Munculnya kandidat bakal calon tunggal dari koalisi Partai Cinta dan Partai Mentari menimbulkan banyak pertanyaan mengenai pertaruhan kursi kepemimpinan BEM FISIP Unair tahun ini. Tak berhenti dari fakta, bahwa hanya tiga partai politik (Parpol) yang lolos, justru dari ketiga Parpol tersebut hanya satu nama pasangan calon yang dapat diajukan. Hal ini memunculkan kekecewaan dari beberapa partai.
retorika.id-KPUM menyatakan pasangan calon Yoga Haryo (Sosiologi) dan Fety Vanda Yunita (Ilmu Komunikasi) dinyatakan lolos berkas dalam kontestasi Pemilu Raya (Pemira) tahun ini (20/01/2021). Pasangan ini maju sebagai kandidat satu-satunya sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden BEM FISIP Unair, melalui koalisi Partai Mentari dan Partai Cinta. Namun, hal ini justru memunculkan isu ‘calon tunggal’ dan ‘kotak kosong’.
“Munculnya calon tunggal dan kotak kosong pada pemira tahun ini menandakan bahwa demokrasi FISIP sedang tidak baik-baik saja.” Ujar Thoriq selaku Ketua Partai Jingga pada (23/1).
Dirinya melanjutkan, jika hal tersebut dapat mengakibatkan aspirasi mahasiswa FISIP tidak akan terdengar sepenuhnya. Munculnya calon tunggal juga membahayakan kesehatan mental politik mahasiswa FISIP, khususnya mahasiswa baru (maba).
“Mereka mahasiswa baru belum tahu dinamika politik kampus seperti apa, tetapi sudah disuguhkan dengan pemira yang hanya ada calon tunggal dan itu dari kelompok tertentu saja,” ujar Thoriq yang khawatir dengan pemira tahun ini, “sehingga mereka mendoktrin para mahasiswa baru dengan narasi-narasi yang hanya menguntungkan pihak tertentu bukan dari hati nurani karena ga adapilihan lain.”
Terkait dengan tidak lolosnya Partai Jingga dalam pemira tahun ini, Thoriq menjelaskan bahwa ada beberapa kejanggalan yang ia dan anggota partainya
rasakan.
“Dari dulu mungkin setiap parpol melakukan undian untuk menentukan nomor urutan verifikasi, tetapi tahun ini nomor urutan itu berdasarkan si parpol mendaftarkan duluan, dan yang membuat janggal adalah, itu ditetapkan saat Technical Meeting (TM) berlangsung.” Jelas Thoriq.
Lebih lanjut ia menerangkan, jika mungkin ada yang membantah bahwa hal tersebut sudah sesuai dengan kesepakatan peserta TM, dirinya justru mempertanyakan, apakah benar peserta TM yang hadir berasal dari partai-partai yang ada dan jelas.
“Dan kenapa saat verifikasi mereka tidak ada semua? Partai saya ga masalah jika kalah, tetapi tolong demokrasi FISIP jangan dinodai dengan perilaku kotor orang yang tak bertanggung jawab." Tutup Thoriq.
Senada dengan Thoriq, Ersya Naufal Afif selaku Ketua Partai Senja menyatakan, jika idealnya, calon tunggal dan kotak kosong tidak terjadi dalam pemira FISIP. Pihaknya juga menyayangkan hal tersebut.
“Cukup disayangkan jika hanya ada satu pasangan calon saja.”
Namun, Ersya sendiri telah melihat usaha KPUM untuk menyebarkan info pendaftaran bahkan memperpanjang batas pendaftaran, karena sampai batas waktu yang ditentukan belum ada pasangan Capres – Cawapres yang mendaftar.
“Saya lihat KPU berusaha untuk memperpanjang batas pendaftaran guna mencegah terjadinya calon tunggal, tetapi hingga detik terakhir kelihatannya tidak ada pasangan calon yang nendaftar, ya bagaimanapun kita harus menerima hasil tersebut dan tetap mengawal demokrasi yang sedang berlangsung di FISIP kita tercinta.”
Ersya selaku ketua juga menyesalkan atas tidak lolosnya Partai Senja dalam pemira tahun ini, padahal partai senja sendiri sudah berkibar selama 5 tahun.
“Harapan saya ke depan semoga partai dan calon terpilih dapat mengakomodasi aspirasi mahasiswa-mahasiswa FISIP agar FISIP menjadi lebih baik dan tidak mementingkan kepentingan golongan masing-masing.” Ujar Ersya saat diwawancara tim Retorika Sabtu (23/1).
Sementara Partai Satya Pelangi, sebagai partai yang lolos dan tidak mengajukan nama kandidat Capres-Cawapres juga memberikan tanggapannya terkait calon tunggal.
Dikutip melalui wawancara bersama Zein, ketua umum Partai Satya Pelangi pada (21/01), "Tentu ini sangat disayangkan, konteks calon tunggal ini memang dirasa mencederai demokrasi dalam pemilihan umum."
Zein juga menjelaskan, "Satya Pelangi dalam kasus ini seakan merasa dipojokkan dan dibatasi ruang geraknya, khususnya mengenai timeline dan kriteria sebagai syarat dalam pemira. Pun juga sistem pemira sendiri, dirasa ada yang janggal."
Konteks yang paling membuat Satya Pelangi lebih heran adalah, mengapa hanya tiga partai yang lolos verifikasi. Mengingat, ada beberapa partai yang memang sering berkecimpung dalam dinamika pemira, justru tidak lolos.
Ini berpengaruh menjadi hambatan, di mana Satya Pelangi sendiri tidak bisa membangun koalisi dengan suara dan partai yang cukup, sehingga tidak mampu membangun koalisi baru dan memunculkan nama kandidat.
Fakta bahwa hanya ada tiga partai yang lolos dan keluarnya satu bakal kandidat dalam bursa kursi kepemimpinan BEM, menunjukkan asumsi yang mempertanyakan peran dan posisi KPUM serta berjalannya demokrasi di Kampus Pergerakan.
Menurut Zein, ada banyak kolega partai yang berupaya melakukan aksi kritik terhadap KPUM mengenai fenomena ‘tiga partai lolos’ dan ‘calon tunggal’.
"Saya melihat teman-teman lain merespon fenomena ini dengan buzzer di media sosial, tujuannya adalah mengkritisi dari apa yang terjadi di pemira kali ini," tandasnya saat ditanya mengenai respon calon tunggal, sekaligus gugurnya beberapa potensi koalisi Satya Pelangi.
Lantas untuk mengadapi kondisi seperti ini, Satya Pelangi memilih untuk memaksimalkan bakal pencalonan yang ada seperti kandidat Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) dan Dewan Legislatif Mahasiswa (DLM) yang juga menjadi bagian dari pemira.
Pertanyaan paradigma yang lantas muncul dapat merujuk pada benarkah KPUM sudah netral dan ideal? Sejauh mana KPUM merepresentasikan demokrasi dalam pemira tahun ini? Atau justru berlaku sebaliknya pada partai? Tentu hal ini menarik untuk diulas lebih lanjut dan meninjau transparansi pemira yang sebenarnya.
Penulis: Febrian Brahmanantya Mukti dan Aisyah Amira Wakang
TAG: #blm #demokrasi #fisip-unair #