» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Mild Report
Joe Biden Menang, Bukti Amerika Serikat masih Waras?
10 November 2020 | Mild Report | Dibaca 1102 kali
Konstelasi pemilu Amerika Serikat menjadi salah satu momentum dalam dunia internasional. Tak terkecuali hadirnya Trump dan Joe Biden pada periode kali ini. Kekalahan Trump dinilai menjadi titik balik dan menunjukkan bagaimana Amerika Serikat bersikap. Hal tersebut tidak terlepas dari apa yang telah dilakukan oleh Trump sebagai pemimpin tahta tertinggi Amerika Serikat dan membawa perubahan yang sangat kontroversial.

retorika.id- Telah berlangsung agenda Pemilu di Amerika Serikat pada Selasa (3/10/2020) yang menempatkan Trump dengan Joe Biden sebagai kandidat pemegang kuasa Amerika Serikat. Fenomena hadirnya Pemilu Amerika Serikat dinilai bukan seperti Pemilu pada umumnya yang menjadikan hampir di seluruh belahan dunia terfokus pada dinamika pemilihan Presiden Amerika.

Terhitung  hingga tanggal (8/10/2020) suara perhitungan Electoral College menempatkan Joe Biden dari Partai Demokrat sebagai pemenang. Kedua pasangan calon pada umumnya berada pada angka statistik yang ketat dan saling mengejar dengan selisih yang tipis. Keunggulan di beberapa wilayah seperti Pennsylvania hingga Nevada pada titik akhir perhitungan menjadi sangat krusial untuk memenuhi kuota suara 270 Electoral vote untuk terpilih menjadin Presiden Amerika Serikat selanjutnya.

Lantas dalam hal ini, penulis berupaya menelisik sejauh mana makna di balik hadirnya Pemilu Amerika Serikat. Apakah kemudian hal ini memberikan keran positif bagi Amerika Serikat dan dunia? Berikut adalah beberapa poin pemaparan yang disampaikan bersama Agastya Wardhana, Peneliti Cakra Studies Global Strategis dan Pegiat Amerika Serikat.

Kesuksesan Biden

Kesuksesan Biden tidak terlepas dari sosok dan kharismanya sebagai salah satu politisi senior Amerika Serikat dan relatif cukup disegani. Hal ini yang menjadikan Biden mampu mengalahkan Donald Trump sebagai the next POTUS dalam perhitungan Electoral


College pada saat ini. Kapabilitasnya sebagai pemimpin telah cukup teruji ketika ia menjabat menjadi wakil presiden Amerika Serikat bersama Barrack Obama.

Sehingga dalam hal ini, Joe Biden di klaim akan mampu membawa nama Amerika Serikat yang kini dinilai terkesan ‘tidak wajar’ bagi sebuah negara besar sekelas Amerika Serikat. Namun tak banyak yang menilai bahwa dukungan terhadap Biden jauh lebih gencar sebagai aksi propaganda terhadap anti-Trump yang beberapa kali disuarakan oleh publik, baik secara tersirat maupun tersurat.

Makna dipilihnya Joe Biden juga merujuk kepada anti-tesis sosok Trump yang menuai kontroversi selama menjadi figur pemimpin Amerika Serikat. Watak dan sikapnya dinilai menyimpang dalam indikator pemimpin, dan Joe Biden muncul sebagai upaya resistansi terhadap berbagai pengaruh dan dampak yang dilakukan oleh Trump semasa menjadi Presiden dan maju menjadi kandidat petahanan di periode selanjutnya.

Trump dan Trumpisme         

Menurut Agastya, bahwa secara umum Pemilu Amerika Serikat kali ini merupakan ajang ‘tes’ bagi rakyat Amerika Serikat dalam mengejawantahkan bagaimana Amerika Serikat sesungguhnya. Sosok Presiden Trump, selama empat tahun menjabat, justru telah melakukan banyak sekali kebijakan yang mendiskreditkan nilai demokrasi, menciptakan sebuah tirani politik, masifnya misinformasi, dan berbagai fenomena nasional dan internasional lainnya yang menempatkan Amerika Serikat tidak pada posisi seharusnya.

Agastya juga menegaskan bahwa lahirnya Trump sebagai Presiden justru memberikan fenomena populisme baru yang mampu memberikan dorongan paradigma akan sosok Trump sendiri dan politik sayap kanan yang dinilai ini cukup berbahaya, tidak hanya bagi Amerika Serikat namun juga terhadap negara lain. Pendukung Trump menilai positif apa yang telah dilakukan Trump. Penilaian sosok dan figur Trump tak lantas melahirkan ‘Trumpisme’ yang saat ini getol menjadi paradigma yang banyak cendekiawan menilai ini berbahaya.

Sosok Trump yang ‘ceplas-ceplos’, narsisme dan relatif lack of knowledge menjadikan banyak kontroversi yang lahir dari tweet atau cuitan, pidato, hingga kebijakan yang kemudian ia keluarkan. Hebatnya, apa yang dilakukan oleh Trump ternyata merepresentasikan suara yang cukup besar dari apa yang ingin pendukungnya dengar, khususnya di Amerika Serikat. Inilah yang menumbuhkan paradigma ‘Trumpisme‘ sebagai cerminan dari apa yang dilakukan oleh Donald Trump, khususnya semasa menjadi Presiden. Namun, tak pelak turunnya Presiden Trump menjadikan pengaruh tersebut luntur begitu saja.

Agastya berkesimpulan bahwa paradigma Trumpisme sendiri relatif sudah mampu tersebar, khususnya cukup masif di kalangan publik Amerika Serikat. Sehingga, fenomena ini yang kemudian menjadi tantangan bagi Biden dalam meresistansi pengaruh dan dampak negatif eksistensi Trump dan paradigma ‘Trumpisme’ yang kontraproduktif terhadap esensi nilai demokrasi, salah satunya adalah melalui momentum Pemilu ini.

‘Kewarasan’ Publik Amerika Serikat

Terpilihnya Joe Biden setidaknya menjadi sebuah optimisme tersendiri bagi keberlangsungan Amerika Serikat sebagai negara liberal dan aktor penting yang berpengaruh dalam kontelasi internasional. Maka, setidaknya ini menunjukkan publik Amerika Serikat cenderung masih ‘waras’ dalam memilih pemimpin Amerika Serikat yang sebagaimana mestinya.

Agastya menilai, hal ini tidak sebatas pada Amerika Serikat saja. Setidaknya, Amerika Serikat dengan berbagai pengaruh—terlebih pada nilai demokrasi dan liberalisme—minimal dunia internasional dan entitas global menilai apa yang dilakukan pemimpin Amerika sah-sah saja untuk diimplementasikan. Sikap absolutisme, tirani politik, dan kolusi yang kontraproduktif terhadap demokrasi akan menggeser tatanan internasional sebagaimana Trump menerapkannya di Amerika Serikat.

Lantas dengan bukti kepemimpinan Trump selama empat tahun kebelakang dan tumbuhnya Trumpisme sendiri, publik Amerika Serikat secara dominan masih cenderung mengerti kontroversi seperti apa yang lantas dilahirkan oleh Trump. Dampak setidaknya diinisiasi hadirnya panggung Pemilu untuk mencegah pengaruh dan paradigma tersebut bergerak jauh lebih masif dan destruktif.

 

 

Penulis: Febrian Brahmanantya Mukti

 

Referensi:

Wardhana, Agastya, 2020, Makna dibalik Pemilu AS, Hasil Wawancara pada 7 November 2020 melalui Telepon.

 


TAG#demokrasi  #fisip-unair  #gagasan  #humaniora