» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Info Kampus
Simalakama bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual
10 Maret 2019 | Info Kampus | Dibaca 1897 kali
Diskusi Kekerasan Seksual: Peringatan Hari Perempuan Internasional Foto: Alvidha Febrianti
Kasus kekerasan seksual sukar untuk menemui jalan keluar karena disproporsi masalah. Disproporsi masalah terjadi karena terdapat kesalahan pengukuran dari sebuah masalah. Dampaknya, masalah tersebut berpotensi diperbesar (generalisasi) dan diperkecil (isolasi).

retorika.id - Bertepatan dengan peringatan International Women’s Day, telah berlangsung acara dengan tema “Antara Kampus, Media, dan Kekerasan Seksual” di Rumah Kebudayaan, kampus B Unair pada Jumat, 8 Maret 2019. Diskusi yang diselenggarakan oleh komunitas Ngopi (Ngobrol Pintar) ini menghadirkan dua pembicara, yakni Gesang Manggala N. P., S.HUM., M.HUM. selaku dosen Bahasa dan Sastra Inggris Unair dan Dra. N.K. Endah Triwijati, MA yang merupakan seorang Psikolog dan dosen Psikologi Ubaya.

Diskusi dibuka dengan pemaparan kasus kekerasan seksual yang terjadi baik di instansi pemerintah maupun di lembaga pendidikan oleh sang moderator. Kemudian, dilanjutkan dengan presentasi dari kedua pembicara.

Gesang mengungkapkan bahwa akar dari kasus kekerasan seksual yang masih


terjadi adalah masyarakat Indonesia masih menganut sistem patriarki. Kaum laki-laki sering diposisikan di tempat yang lebih tinggi dari posisi perempuan.

Selain itu, terdapat hal lain yang menyebabkan kasus kekerasan seksual sukar untuk menemui jalan keluar, yakni karena disproporsi masalah. Disproporsi masalah terjadi karena terdapat kesalahan pengukuran dari sebuah masalah. Dampaknya, masalah tersebut berpotensi diperbesar (generalisasi) dan diperkecil (isolasi).

Proses generalisasi masalah terjadi ketika point of interest ditujukan pada laki-laki. Masyarakat cenderung mengaburkan kasus sehingga tidak hanya terpusat pada perilaku laki-laki secara individu, tetapi secara keseluruhan. “Sudah menjadi hal yang dimaklumi jika semua otak laki-laki sering berfikir tentang seks. Sehingga, mereka mendapat pemaafan dari masyarakat,” ujar Gesang.

Sementara itu isolasi masalah adalah kebalikannya. Perempuan ditempatkan sebagai point of interest. Dengan kata lain, masyarakat cenderung menyalahkan perempuan sebagai korban kekerasan seksual (victim blaming). Hal itu terjadi karena terdapat asumsi bahwa penampilan dan perilaku perempuan yang “menggoda” sehingga memicu terjadinya kekerasan seksual. Dampaknya, muncul perasaan superior pada laki-laki untuk terus membungkam korban agar tidak melaporkan kasus kepada pihak yang berwajib.

Disamping itu, dari kacamata psikologi, Triwijati menjelaskan bahwa alasan terjadinya victim blaming pada korban kekerasan seksual berasal dari sikap ketidaktahuan, kekejaman, dan rasa superior yang sombong. Sikap tersebut dikenal dengan istilah “just world phenomena”, sebuah kepercayaan kognitif bahwa tindakan seseorang secara inheren akan membawa konsekuensi yang adil pada individu tersebut.

“Jadi ada perspektif dari masyarakat untuk menyalahkan korban kekerasan seksual bahwa dia pantas menerima perlakuan itu, karena mereka yang awalnya menggoda,” ungkap Triwijati. Dirinya juga mengatakan, pemberitaan di media terkait kasus kekerasan seksual seharusnya mampu memberi informasi yang berimbang dan tidak memandang perempuan sebagai properti.

Serangkaian acara diakhiri dengan sesi tanya jawab di antara peserta diskusi. Triwijati juga memungkasi dengan menegaskan poin penting bahwa kekerasan seksual bukan urusan privasi tetapi urusan negara yang harus segera diupayakan bersama.

 

Penulis: Alvidha Febrianti


TAG#gender  #  #  #