Dihadapkan pada isu humaniter di Gaza, netizen Indonesia beramai-ramai melakukan kampanye digital dengan memasang bendera Palestina dan simbol semangka di sosial media mereka. Tapi, ketika dihadapkan dengan isu yang serupa dari masyarakat etnis minoritas muslim Rohingya, Indonesia justru mengecam dan mengantagonisasi. Ada apa?
Retorika.id- Ketika dunia menyaksikan betapa destruktif dan tidak manusiawinya genosida di Gaza, masyarakat Indonesia menjadi salah satu yang terdepan dalam menyuarakan usaha-usaha perdamaian dan gencatan senjata. Lini masa media sosial lantas dipenuhi simbol semangka dan bendera Palestina, lengkap dengan kalimat-kalimat yang mengutuk tindakan keji Israel.
Namun, sikap itu seakan hilang ketika dihadapkan pada situasi yang serupa perihal pengungsi Rohingya. Nilai kemanusiaan yang selama ini selalu digaungkan, seakan-akan menguap tanpa sisa. Ujaran kebencian, hoaks, dan narasi-narasi tak berdasar yang beredar di media sosial, diperkeruh dengan pendapat menyesatkan dari figur publik maupun dunia maya.
“Lho, tapi kan mereka ke sini mau merampas tanah?”
Tolong jangan samakan pengungsi Rohingya dengan Israel. Status mereka adalah displaced person atau refugee, yakni sekelompok orang yang terpaksa meninggalkan tanah mereka untuk mencari suaka di luar negara asalnya. Yang seharusnya dipertanyakan adalah mengapa mereka memilih repot pergi dari Myanmar untuk ke Indonesia?
Jawabannya, karena mereka mengalami hal yang sama dengan masyarakat di Gaza: genosida. Myanmar yang kursi pemerintahannya sedang dipegang oleh Junta Militer, melakukan serangkaian kekerasan skala besar dan pelanggaran Hak Asasi Manusia kepada masyarakat muslim Rohingya. Mereka kemudian terpaksa melarikan diri dengan kendaraan ala kadarnya, menaiki perahu, bahkan terombang-ambing di Teluk Bengal hingga sampai di Bangladesh. Banyak pula dari mereka
yang akhirnya tiba di Malaysia dan Indonesia.
Dengan status kewarganegaraan yang belum tetap, membuat pengungsi Rohingya tidak mendapat perlindungan hukum dan jaminan HAM. Mereka menjadi rentan akan kejahatan, seperti human trafficking, perdagangan organ, hingga eksploitasi buruh.
Menurut UNICEF, dari 960.000 pengungsi yang ada, 499.000 di antaranya adalah anak-anak. Artinya, ada setengah juta anak yang terancam menjadi lost generation, digerogoti konflik yang bahkan mereka sendiri tidak mengerti.
“Lho, tapi kan Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 maupun Protokol 1967 UNHCR?”
Argumen tersebut, kendati benar, adalah menyesatkan. Adalah benar bahwa konvensi tersebut merupakan sumber hukum internasional terkait dengan pengungsi. Namun, sumber hukum internasional tidak hanya konvensi, bukan?
Asas non-refoulement atau larangan pengembalian pengungsi merupakan jus cogens atau norma internasional. Hal ini berarti, Indonesia dilarang mengembalikan pengungsi yang mencari suaka, meskipun tidak menandatangani Konvensi 1951 maupun protokol 1967.
“Lho, tapi kan mereka minta KTP Indonesia?”
Isu terkait pengungsi minta KTP, Menlu Retno Marsudi bicara dalam forum PBB untuk mengusir Rohingya, pengungsi mengamuk di Sidoarjo, Rohingya sudah masuk pantai di Mandalika, semuanya adalah hoaks.
Entah siapa yang menciptakan, isu Rohingya sangat rawan dipolitisasi. Hal tersebut, diperparah dengan minimnya minat masyarakat untuk melakukan validasi berita dan kurangnya literasi informasi mengenai berbagai isu yang beredar.
Publik yang malas menggali informasi, mendapatkan berita mereka dari sosial media seperti TikTok, dengan user generated content yang belum tentu absah informasinya. Video dikemas sedemikian rupa sehingga dapat menyulut emosi secara instan, mendorong pemirsa untuk membagikan berita tersebut supaya traffic si pembuat video bertambah.
Belum lagi bicara soal influencers TikTok yang membuat beragam narasi insensitif dan tidak manusiawi tentang Rohingya. Mereka melakukan framing, seolah-olah masyarakat Rohingya tidak bersyukur dengan bantuan kemanusiaan yang ada, atau melakukan tindakan-tindakan kriminal yang lagi-lagi merupakan hoaks.
“Lho, tapi mereka kan masuk Indonesia secara ilegal?”
Dari semua orang, sayangnya, argumen ini dikeluarkan oleh salah satu calon wakil presiden yang banyak pengikutnya. Otomatis stigmatisasi pengungsi Rohingya semakin keruh, alih-alih mendinginkan suasana yang sempat riuh.Mereka pengungsi, lho. Menyelamatkan barang-barang berharga saja tak sempat. Hanya mampu membawa nyawa melintasi laut dan bertahan hidup bila beruntung, tapi disuruh mengurus paspor dan visa?
Tidak ada ceritanya pengungsi yang lari dari genosida masih memikirkan imigrasi.
“Kalau mereka lama menetap di Indonesia, bagaimana?”
Pertama, Indonesia bukan tempat prospektif untuk dijadikan suaka bagi pengungsi. Selain tidak bisa mendapat status kewarganegaraan, nasib mereka juga sedikit lebih baik di Malaysia. Di Negeri Jiran, etnis minoritas muslim Rohingya bahkan telah memiliki asosiasi mereka sendiri. Kedua, kalau bisa memilih, mereka juga tidak mau meninggalkan tanah mereka. Sayangnya, mereka tidak punya pilihan itu, bukan?
Paling memalukan terjadi ketika sekelompok mahasiswa, yang dengan menjijikkannya masih melabeli diri sebagai agen perubahan, melakukan aksi demonstrasi, kekerasan, dan pengusiran paksa pengungsi yang mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Jika sudah begini, masalahnya bukan pada struktur internasional mengenai mekanisme penerimaan pengungsi, melainkan pada sistem nilai masyarakatnya yang tidak memanusiakan manusia lagi.
Dari berbagai fenomena di atas, ujaran-ujaran kebencian di internet, serta ketidakmampuan kita untuk menjadi peka akan isu humaniter yang melanda pengungsi Rohingya. Menjadi patut dipertanyakan, apakah aksi bela Palestina yang kita lakukan kemarin memang didasarkan pada kemanusiaan semata? Karena kalau iya, kita tidak mungkin memperlakukan pengungsi Rohingya secara tidak manusiawi. Atau, memang sedari awal kita tidak pernah berpihak pada kemanusiaan?
Pengungsi juga manusia. Mereka memiliki hak asasi untuk hidup, untuk mempertahankan kehidupan, dan untuk merasa aman dari segala ancaman. Mereka yang melakukan tindak kekerasan di dunia nyata maupun maya terhadap pengungsi Rohingya tidak ada bedanya dengan junta yang melakukan genosida: sama-sama pelanggar HAM. Juga dari mereka yang membedakan perlakuan terhadap korban genosida di Gaza dan Rohingya adalah hipokrit belaka.
Penulis: Ghulam Phasa Pambayung
Editor: Marsanda Lintang
TAG: #agama #budaya #humaniora #politik