Permasalahan Waduk Sepat yang telah berlangsung sejak lama, kini memasuki babak baru. Warga bersama Aliansi Selawase (Selamatkan Waduk Sepat), serta LBH Surabaya dan Walhi Jatim melayangkan gugatan di Pengadilan Negeri Surabaya. Mereka juga menggelar aksi untuk mengawal gugatan itu.
Pada akhir 2021, Walhi Jatim, warga Sepat, dan Tim Kerja Advokasi untuk Kedaulatan Agraria (Tekad Garuda) melayangkan gugatan kepada PT Ciputra Kirana Dewata Tbk dan PT Ciputra Develpment Tbk. Gugatan yang menggunakan mekanisme gugatan legal standing ini tercatat dalam nomor register perkara nomor 1172/Pdt.G/LH/2021/PN.Sby di Pengadilan Negeri Surabaya. Gugatan ini kembali menyoal dampak lingkungan yang akan dihasilkan oleh pemindahtanganan aset dari Pemkot Surabaya ke PT Ciputra Surya Tbk.
Demi mengawal gugatan ini, Aliansi Selawase (Selamatkan Waduk Sepat), yang terdiri dari mahasiswa, warga, dan elemen masyarakat sipil lainnya, menggelar aksi di depan Pengadilan Negeri Surabaya pada Senin (30/5/2022) dan Selasa (31/5/2022). Aksi diisi dengan orasi oleh massa aksi secara bergiliran, dan membentangkan banner bertuliskan "Selamatkan Waduk Sepat." Aksi diakhiri dengan pembacaan tuntutan yang mereka bawa.
Ada empat tuntutan yang mereka bawa. Pertama, hentikan praktik pengurukan dan perusakan lingkungan hidup di Waduk Sepat dan beri sanksi tegas kepada perusahaan/korporasi yang jelas-jelas ingin menghilangkan fungsi Waduk Sepat. Kedua, mendesak kepada
pemerintahan daerah kota Surabaya untuk menerbitkan kebijakan yang mengatur tentang keberadaan Waduk Sepat sebagai kawasan lindung. Ketiga, mendesak kepada seluruh penegak hukum untuk mempertimbangkan secara teliti, adil, dan berperspektif keadilan ekologis dalam memutus perkara lingkungan hidup Waduk Sepat. Keempat, hentikan kriminalisasi dan perlawanan balik terhadap partisipasi pejuang lingkungan hidup Waduk Sepat dengan cara yang seolah-olah dibenarkan (legal-form) padahal sudah secara kasat mata inkonstitusional.
Sementara, pada hari kedua, digelar aksi untuk mengawal persidangan terkait gugatan yang sudah direncanakan. Namun, pada persidangan ini masih belum didapatkan hasil yang diinginkan. Warga mengharapkan bisa mendapatkan hasil putusan sela, tetapi agenda pembacaan putusan sela ditunda.
Jauhar, Tim LBH Surabaya, menjelaskan bahwa penundaan ini disebabkan oleh pihak tergugat dan pihak turut tergugat yang belum menyerahkan dokumen jawaban dan publik. Pada sidang sebelumnya, majelis hakim meminta berkas-berkas diserahkan secara asli, karena persidangan ini dilakukan secara e-Litigasi atau persidangan elektronik. Namun, persidangan akan digelar Kembali. "Jadi untuk sidang selanjutnya ditunggu tanggal 6 untuk menyerahkan berkas-berkas tersebut" ungkapnya.
Dian, salah seorang warga Sepat, menyampaikan bahwa mereka merasa kecewa. Penundaan ini merupakan hasil yang sangat mengecewakan mereka karena tak sesuai dengan agenda yang sudah direncanakan. "Kami merasa kecewa, kami berharap kalau agenda putusan sela ya putusan sela, tapi ini (putusan sela) ditunda" tuturnya.
Ia juga menegaskan bahwa gugatan ini dilakukan dengan tujuan jangka panjang, yaitu menyelamatkan Waduk Sepat. Karena Waduk Sepat dapat menjadi daerah resapan air yang bisa mencegah terjadinya banjir. "Kami mengedepankan untuk jangka panjang dan untuk menyelamatkan Waduk Sepat. Waduk itu adalah tempat penampungan air yang luas, 6,3 hektar. Jadi kalau tidak diselamatkan, nantinya pasti terjadinya banjir karena resapan-resapan air itu sudah sangat menipis" tegasnya.
Kondisi Waduk Sepat juga makin memprihatinkan karena sebagian wilayahnya sudah mulai diuruk. Warga juga sudah lama tidak bisa mengakses waduk tersebut. "Sebagian besar sudah diuruk dan akses warga sendiri sudah tidak bisa, dari 2014 sudah tidak bisa.” tutur Dian.
Sebenarnya, Permasalahan Waduk Sepat sudah terjadi sejak 30 Desember 2008, ketika Walikota Surabaya menerbitkan Surat Keputusan Nomor 188.451.366/436.1.2/2008. SK itu berisi tentang keputusan pemindahtanganan aset dengan cara tukar menukar aset Pemkot Surabaya berupa tanah eks ganjaran di beberapa wilayah. Waduk Sepat menjadi salah satunya.
Permasalahan ini bermula dari pembuatan Surat Perjanjian Bersama antara PT Ciputra Surya Tbk dengan Pemkot Surabaya. Dalam perjanjian ini, disebutkan bahwa wilayah waduk seluas 59.857 m² itu menjadi lahan milik Ciputra Surya sebagai "tanah pekarangan."
Hal ini membuat Waduk Sepat tidak lagi menjadi kawasan rekreasi, resevoir, dan pengairan. Warga meyakini bahwa akan terjadi kerusakan lingkungan jika Waduk Sepat berubah fungsinya. Inilah yang akan merugikan warga sekitar.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembalikan fungsi Waduk Sepat seperti semula. Pada tahun 2016 dan 2019, kelompok masyarakat bersama Walhi Jatim, LBH Surabaya, dan jaringan lainnya juga sudah melakukan gugatan Citizen Lawsuit. Namun, upaya tersebut masih belum membuahkan hasil yang memuaskan.
Penulis: Putra Pradana
Editor: Ghulam Phasa Pambayung
TAG: #demokrasi #demonstrasi #event #hukum