» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Pop Culture
Tengkorak: Angin Segar Film Fiksi Ilmiah di Tanah Air
29 Januari 2019 | Pop Culture | Dibaca 3545 kali
Film Tengkorak (Indonesia): Sci-fi Indonesia Foto: Sinopsisfilm
Sedikitnya film bergenre sci-fi buatan dalam negeri membuat kehadiran "Tengkorak" menjadi menarik. Bercerita tentang kemunculan fosil tengkorak raksasa pasca gempa bumi di Yogyakarta, sayangnya hal ini masih kurang "fantastis" untuk menggaet penonton Indonesia untuk mengapresiasi film ini -yang juga didukung oleh berbagai pihak dari Universitas Gadjah Mada

Judul                           : Tengkorak

Genre                          : Science-Fiction

Sutradara                     : Yusron Fuadi

Pemain                         : Eka Nusa Pertiwi , Guh S. Mana, Yusron Fuadi, dll

Tayang Perdana          : 18 Oktober 2018

Durasi                          : 114 menit

Produksi                      : Akascara Film & Vokasi Studio

 

retorika.id - Tak bisa dipungkiri bahwa dalam beberapa tahun belakang ini industri film Indonesia sedang mengalami peningkatan kualitas. Beragam genre juga mulai hadir mewarnai bioskop tanah air, sebut saja Pengabdi Setan (2017), Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017), Aruna dan Lidahnya (2018), hingga film dengan sasaran penonton untuk semua umur, Kulari ke Pantai (2018).

Namun, kesuksesan beberapa judul film ini bukannya membuat para penggiat film tanah air berusaha membuat karya dengan kualitas yang mendekati atau bahkan melampaui film-film di atas, mereka justru hanya mencoba menjiplak tanpa cerita yang matang dan membuatnya secara serampangan. Untungnya, Tengkorak (2018) tidak berada dikategori


ecek-ecek. Di antara lautan genre horor, drama, dan drama romantis di bioskop tanah air, Tengkorak hadir dengan genre fiksi ilmiah, sebuah angin segar bagi perfilman tanah air.

 

Plot

Film yang diperankan, disutradarai, dan ditulis naskahnya oleh Yusron Fuadi ini menceritakan tentang kemunculan sebuah fosil tengkorak manusia sepanjang 1,8 km dan berusia 170 ribu tahun di Daerah Istimewa Yogyakarta tepat setelah gempa bumi mengguncang wilayah ini pada 2006 lalu. Kegemparan pun tak pelak lagi terjadi, tak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Diceritakan bahwa banyak analisis dan konspirasi yang dikemukakan oleh para ilmuwan, agamawan, media, hingga masyarakat baik tingkat lokal, nasional, dan internasional perihal kemunculan tengkorak raksasa ini.

Eksplorasi tengkorak raksasa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia lewat Badan Penelitian Bukit Tengkorak (BPBT) pun terkesan sangat tertutup. Bahkan, terdapat tim khusus yang ditugaskan untuk menyingkirkan siapa pun yang berupaya menelusuri apa yang sebenarnya ada di dalam Bukit Tengkorak, mereka dinamakan Tim Kamboja. Nama kamboja diceritakan dipilih karena pohon kamboja yang memang sering ada di tempat pemakaman, nama yang menakutkan mengingat betapa seramnya tugas mereka.

Yusron, sang sutradara dan penulis naskah, memerankan Yos, seorang pembunuh bayaran anggota Tim Kamboja. Namun suatu hari memutuskan untuk menyelamatkan seorang target pembunuhan Tim Kamboja, Ani, yang merupakan seorang mahasiswi yang sedang menjalani program magang di BPBT.

Yos dikisahkan rela lari-lari dari tempat tinggalnya menuju kos-kosan Ani dan membunuh teman sesama anggota Tim Kamboja demi menyelamatkannya. Ani menjadi target pembunuhan karena kedekatannya dengan salah satu peneliti asing senior. Ani juga sering dimintai tolong untuk membeli kopi di kafe dekat markas BPBT.

Setelah menyelematkan Ani, Yos pun membawa kabur Ani ke tempat persembunyian temannya (yang juga merupakan bekas menara pengawas BPBT) di tengah hutan. Selama perjalanan melarikan diri, dinarasikan lewat pemberitaan televisi, bahwa pemerintah Indonesia menyetujui perjanjian dengan Amerika Serikat lewat PBB dan IMF untuk memberhentikan ekplorasi dan menghancurkan situs Bukit Tengkorak beserta fasilitasnya. Hal tersebut diimingi-imingi dengan imbalan penghapusan hutang luar negeri dan sejumlah insentif kepada pemerintah Indonesia. Otomatis ini membuat Yos dan Ani menjadi buronan yang tak hanya diburu oleh pemerintah, namun juga oleh Tim Kamboja yang mengetahui pengkhianatan yang dilakukan oleh Yos.

Banyak pihak yang dilibatkan dalam pembuatan film ini, di antaranya warga Gunung Kidul, Yogyakarta, mahasiswa, dan dosen Universitas Gadjah Mada (UGM). Bahkan, kru film dibantu penuh fasilitas Laboratorium Multimedia D3 Komputer dan Sistem Informasi Sekolah Vokasi UGM untuk mengerjakan beragam efek, animasi 3D, serta miniatur gedung BPBT.

 

Review

Teknik pengambilan gambar film ini pun menarik, sehingga menyuguhkan sebuah film dengan sinematografi yang sedap dipandang. Namun, beberapa proses penyuntingan mungkin masih terlihat kasar. Pemotongan antar adegan yang terlalu cepat membuat penonton sedikit kebingungan, padahal penyuguhan narasi film lewat potongan-potongan dokumentasi media disertai dengan opini publik sangat lah menarik. Lalu ada satu adegan dalam ruangan di malam hari yang penulis rasa kurang realistis karena teknik pencahayaan yang terlalu terang, sehingga membuat komparasi pencahayaan antara adegan di dalam rumah dan di pekarangan rumah terlihat tidak sebanding.

Efek visual, scoring dan sound editing film Tengkorak juga penulis nilai masih agak kasar. Tidak ada kesempatan bagi penonton untuk mengistirahatkan telinga, karena latar suaranya terus bermain di setiap adegan. Sound editing untuk dialognya juga masih sedikit terdengar kurang realistis, dialog antar pemain pun juga masih dirasa agak kaku. Namun, Tengkorak tetap harus mendapatkan apresiasi.

Penulis pun menyayangkan kurangnya antusiasme masyarakat untuk menonton film ini. Walau pun sudah masuk seleksi resmi beberapa festival film seperti Jogja Netpac Asian Film Festival 2017, Cinequest Film VR Festival 2018, serta Balinale Film Festival 2018, Tengkorak tak menjadi perbincangan luas masyarakat, bahkan tidak menjadi viral di ranah media sosial. Penulis khawatir Tengkorak tidak bertahan lama di bioskop tanah air, karena penulis sendiri saat menonton film ini hanya ditemani tak lebih dari lima belas orang di dalam teater.

Singkatnya, walaupun sudah banyak film fiksi ilmiah terdahulu di perfilman tanah air, namun Tengkorak jelas sudah berhasil melokalkan fiksi ilmiah di Indonesia. Hal ini tercermin dari dialog yang sebagian besar memakai bahasa Jawa, pun saat memakai bahasa Indonesia, logat jawa masih terdengar jelas. Dari awal hingga akhir, makian lokal, budaya ngopi sambil diskusi di angkringan, serta penggambaran aktivitas keseharian warga setempat mewarnai film ini, dan hebatnya sanggup untuk menggambarkan polemik tengkorak raksasa lewat kacamata masyarakat lokal.

Tengkorak memang lemah secara teknik, namun dialog dan logika cerita yang disuguhkan sangat kuat, sehingga tidak akan berlebihan jika penulis rasa kelemahannya bisa terbayar dan membuat Tengkorak berhak mendapat apresiasi yang lebih besar dari masyarakat.

 

Penulis: Pulina Nityakanti Pramesi


TAG#film  #review  #  #