» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Liputan Khusus
Belajar Bernarasi dengan Narasi
05 Februari 2019 | Liputan Khusus | Dibaca 1952 kali
konten juga perlu esensi: Workshop Narasi di Surabaya Foto: narasi
Menjadi content creator tak hanya sekadar viral, perlu diingat bahwa konten dapat mempengaruhi masyarakat. Oleh karena itu content creator sebagai sumber referensi perlu mempertanggungjawabkan muatannya. Bersama "Narasi", para content creator multi-medium belajar bersama dan berkolaborasi.

retorika.id - Selama 2 hari (2 - 3 Februari 2019) Narasi.tv mengumpulkan para content creator, utamanya di sekitar Jawa Timur, untuk mengikuti Narasi Content Creator Workshop di Surabaya, tepatnya di Sub-Co yaitu yaitu co-working space di Jl. Raya Darmo Harapan I. Acara ini diselenggerakan dengan tujuan sebagai perluasan karya jurnalistik (kreatif) dan kolaborasi dengan para content creator multi-medium.

Narasi sendiri telah berjalan selama satu setengah tahun, dengan berfokus pada konten audio visual di website Narasi.tv. Media yang juga dikenal dengan co-foundernya yaitu Najwa Shihab ini memiliki 14 program dalam website-nya. Narasi juga membuat Komunitas Mata Kita yang memiliki value utama di Narasi, yaitu anti korupsi, toleransi, dan partisipasi. Komunitas ini sudah tersebar di segala penjuru Indonesia, bahkan juga ada di Mesir dan Hongkong.

Aftian Tyo Saputra Siswoyo bertugas menangani content community di narasi yaitu Komunitas Mata Kita. Jumlah anggotanya sekarang sekitar 120 ribu, dan bertambah dari event roadshow Narasi di Unair kemarin (31 Januari - 1 Februari 2018) sekitar 3.388 orang.

“Ayo kirim konten ke Narasi, nanti kita kurasi. Kalau itu berdampak, punya nilai positif, dan sesuai dengan value narasi, nanti kita bisa share melalui Komunitas Mata Kita”, papar Tio. Komunitas tersebut terbuka bagi segala kalangan, tak terbatas pada umur pula.

“Kenapa Mata Kita? Biar kita bisa jadi mata bagi banyak orang. Cukup klik Bit.ly/gabungmatakita , atau cek melalui bio instagram @komunitasmatakita, kalian bisa gabung di sini. Tapi di Narasi sini ada mantranya. Namanya 3K, konten, kolaborasi, dan komunitas”, sambungnya.

Diisi oleh nama-nama besar dalam tiap programnya, Narasi ternyata juga bekerjasama dengan YouTube Indonesia untuk memerangi hoax. Hal ini didasari pula karena YouTube juga mencari partner untuk bekerjasama dengan konten yang unik atau lokal, bermuatan positif, dan dapat membuka perspektif.

Kembali lagi terkait workshop ini, Narasi menyeleksi sekitar 380 karya yang dikirim untuk workshop di Surabaya, dua kali lipat dibandingkan jumlah karya workshop Narasi sebelumnya di Jakarta. Peserta yang terpilih berjumlah 25 orang, dan berasal dari berbagai platform. Kriteria lainnya adalah se-visi dengan Narasi.

Peserta


workshop berasal dari berbagai wilayah di Jawa Timur dan sekitarnya, termasuk Surabaya, Malang, Situbondo, Trenggalek, bahkan hingga Sragen Jawa Tengah. Background dari para peserta juga beragam ada yang berfokus pada konten tulisan di website, platform YouTube, tumblr, podcast di Spotify, bekerja sebagai ilustrator, videografer, dsb.

Kelas pertama diisi oleh pemateri Ben laksana dan Rara Sekar. Keduanya merupakan co-founder dari Arkademy Project yang berfokus pada pengenalan Fotografi Kritis. Hal ini tak mengherankan, sebab pasangan ini berlatar belakang akademisi ilmu sosial. Ben sebagai dosen Sosiologi, dan Rara dengan Antropologi-nya.  Tujuan diadakannya kelas fotografi kritis adalah karena pendidikan kritis itu bisa dimulai dengan fotografi, karena foto dan media itu dekat dengan kita di kehidupan sehari-hari.

“Kita semua merupakan fotografer karena akses yang mudah pada media dan kamera yang mudah. Pertukaran informasi virtual juga merupakan hal yang biasa, karena siapa yang tidak punya akun Instagram misalnya. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat virtual”, ujar Ben.

Kelas ini mengajarkan kita bahwa konten visual juga harus memperhatikan nilai-nilai sosial karena hal itu juga berdampak pada pembaca konten. Kemudian bagaimana melatih kepekaan untuk melihat relasi objek-objek dalam foto dengan kehidupan sosial kita. Materinya turut menghubungkan fotografi dengan diri dan masyarakat, bagaimana foto itu mereka merepresentasikan nilai pribadi yang dianut, pengalaman diri sendiri, dan kondisi sosial di masyarakat.

Kemudian kelas kedua diisi oleh Alek Kowalski, penjelajah berbagai project. Sebut saja nama Folk Music Festival, Sunday Market di Surabaya Town Square, dan Pasar Kampung Ampel, itu semua tercipta karena buah pikiran dan kegigihannya dalam memproduksi konten. Tak hanya itu, Alek juga turut menjadi bagian dari siasatpartikelir.com, yang bertujuan menggagas kehidupan berkreatif.

Menurutnya content creator harus memperhatikan quality content, timeless reference, dan archiving. Menjadi content creator berarti menjadi sumber referensi, sehingga apa yang dibuat harus bisa dipertanggungjawabkan.

Tema utama yang ia tekankan adalah Keep It Local. Kenapa lokal? Jangan pergi kemana-mana, konten bisa tersedia dan mudah ditemukan. Contohnya bagaimana ia membuat Sunday Market, yaitu pasar loak berkedok modern di Surabaya Town Square yang digagasnya sejak 2009, namun baru terealisasi sejak 2012. Ia mendirikan Sunday Market karena mengetahui bahwa masyarakat Surabaya tidak mau berpanasan, yang baginya itu manja. Kenapa pasar? karena menurutnya banyak orang bertemu di pasar. Ia juga beranggapan karena di era sekarang life cycle barang menjadi cepat, sehingga kehadiran pasar loak modern ini bisa sesuai dengan keadaan sekarang. Content merupakan turunan dari Project, ini bisa tercipta karena kita butuh uang.

Kembali lagi, kenapa lokal? Karena itu relevan dan unartificial, mutual (punya hubungan dengan objek), engaging, dan archiving. Selain itu konten harus genuine, merefleksikan diri tanpa dibuat-buat. Content creator juga harus mempertimbangkan dua hal yaitu apakah orientasinya untuk profit, atau untuk membuat kesan meaningful dari idealismenya.

Terakhir, ia menekankan perlunya untuk berkolaborasi, artinya ada take and give antar collaborator, dan perlu berstatus equal di antaranya.

Kelas ketiga dari Narasi berisikan Jurnalism And Digital Contents oleh Imam Wahyudi, jurnalis senior.  Karena jejak digital tidak bisa hilang, maka konten harus punya value dan tanggung jawab. Sekarang semua bisa menjadi jurnalis melalui gawai masing-masing, sebab lanskap media konvensional kini beralih ke media sosial.

Sesi ini mengajarkan pada peserta bahwa content creator harus mempelajari aspek-aspek jurnalis agar kontennya dapat bertanggung jawab dan tidak menimbulkan efek buruk pada masyarakat, karena masyarakat kini terjerat oleh perputaran disinformasi melalui media.

Hal yang penting untuk dipelajari untuk pembuatan konten adalah disiplin verifikasi yang memuat akurasi, integritas, dan kredibilitas (memuat kompetensi, integritas, dan personality). Kepentingan publik bagi jurnalis itu esensial, jadi jurnalis harus memperhatikan apakah informasi yang ditulis itu layak dikonsumsi atau dapat mencederai subjek yang ditulis karena memuat konten privasi.

Imam juga menyediakan check list berisi beberapa poin yang substansial untuk pembuatan konten. Di antaranya apakah itu menyangkut kepentingan publik, privasi, aksesibilitasnya, independen, imparsialitas, memantau kekuasaan dan kompromi, menyampaikan hal penting secara menarik dan relevan, komprehensif dan proporsional, serta mendengarkan hati nurani. Pemenuhan akan konsep-konsep ini diujikan pada peserta  melalui konten audio visual yang berdurasi 15 detik oleh kelompok spontan yang dibentuk dalam sesi ini.

Kelas terakhir diisi oleh Bagoes Kresnawan, seorang filmmaker dan photography enthusiast. Ia menciptakan CommunityHunting Pasar” yang bertujuan melestarikan jajanan pasar dengan ikut membelinya sekaligus memotretnya. Ia namakan “Komunitas Sarapan” karena berkedok belajar foto atau video sekaligus mencoba jajanan pasar. Style yang dibawa oleh fotografi ini adalah street photography yaitu genre fotografi yang murah dan mudah dipelajari. Itulah mengapa Konten Original menjadi penting.

Sebagai content creator di Youtube juga, ia menekankan 15 second rules yaitu jangan buang-buang waktu penonton di awal video. Caranya dengan memaksimalkan 15 detik pertama dalam sebuah video dengan menarik agar penonton mau melanjutkan untuk menonton video tersebut secara penuh. Hal ini bertujuan untuk "teasing" penonton.  Content creator juga diharapkan dapat melakukan call ini action yaitu melibatkan penonton. Menurut Bagoes, video youtube tak melulu soal monetize dan numbers, yang penting adalah "konversinya". 

Serangkaian kegiatan workshop telah berakhir. Berbagai nilai yang diajarkan pun bisa terserap agar bisa menjadi content creator yang tak hanya tahu tentang “pasar”, tapi juga nilai-nilai humanis. Terlepas dari intensi tiap-tiap peserta dan medium yang digunakan, workshop ini dikemas secara ringan dan menarik, tanpa melupakan esensi dari “Narasi”.

Widyastuti Septiyaningrum, salah seorang peserta dengan media Jurnaba.co, merupakan media di Bojonegoro yang utamanya berfokus pada konten tulisan tentang destinasi wisata dan kuliner. Ia ingin mengembangkan lagi platform tersebut agar masyarakat Bojonegoro bangga akan potensi daerahnya.

“Ikut Narasi untuk mengembangkan Jurnaba.co, agar sesuai juga dengan tema acara ini yaitu The New Wave Of Creative Journalism. Dan ternyata narsum-nya (red : narasumbernya) keren-keren”, ujarnya terkait pendapatnya tentang workshop ini.

 

Reporter : Anita Fitriyani


TAG#aspirasi  #event  #inovasi  #seni