Digul. Menurut Shiraishi (2001) dalam Handoko, Susanto T (2016: 84) pada Februari 1938 tercatat 2000 jiwa penghuni kamp termasuk 1308 internir.

‘Digulis’, sebutan bagi mereka kaum pergerakan yang dibuang ke digul karena sikap perlawanannya. Tokoh nasionalis seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir tercatat pernah dibuang  ke Digul dengan gagasan-gagasannya yang memiliki pengaruh besar terhadap pergerakan nasional di Partai PNI Baru.   Hatta dan Sjahrir berada di Digul selama satu tahun disana, dari 1935-1937. Setahun mereka tinggal memberikan warna tersendiri bagi eksistensi Boven Digul di panggung sejarah pergerakan nasional.

Sayuti Melik juga pernah di”digul”kan karena aktifitas politiknya dalam pergerakan nasional. Mochtar Lutfi tokoh Permi yang terjerat kasus pemberontakan di Banten, serta Ilyas Yacub tokoh PSII Minangkabau yang juga memberontak di daerah Sumatera Barat 1926 juga sempat menjadi digulis.

Kelas-kelas Tahanan Digulis

Para digulis di kamp konsentrasi dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah naturalis yakni orang-orang yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah sehingga mereka memperoleh jatah makan secara natural atau jatah makan gratis dalam bentuk barang.

Kelompok kedua adalah werkwillig, orang-orang ini masih bersikap kooperatif dengan pemerintah walaupun harus melakukan pekerjaan kasar seperti mencangkul tanah dan lain-lain dengan bayaran 40 sen sehari.

Kelompok ketiga adalah orang-orang yang keras kepala, bersikap menentang dan masih menumbuhkan benih-benih pergerakan. Kelompok ketiga ini disebut onverzoenlijken yang digelandang ke Tana Tinggi.

Kamp konsentrasi sendiri terletak di Tana merah yang terbagi ke dalam empat bagian. Bagian pertama adalah Penjara Tana Tinggi  sebagai tempat para  digulis yang sudah tidak bisa dikendalikan. Penjara ini mengahadap langsung ke tepian sungai Digul yang terdapat banyak buaya.

Tak ada tekanan fisik dari pihak Belanda karena digulis akan berhadapan langsung dengan pemangsa alam di sungai digul. Kala itu sejumlah pejuang yang ditempatkan disini  dimakamkan dengan keadaan yang tak utuh lagi.

Bagian kedua adalah lokasi bermukim dari tahanan atau Digulis yang disebut Petak. Terdiri dari petak-petak yang diberi nomor 1-10. Lokasi petak-petak ini juga dekat dengan tempat perangkat Pemerintah Hindia Belanda dan Polisi di kawasan Kampung Sokanggo dekat Tana Mera. Petak-petak yang semakin dekat dengan kawasan tersebut berarti tahanan masih bersikap kooperatif.

Semakin jauh dari Tana Mera maka mereka keras kepala membangkang terhadap Belanda dan inilah yang menjadi bagian keempat dari kamp konsentrasi Boven Digul.

Bagian keempat adalah Penjara Tana Tinggi. Terdapat sel bawah tanah yang mengerikan. Tempat ini dibangun untuk para tahanan yang masih menyuarakan gerakan perjuangan selain dari sikapnya yang membangkang terhadap Belanda.

Para tahanan tersebut akan dimasukkan ke sel bawah tanah dengan keadaan bugil tanpa batas waktu tertentu. Kondisinya gelap penuh dengan nyamuk malaria. Penjara ini sudah cukup memberikan trauma berat terhadap para tahanan.

Sutan Sjahrir pernah mencicipi berada di Penjara Tana Tinggi karena aktivitas pergerakannya yaang diendus oleh pihak Belanda. Salah satu tahanan yang bernama Budisucitro memohon ampun kepada Belanda ketika berada di Tana Tinggi (Handoko, Susanto T, 2016: 86-87).

Saat Alam Menjadi Algojo

Kala itu provinsi Maluku membawahi wilayah Papua sehingga Belanda mengutus Gubernur Propinsi Maluku mencari lokasi yang digunakan sebagai pembuangan kaum pergerakan. Belanda menginginkan tempat yang benar-benar terisolasi. Gubernur Maluku meyakinkan bahwa Boven Digul adalah lokasi yang 100% terisolir.

Lokasi pembuangan berjarak 455 km dari muara sungai Digul setara dengan jarak Jakarta-Semarang (Handoko, Susanto T. 2016: 83). Kondisi geografis kala itu didominasi hutan belantara yang masih lebat, rawa-rawa yang terdapat banyak buaya, penduduk lokal yang masih primitif dan sukar diajak berkomunikasi, dan ancaman berupa nyamuk malaria yang menyerang kapanpun dan dimanapun mereka berada.

Dengan kondisi yang menyedihkan dan pembatasan aktivitas politik yang ketat, lokasi pembuangan ini lebih tepat disebut sebagai kamp konsentrasi (Litbang Kompas, 2019).

Para digulis banyak yang mati karena penyakit malaria. Keras dan sunyinya kehidupan di Boven Digul ini membuat beberapa tahanan mecoba melarikan diri.

Salah satunya adalah Nayoan yang merupakan pemimpin dari Serikat Kereta Api, anggota PKI sejak ISDV. Ia mencoba melarikan diri dari Digul walau harus tersesat di rimba belantara.

Percobaan pelarian tak hanya dilakukan oleh Najoan saja. dikutip dari Tirto.id tercatat puluhan tahanan yang mencoba melarikan diri. Ada dua kemungkinan dalam setiap percobaan kabur. 

Kalau tidak tertangkap polisi KNIL yang berjaga mereka hilang ditelan rimba. Tak memungkiri bahwa ganasnya alam merupakan penguasa tertinggi di Boven Digul.

Perjuangan yang Terus Tersemai

“Kemana kita dibawa oleh nasib, kemana kita dibuang yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Di atas segala lapangan Tanah Air aku hidup, aku gembira. Dan dimana kakiku menginjak bumi Indonesia, disanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan dalam dadaku.” Tulisan yang tertera di bawah monumen di Boven Digul.

Tulisan itu adalah tulisan Bung Hatta, yang turut menjadi saksi atas Boven Digul. Tak gentar walau kerasnya alam dan sunyinya kehidupan di belantara Boven Digul. Bibit-bibit pergerakan untuk mencapai pembebasan dari kolonialisme tetap tersemai.

Mohammad Hatta sosok yang penuh kehati-hatian dan pertimbangan. Ia sadar bahwa perjuangan yang baik saat dilakukan di tempat pengasingan yang sunyi ini adalah dengan pendidikan.

Hatta membagikan ilmunya kepada para tahanan politik dengan mengajarkan ilmu filsafat, ekonomi, dan Sejarah. Terpenting pula baginya untuk mengajarkan sejarah bagaimana penindasan yang dilakukan oleh kolonial di bumi Hindia Belanda sehingga benih-benih perjuangan tetap tersemai.

Berbeda dengan Hatta, Sjahrir lebih menyukai aksi terang-terangan dalam pejuangannya. Ia melihat idealisme dan latar belakang kedaerahan yang berbeda-beda pada segenap tahanan. Dari perbedaan tersebut seringkali terjadi gesekan-gesekan apalagi juga dikompori oleh pihak Belanda.

Jika terus begini, tidak bersatu dan lebih memilih jalan masing-masing akan menghambat perjuangan pembebasan bangsa. Sjahrir sadar akan hal tersebut dan berupaya untuk menyatukan perbedan-perbedaan yang ada.

Ia menanamkan kesadaran nasionalisme dengan diskusi-diskusi bersama tahanan-tahanan politik lainnya. Upaya ini diendus oleh pihak Belanda sehingga ia digelandang ke Penjara Tana Tinggi yang mengerikan itu.

Terdapat pula kisah seorang Thomas Najoan, aktivis PKI yang terkesan grusa-grusu dalam perjuangannya. “Tak ada perjuangaan kemerdekaan hanya dengan berpangku tangan di Tanah Merah. Usaha lari adalah perjuangan”.

Begitulah prinsip Najoan sehingga ia bersikukuh untuk melakukan pelarian dari Boven Digul. Usaha pelarian Najoan selalu gagal hingga percobaan keempat kalinya bersama Saleh Rais dan Mustajab.

Dilansir dari tirto.id Mustajab ditemukan tewas dengan kondisi tanpa organ hati sedangkan Najoan bersama Saleh Rais tidak jelas kabarnya di rimbaa belantara. Kegigihannya dan tekad sekeras batu dalam berjuang sangat layak untuk dikenang dalam sejarah pergerakan nasional.

Boven Digul, tak dapat dipungkiri merupakan bagian dari lembaran sejarah pergerakan nasional. Saat hanya terlintas mengenai tempat pengasingan dari para tokoh pergerakan, tak sekadar itu. Di dalamnya banyak nilai-nilai historis berupa nasionalisme dan persatuan yang bisa diulik kembali.

Belanda membuang aktivis dan tokoh-tokoh pergerakan di Boven Digul tetapi bukan ide dan gagasan soal perjuangan. Perjuangan tetap tersemai walau tertutup oleh rapatnya rimba belantara.

Nyamuk malaria pun tak akan mampu menghisap darah-darah juang. Atau bahkan dengan Penjara Tana Tinggi dengan sel bawah tanah yang mengerikan.

Penulis: Uyun Lissa Fauzia

 

Referensi

Handoko, Susanto T. 2016. Boven Digoel dalam Panggung Sejarah Indonesia: Dari Pergerakan Nasional Hingga Otonomi Khusus Papua. Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 2. Hal. 81-92. Tersedia di www. researchgate.net

Indonesia.go.id. 2019. Menguak Boven Digoel Tempat Bung Hatta Diisolasi Era Kolonial Belanda. Tersedia di https://indonesia.go.id/ragam/budaya/ekonomi/menguak-boven-digoel-tempat-bung-hatta-diisolasi-era-kolonial-belanda, diakses pada 18 November 2020.

Litbang Kompas. 2019. Boven Digul: Hutan Pengasingan, Sumber Idealisme Persatuan. Kompas Media Nusantara: Jakarta. Tersedia di http://webadmin.ipusnas.id/ipusnas/publications/books/156644/

Matanasi, Petrik. 2017. Thomas Najoan: Raja Kabur Boven Digoel. Tersedia di https://tirto.id/thomas-najoan-raja-kabur-boven-digoel-czU4, diakses pada 18 November 2020.

Matanasi, Petrik. 2016. Digoel: Tempat Pembuangan Para Pembangkang. Tersedia di https://tirto.id/digoel-tempat-buangan-para-pembangkang-uzn, diakses pada 18 November 2020.

Penghubung.papua.go.id. Kabupaten Boven Digul. Tersedia di https://penghubung.papua.go.id/5-wilayah-adat/anim-ha/kabupaten-boven-digoel/, diakses pada 18 November 2020.

 

 

 

 

 


TAG#agama  #akademik  #aspirasi  #disabilitas