Pemilihan Raya (Pemira) FISIP Unair menjadi topik hangat beberapa hari ini. Salah satu isu yang marak berdampingan dengan Pemira adalah eksistensi buzzer. Entitas yang mengklaim dirinya sebagai pihak yang “membuka kebenaran†ini menyebarkan informasi tentang para kontestan Pemira melalui unggahan-unggahan di media sosial. Tidak jarang, informasi yang disebarkan bernada menyinggung atau bahkan menyindir secara personal. Menanggapi hal tersebut, beberapa pihak yang bersangkutan dengan Pemira angkat bicara.
Retorika.id - Mendekati tanggal Pemilihan Raya (Pemira) di FISIP Unair, akun-akun buzzer mulai ramai bermunculan di media sosial. Akun-akun ini menyebarkan informasi tentang para kontestan Pemira melalui unggahan-unggahan mereka, mengklaim diri sebagai “pihak pembuka kebenaran”. Tidak jarang, informasi yang disebarkan bernada menyinggung atau bahkan menyindir secara personal. Menanggapi hal tersebut, beberapa pihak yang berkompetisi dalam Pemira FISIP 2023 angkat bicara.
Tuffa, calon presiden BEM FISIP nomor urut 02, menyayangkan eksistensi dari akun buzzer. Menurutnya, mengkritik jalannya Pemira sah-sah saja. Namun, akan lebih baik jika kritik mengenai Pemira dan para kontestannya disampaikan melalui akun media sosial pribadi. “Alangkah lebih baiknya gunakanlah account personal kalian supaya itu (kritik dan saran -red) bisa dipertanggungjawabkan,” ungkapnya melalui wawancara bersama Tim Retorika pada Selasa (12/12/2023).
Tuffa juga menambahkan bahwa menjadi buzzer tidak mencerminkan karakter mahasiswa FISIP. “Jadi setiap tahun kita merasa bahwasannya Pemira ini selalu ada buzzer, selalu ada narasi-narasi buruk
yang terbangun. Cobalah kita sudahi pemira yang seperti itu. Menurutku, bukan karakternya anak-anak FISIP untuk akhirnya menciptakan demokrasi yang buruk.”
Calon presiden BEM FISIP nomor urut 01, Melvin, berpendapat kurang lebih sama dengan Tuffa. Akan tetapi, ia menambahkan perspektif lain. “Aku merasa itu salah satu dari kebebasan berpendapat. Tapi ya, mungkin memang disalahgunakan oleh mereka.”
Akun-akun buzzer tersebut juga tidak sedikit menampilkan foto-foto dari paslon dan calon legislatif (caleg). Semua kontestan yang menjadi narasumber menerangkan bahwa mereka memilih untuk tidak menghiraukan. Justru, mereka bisa menemukan sisi positif dari kehadiran buzzer ini. “Orang-orang jadi melek politik. Buzzer ini, kan memunculkan citra jelek, nah orang-orang itu secara otomatis menggali apakah informasi itu benar atau tidak,” pungkas Jabir, caleg nomor urut 15 dari Partai Cinta.
Ketika ditanya apakah ada keresahan mengenai dampak buzzer terhadap elektabilitas, mayoritas dari kontestan yang diwawancarai menjawab bahwa mereka tidak memiliki kekhawatiran. Melvin berpendapat bahwa “mahasiswa FISIP pasti tahu cara menyaring informasi yang beredar”. Tuffa mengatakan bahwa saat ini ia hanya berfokus “membangun narasi-narasi positif sebagai tandingan buzzer”. Di samping itu, Jabir juga mengatakan, “tetap optimis dan percaya (bahwa) publik bisa menentukan sendiri apakah narasi yang dibawa oleh buzzer benar atau salah”.
Pendapat lain datang dari Yasin, caleg nomor urut 02 dari Partai Dewa. Pada sesi wawancara bersama Tim Retorika, ia mengakui bahwa muncul kecemasan pribadi akibat buzzer-buzzer ini. “Ini asumsi pribadiku, ya. Tujuan dari adanya buzzer itu kan memang untuk mempengaruhi persepsi publik. Jadi apakah takut? Ya sebenarnya takut, apalagi kalau ada beberapa narasi yang sifatnya provokatif, fitnah, dan tidak berdasarkan fakta. Tentu aku sangat kecewa dengan itu (buzzer dan narasi provokatifnya -red).”
Selain paslon dan caleg, mahasiswa FISIP sebagai pemilik hak suara dalam Pemira juga pastinya terkena dampak dari eksistensi buzzer, seperti yang dirasakan oleh Haikal, salah satu mahasiswa aktif FISIP Unair angkatan 2022. Menurutnya, buzzer di media sosial biasanya mengunggah opini-opini kontra terhadap pihak kontestan. “Mahasiswa FISIP itu dekat hubungannya dengan politik. Jadi, harus menanggapi informasi itu (yang diunggah oleh buzzer) dengan profesional, dengan dewasa. Harus check berulang kali itu benar apa enggaknya,” ungkap Haikal.
Meskipun demikian, walau dengan bertebarannya buzzer yang terus melontarkan narasi negatif terhadap paslon dan caleg, Haikal mengaku bahwa hal tersebut tidak mengurangi minatnya untuk menggunakan hak suara dalam Pemira nanti. “Itu sudah hak dan kewajiban,” tegasnya.
Akhir kata, Tuffa mengajak seluruh mahasiswa FISIP untuk menciptakan lingkungan demokrasi yang baik, karena menurutnya tindakan black campaign ini seharusnya tidak ada lagi. Berbeda dengan Melvin yang berpendapat bahwa tidak ada yang bisa menutup kemungkinan buzzer itu hilang sepenuhnya. Namun, Melvin berharap bahwa di masa depan, media beropini bisa lebih dipergunakan untuk sisi positif dan bukan malah menyebar fitnah yang hanya akan mengotori kontestasi.
Penulis: Naomi Widita dan Vraza Cecilia
Editor: Nofiyah Maulidah
TAG: #akademik #aspirasi #bem #blm