» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Liputan Khusus
Ahli Hukum dan Lingkungan Mengkritisi Undang-Undang Cilaka dalam Webinar Urun Rembug
14 Oktober 2020 | Liputan Khusus | Dibaca 1992 kali
Ahli Hukum dan Lingkungan Mengkritisi Undang-Undang Cilaka dalam Webinar Urun Rembug: sumber: Foto: akun Instagram greenpeaceid
“Dalam webinar yang diadakan oleh Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM dengan tajuk Urun Rembug “Manusia dan Lingkungan” ini membahas soal UU Cipta Kerja dan Masa depan Lingkungan Indonesia (10/10/20). Meski Undang-Undang Cipta Kerja ini dinilai gagal dan dapat diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, menurut Teguh Surya Uji materiil Undang-Undang ke MK merupakan selemah-lemahnya tindakan, dan sebuah keniscayaan karena memang sudah diatur sedemikian rupa, dan keputusan MK lemah sekali, hampir tidak dapat dieksekusi.”

retorika.id- Undang-Undang Cipta Kerja telah disahkan oleh DPR RI pada 5 Oktober 2020. Namun sayangnya, draft final Undang-Undang ini belum secara resmi dipublikasi oleh pemerintah, sehingga belum ada penanganan yang pasti. Dalam webinar yang diadakan oleh Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM dengan tajuk Urun Rembug “Manusia dan Lingkungan” ini membahas soal UU Cipta Kerja dan Masa depan Lingkungan Indonesia pada Sabtu (10/10/20). Narasumber mencoba membedah klaster lingkungan dari Undang-Undang Cipta Kerja sejumlah 905 halaman, yang beredar di masyarakat dan diyakini subtansinya tidak akan berubah jika difinalkan.

Tujuan utama Omnibus Law RUU Cipta kerja adalah untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, melalui:

  1. Penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko
  2. Penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha, pengadaan tanah, dan pemanfaatan lahan
  3. Penyederhanaan Perizinan Berusaha
  4. Penyederhanaan persyaratan investasi

Pembicara dalam


webinar ini diantaranya, Prof. Maria SW Sumardjono, M.CL, M.PA (Guru Besar Fakultas Hukum UGM), Dr. Wahyu Yun Santosa, S.H, M.Hum, LL.M (Sekretaris PSLH UGM), dan Muhammad Teguh Surya (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan).

Profesor Maria SW Sumardjono membuka diskusi dengan tanggapannya mengenai UU Cilaka ini yang dinilai sangat lemah dalam hal pembentukannya, karena melanggar syarat pembentukan Undang-Undang. Dia menyebut Undang-Undang ini tidak jelas tujuan pembentukannya, dan tidak jelas di mana sifat mendesaknya. UU Cilaka ini tidak memenuhi asas keterbukaan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta tidak memperhatikan penyederhanaan peraturan. Setiap Undang-Undang memiliki filosofi, namun UU Cilaka ini tidak jelas landasan filosofinya.

“Keadilan macam apa yang diusahakan untuk diperoleh ketika kita punya pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sebesar-besar kemakmuran rakyat, sedangkan keadilan di dalam RUU ini sudah jelas cenderung hanya akan bisa dinikmati sekelompok kecil orang?” Ujar Profesor Maria menanyakan kejelasan dari Undang-Undang ini,

Sedangkan, menurut Wahyu Yun Santosa, Omnibus Law ini perlu dikritisi karena terburu-buru dan tidak transparan, terlalu luas cakupannya serta manipulatif. Manipulatif yang dimaksud adalah RUU Cipta Kerja dapat diibaratkan menjadi sebuah skripsi, maka naskah akademis adalah proposalnya. Daftar pustaka pada naskah akademis hanya memuat 9 buku (tidak memuat sama sekali tentang lingkungan hidup), 5 jurnal atau laporan, 1 thesis S2, 1 kamus, 52 peraturan dan Undang-Undang, serta 12 website.

Wahyu juga menerangkan, jika amdal atau analisis mengenai dampak lingkungan tetap ada, namun Upaya Pengelelolaan Lingkungan Hidup (UKL) di downgrading menjadi Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL). Hal ini menyebabkan ambiguitas antara risiko menengah dan rendah. Padahal penetapan risiko kegiatan usaha harus menilai aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam, dan atau risiko volatilitas.

Wahyu menyarankan Risk-Based Approach (RBA) perlu dukungan basis data yang kuat, menyeluruh, dan integratif. Hal ini karena database Indonesia sendiri sangatlah lemah, penyederhanaan perizinan seperti izin lingkungan juga dihapus menjadi persetujuan, lalu masuk sebagai bagian integral dari perijinan usaha, tidak sama dengan simplifikasi dampak lingkungan. Perlu ada mitigasi risiko pada sektor publik.

“Teman-teman akademisi yang sejak awal mengawal merasa kecolongan, ditikam dari belakang, ketika setuju bahwasannya rapat pleno terkahir tanggal 4 itu akan disahkan di paripurna tanggal 8, ternyata tanggal 5 sore. Jadi rapat itu lanjut dengan keanggotaan yang hadir secara fisik sedikit karena dari cerita yang saya dengar rata-rata anggota tahunya itu sudah selesai rapat,” ujar Wahyu.

Memang benar bahwa Undang-Undang Cipta Kerja ini dinilai gagal dan dapat diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, menurut Teguh Surya, uji materiil ke MK adalah selemah-lemahnya tindakan, dan sebuah keniscayaan karena memang diatur begitu.

“Tapi kita juga tahu, keputusan MK itu hampir tidak bisa dieksekusi, lemah sekali. Contoh uji materil tentang hutan adat yang dimenangkan oleh kelompok masyarakat adat sampai hari ini masih tidak jelas masa depannya. Bahkan RUU Masyarakat Adat yang mendesak itu ditunda, kalah urgennya dengan RUU Cipta Kerja urgensinya, padahal RUU Masyarakat Adat itu penting,” ujar Teguh Surya.

 

Penulis: Frillian Ariani P.


TAG#gagasan  #hukum  #lingkungan  #pemerintahan