Sama halnya dengan ungkapan “tak ada gading yang tak retakâ€, penyelenggaraan kontestasi tahunan ini menuai kritik dengan kurangnya antusiasme mahasiswa dalam kegiatan pemilihan umum. Berangkat dari hal itu, Tim Retorika mencoba menelusuri alasan dari tidak antusiasnya mahasiswa FISIP melalui pendapat mereka masing-masing sebagai peserta dalam mengikuti kontestasi pemira 2020.
retorika.id-Proses Pemilihan Umum Raya Fisip Unair (pemira) secara e-voting rampung digelar pada Rabu lalu (27/12), pengumumannya pun telah disiarkan melalui liveInstagram @kpumfisipua.
Sama halnya dengan ungkapan “tak ada gading yang tak retak”, penyelenggaraan kontestasi tahunan ini menuai kritik dengan kurangnya antusiasme mahasiswa dalam kegiatan pemilihan umum.
Tim Retorika mencoba menelusuri alasan dari tidak antusiasnya mahasiswa FISIP melalui pendapat mereka masing-masing sebagai peserta dalam mengikuti kontestasi pemira 2020.
Lilis Hariani, mahasiswa Antropologi angkatan 2019, mengatakan dengan gamblang bahwa ia ‘tidak’ antusias mengikuti pemira 2020 ini dibanding dengan pemira tahun lalu. Ia beralasan bahwa pada pemira tahun ini, aspek keterbukaan dan kreativitas dalam proses kampanye sangatlah kurang.
“Cuma soal kampanyenya pemira aja perlu lebih kreatif. Misal, ya, share video kampanye ke setiap grup prodi atau grup UKM atau grup organisasi lain ya biar lebih tersampaikan,”
tulisnya melalui pesan Whatsapp (28/01). Selain itu, Lilis mengaku adanya calon tunggal kurang membuat semarak pemira di tahun ini.
Hal yang sama dirasakan juga oleh Dwi (nama samaran) dari prodi Hubungan Internasional yang kurang antusias dalam mengikuti pemira akibat pelaksanaannya yang dilakukan secara online.
“Jadi, sebenarnya pemira tahun ini emang kayak kurang lebih terasa feelnya. Mungkin karena aku ada teman yang juga nyalon. Jadi dia sering ngingetin. Tapi kalau gak ada teman seperti itu pasti aku udah golput karena simply gak tahu,” tulis Dwi yang juga dihubungi melalui pesan Whatsapp (27/01).
Terkait dengan isu-isu pada pemira tahun ini, Dwi pun turut menyesalkan hal tersebut. “Terus, sebenarnya juga, rada sedih sama pemira tahun ini yang isu-isu negatif (yang sampai sekarang aku gak tahu bener atau nggaknya) bisa lebih kenceng banget,” tambahnya.
Pada tahun ini, pemira juga turut melibatkan mahasiswa dari angkatan 2020. Ratna Dwi, mahasiswa Sosiologi yang dihubungi melalui pesan LINE, merasa masih bingung dan tidak paham dengan adanya pelaksanaan pemira. “Aku sempat tanya ke teman-temanku juga. Sama-sama gak tahu. Jadi aku cari tahu sendiri lewat Instagram.”
Berbeda halnya dengan Made Ayu Septia Pujayanti dari prodi Hubungan Internasional yang sudah memahami bagaimana pelaksanaan pemira. “Kesan pertama pemira yang dijalankan secara online ini menarik, menambah wawasan khususnya dalam pemilihan BLM, DLM, Capres, dan Cawapres,” ungkapnya.
Hal ini tentu menjadi pengalaman baru bagi mereka. Sayangnya, sosialisasi terkait pelaksanaan pemira dirasa kurang oleh sebagian mahasiswa angkatan 2020.
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa mekanisme e-voting ini perlu diberikan apresiasi. Hal ini disebabkan oleh tidak ditemuinya kendala dalam hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme. Ini turut menjadi kelebihan dari pemira tahun 2020.
“Bagus, sih, malah aku kayaknya lebih suka sistem online gini. Jadinya gak terlalu tegang milihnya,” tutur Dwi.
Begitu pula dengan yang dirasakan oleh Lilis. “Menurutku udah baik, gak terlalu ribet,” ungkapnya.
Penulis: Uyun Lisa, Edsa Putri A., Shindie Ananda D.
Editor: Dien Mutia Nurul Fata
TAG: #bem #blm #demokrasi #fisip-unair