Sekarang, setelah setahun lamanya, aku sudah berdamai. Kisahku dan dia sudah berakhir. Meskipun terkadang aku bertanya pada diriku sendiri, bagaimana caranya mengakhiri sebuah kisah yang tidak ada akhirnya? Karena aku tahu, aku dengan dia tidak pernah menyelesaikan apapun. Aku dan dia tidak pernah benar-benar selesai. Dan malam ini, aku merayakan empat tahun kisahku dan dia yang tidak pernah selesai.
30 Agustus 2020, di sebuah Kota Kecil.
Aku sedang memastikan bahwa barang bawaanku tidak tertinggal, Ibu juga sudah menghujaniku dengan beribu macam pertanyaan untuk memastikan bahwa memang sudah tidak ada barang bawaanku yang tertinggal. Padahal aku tidak membawa lebih dari lima puluh barang.
Handphone.
Tiket.
KTP.
Dompet.
Buku.
Surat Keterangan Sehat.
Diapet.
Sudah semua. Semua barang penting tersebut sudah berada di tas ransel berwarna biru tua milikku. Aku juga memastikan bahwa aku sudah mengeratkan tali sepatuku dengan kuat. Kemudian, aku segera berpamitan dengan Ibu dan Adik-adikku.
“Kamu beneran sendirian nggak papa, Kak?”
Aku mengangguk.
“Jaga diri kamu.”
Aku mengangguk.
“Kabari Ibu sama Ayahmu kalau ada apa-apa.”
Aku kembali mengangguk.
“Hati-hati. Baca doa, Kak. Titip salam untuk Emak dan Bapak.”
Aku mengangguk, lagi. Lalu menatapnya sekilas, mencoba meyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja. Kemudian pamit kepadanya.
Itu kalimat terakhir dari Ibu sebelum akhirnya aku melangkah keluar rumah, menaiki motor ayah, dan bergegas pergi meninggalkan rumah, menuju stasiun. Di sepanjang perjalanan, aku kembali berpikir panjang. Sebenarnya, aku tahu bahwa Ibu tidak sekhawatir itu walaupun dari perkataannya tadi, aku sudah cukup paham bahwa dia mengkhwatirkanku. Sejak dulu, Ibu memang selalu seperti itu, tidak pernah menunjukkan kekhawatirannya secara berlebih, atau dia memang benar-benar tidak terlalu khawatir.
Karena aku tahu Ibu selalu percaya padaku. Ia selalu percaya bahwa aku akan baik-baik saja, dimanapun aku berada. Dan aku juga selalu percaya bahwa Ibu akan selalu mempercayaiku, karena aku percaya doa-nya tak akan pernah putus kepadaku selama nafasnya masih berhembus.
Aku membelah jalanan Kota Kecil ini bersama Ayah. Sekilas aku mengalihkan pandangku dari jalanan sepi ini ke arah atas, menatap langit. Langit malam ini sedang baik-baik saja. Bintang-bintang bertebaran memenuhi gelapnya langit di penghujung bulan Agustus malam ini, aku menengadah cukup lama, mengamati lamat-lamat gugusan bintang yang semakin kulihat semakin banyak, semakin jelas, saling berdekatan, tanpa sekat. Aku membiarkan angin malam menerpa wajahku, membiarkan tiap hembus dinginnya masuk ke dalam indra penciuman dan membelai kulitku dengan kuat. Tetapi, dalam ketenangan dan kedamaian ini, jauh di dalam hati dan kepalaku, aku tidak bisa merasakan ketenangan dan kedamaian itu.
Selama tiga puluh menit perjalanan, aku dan Ayah hanya saling diam. Kami larut dalam pikiran kami masing-masing. Aku juga sedang tidak ingin diajak bicara saat ini, aku hanya ingin menikmati perjalananku menuju tempat yang akan mengantarku lebih jauh lagi dari rumah. Lebih tepatnya, dari Kota Kecil ini.
Kepergianku kali ini mendadak. Sangat mendadak. Tetapi aku punya alasan pasti mengapa aku harus pergi semendadak ini. Ada dua alasan kuat, satunya masuk akal, satunya tidak, dan aku mengakui itu. Namun, setidak masuk akal apapun alasannya, aku tetap harus pergi.
Lima hari lalu, aku mengatakan kepada Ayah dan Ibu bahwa aku akan pergi dari Kota Kecil ini. Aku tidak menjelaskan alasanku secara detail, aku hanya mengatakan bahwa aku bosan, dan Bapak − aku memanggil Kakekku begitu − ingin aku bertemu dengannya. Awalnya mereka mengira bahwa aku bercanda, tapi keesokan harinya, aku mengatakan kepada mereka kalau aku sudah membeli tiket kereta sejak seminggu lalu, kemudian mereka berdua setuju ketika aku secara tegas mengatakan bahwa aku memang ingin pergi. Barangkali, mereka juga tidak punya pilihan lain.
Ayah adalah orang pertama yang mengizinkanku untuk pergi. Sebenarnya Ibu juga mengizinkanku setelah Ayah mengiyakan, hanya saja kali ini menurutnya kepergianku mendadak. Terlalu mendadak untuknya yang bahkan belum membelikan apapun untuk diberikan kepada Emak dan Bapak. Bagiku, ini juga terlalu mendadak. Semuanya mendadak. Termasuk perkara hatiku.
Kini aku sudah berada di stasiun, Ayah mengantarku menuju tempat tunggu. Menunggu aku untuk check-in tiket, tetapi check-in tiket dibuka 30 menit sebelum keberangkatan, dan sekarang masih ada waktu sekitar 3 jam sebelum check-in tiket dibuka. Ayah beberapa kali menguap, wajahnya yang tak menua meskipun usianya sudah berkepala empat itu terlihat sayu kelelahan.
“Ayah ke luar sebentar ya, mau cari kopi. Masih lama, kan? Kamu tunggu
disini aja.”
Aku mengangguk.
Setelah Ayah lengang dan menghilang dari pandanganku, secara tiba-tiba aku merasakan tubuhku kedinginan, tanganku dipenuhi peluh dingin, jantungku bergumuruh cepat, setengah nafasku tercekat. Aku merasa ingin muntah, meskipun aku yakin kalaupun aku muntah tidak ada yang akan kukeluarkan karena sejak tadi siang aku belum mengisi perutku. Aku begitu ketakutan. Aku belum siap, tetapi entah siap atau tidak, aku memang harus siap, ‘kan?
Aku mengalihkan rasa tak nyaman itu, yang lebih pantas disebut rasa sakit, dengan mendengarkan musik. Aku memasang earphone berwarna putih lusuh itu ke kedua telingaku, memutar satu lagu dari aplikasi musik di handphoneku. Aku tidak tahu mengapa aku harus memutar lagu itu, hanya saja aku merasa melodi dalam lagu itu cukup membuat nafasku kembali normal.
If the world was ending you’d come over, right?
Right?
Aku baru menyadari bahwa lagu itu jarang aku putar, tanpa sadar aku ikut menyanyikan beberapa bait lirik yang aku hapal, sisanya aku hanya fokus mendengarkan. Aku tidak hapal seluruh liriknya, mungkin baru tiga atau empat kali aku memutar lagu itu. Di tengah pikiranku yang hanyut bersama lagu itu, Ayah sudah muncul di depanku dengan setengah gelas kopi di tangan kanannya.
“Kak, Ayah ngantuk. Masih lama juga nungguin kamu.”
“Ayah pulang aja nggak papa. Aku bisa sendiri. Tinggal naik doang, kok.”
“Coba kamu minta tolong temanmu untuk nemanin kamu, ini belum kemalaman juga. Belum ada jam sembilan gini,”
Aku menimbang-nimbang kalimat Ayah barusan. Memangnya, siapa yang mau menemaniku? Siapa yang akan datang kepadaku ketika duniaku rasanya akan berhenti? Aku rasa tidak ada. Apalagi dia. Dia tidak akan pernah kemari, jangankan untuk menemaniku menunggu disini, untuk menemuiku saja sepertinya dia tidak akan mau melakukannya lagi.
Tetapi tak berselang lama, Ayah kembali berujar.
“Kamu hubungi dia coba, Kak. Rumahnya dekat sini, kan? Dia pasti mau nungguin kamu, sini Ayah pinjam HP kamu, biar Ayah telepon.”
Aku kaget. Tidak percaya bahwa Ayah barusan menyuruh orang yang ku coba hindari, yang tidak ingin aku temui  —  yang aku yakin tidak ingin bertemu denganku juga  —  untuk menemaniku. Tanpa sadar, aku mengatakan padanya dengan nada cukup tinggi bahwa aku bisa sendiri, tidak perlu sampai memanggilnya kemari. Tidak perlu.
Tetapi, aku lupa bahwa Ayahku adalah aku. Dia adalah aku dalam sosok paling keras kepala. Namun, kali ini aku kalah. Aku juga tidak mau berdebat lama dengannya. Ayah sama saja denganku. Kami sama-sama keras kepala. Akhirnya, kali ini aku menurunkan egoku karena aku tak mau ia menanyakan banyak hal tentangku dan dia. Aku sedang tidak ingin membicarakan apapun hari ini, apalagi tentang dia.
Lima belas menit setelah panggilan diakhiri, dia datang. Aku menahan napasku ketika aku mencium aroma tubuhnya, aku hafal dengan bau parfumnya yang tidak terlalu menusuk tapi selalu berhasil menenangkanku. Iya, kehadirannya selalu berhasil menenangkanku. Tetapi kali ini tidak. Justru karena kehadirannya, aku kembali merasakan sesak itu kembali, aku merasakan perasaan tak nyaman  —  sakit  —  itu kembali. Nyeri. Pusing. Mual. Gemetar.
Dia mengenakan kaos hitam dengan setelan celana training abu-abu. Rambutnya disisir rapi, meskipun terlihat sedikit acak-acakan. Barangkali, dia buru-buru kemari setelah menerima panggilan dari Ayah.
Setelah bersalaman dengan Ayah, mereka basa-basi sejenak. Aku hanya menanggapi basa-basi mereka seadanya. Kepalaku masih pusing dan mendadak telapak tanganku kembali dipenuhi keringat dingin. Aku tidak berani menatapnya, aku ingin memastikan kemarin adalah yang terakhir kali. Tetapi rasanya, aku tidak tahan, aku tidak bisa diam saja. Karena dia tahu kalau aku diam, itu tandanya aku sedang tidak baik-baik saja, dan aku tidak mau dia tahu kalau aku sedang tidak baik-baik saja.
Aku mau terlihat baik-baik saja di depannya. Dia tidak boleh tahu kalau aku sedang hancur di dalam sana, dia tidak boleh tahu kalau detak jantungku sedang berdetak kencang seperti terhantam gempa, dia tidak boleh tahu kalau pikiranku sedang kacau dan diriku sepenuhnya berantakan, dan hatiku sedang patah.
Walaupun, aku ragu kalau dia tidak tahu. Dia  —  yang kadang aku panggil, si Cenayang  —  terkadang mengetahui aku lebih dari aku mengetahui diriku sendiri.
Aku memberanikan diri, mencoba berbicara dengannya dengan membuka obrolan, tetapi yang keluar dari mulutku justru hanya kalimat, “Mau main batu, kertas, gunting?”
Dia mengalihkan atensinya dari handphone untuk melihatku, menatapku sekilas, kemudian mengangguk. Ah, aku benci sekali melihatnya menatapku. Namun, nyatanya aku lebih benci ketika aku harus menawarkannya bermain permainan konyol itu.
Anehnya, kami tetap bermain seperti biasa. Suasana canggung mengerubungi kami, tetapi selama bermain ia terlihat biasa saja. Aku juga biasa saja. Ini memang kami  —  aneh, kaku, dan tidak asik. Namun anehnya, meskipun suasana yang seperti ini, kami berdua masih bisa tertawa.
“Lo kalah.”
“Gue emang sengaja kalah.”
Aku tersenyum remeh mendengar ucapannya barusan. Dia benar. Sejak dulu, aku memang tidak akan pernah menang darinya. Sejak awal, aku tahu bahwa aku telah kalah. Aku telah tertinggal jauh di belakang. Aku tidak akan pernah menang melawan siapapun. Aku kembali teringat ucapannya beberapa bulan lalu, ketika aku mengatakan bahwa aku telah kalah dan dia menjawab perkataanku bahwa dia tidak butuh aku menang dari siapapun. Karena aku tahu bahwa dia tahu, sejak awal, sejak dulu, jauh sebelum aku memulai kisah ini, aku telah kalah. Aku selalu kalah telak.
Tiba-tiba dia tertawa, tawanya membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya sekilas. Dia kembali fokus menatap layar handphone-nya. Aku kembali fokus menatap ke depan.
“Lo beneran berangkat, ya.”
Kali ini, dia yang membuka suara.
“Iya. Ngomong-ngomong, masih lama nunggu gue. 2 jam lagi, lo kalau ngantuk, pulang aja. Gue bisa disini sendiri.”
Ia tertawa kecil. “Enggak. Gue disini.”
“Nanti lo dicariin nyokap bokap lo.”
“Enggak.”
“Pulang aja kenapa, sih.”
“Bokap lo udah nitipin lo di gue. Nggak apa. Cuma 2 jam ini.”
Setelahnya hening kembali. Aku kembali memasang earphoneku. Memutar lagu rock dengan volume tinggi agar aku dapat memekakkan telingaku, karena rasanya keheningan ini jauh lebih menyakitkan. Meskipun pada kenyataannya, kami memang selalu diselimuti keheningan. Pikiranku mengawang jauh, kepalaku kembali berisik, diselimuti banyak pertanyaan tanpa jawaban. Bagaimana Ayah bisa sepercaya itu pada dia? Ayah adalah orang paling selektif yang pernah aku kenal, dia tidak gampang mempercayai orang, kadang kala sikap skeptisnya itu membuatku muak. Meskipun aku sadar bahwa aku juga seperti itu, selektif dan skeptis. Tetapi, lagi, bagaimana bisa dia menjadi laki-laki pertama yang dekat dengan Ayah hanya dalam 3 kali pertemuan tanpa pembicaraan panjang?
Namun, yang membuat pikiranku semakin berisik adalah pertanyaan tentang bagaimana bisa dia hadir di sampingku saat ini? Bagaimana bisa dia mau menemuiku lagi? Dan mengapa harus dia yang hadir ketika aku tahu bahwa dia adalah salah satu alasanku ingin pergi dari Kota Kecil ini?
Tak lama, pikiran berisik itu membawaku pada satu ingatan. Aku teringat bahwa aku barus menyampaikan pesan terakhirku lewat sebuah lagu untuknya. Sejujurnya, aku tidak suka terlalu melankolis begini. Aku tidak suka hal yang menye-menye begini. Tetapi aku kembali teringat pesan Ibu,
“Kamu nggak akan pernah tahu kapan kamu akan kehilangan seseorang. Kalau ada yang mau kamu katakan, ya bilang. Sampaikan apa yang ada di hati kamu, sebelum terlambat dan menyesal. Kalaupun kamu kehilangan seseorang itu setelah kamu mengatakan apa yang ada di hati kamu, ya nggak masalah, Kak. Kehilangan itu biasanya jadi pertanda bagus juga, kok.”
Jadi, karena aku tidak mau menyesali apapun lagi, aku harus mengatakannya.
“Sini, deh.” Aku menyenggol tangannya, sedikit kaku.
Dia melirikku sekilas, menaikkan satu alisnya. Tetap bergeming.
“Sini, deketan.” Aku mempertegas nada bicaraku, memastikan dia menangkap maksudku.
Dia menggeser tubuhnya ke kanan, mendekatiku. Melihatnya sudah berada dalam jangkauanku, aku segera memasangkan satu earphone di telinga kanannya. Aku memutar satu lagu disana. Karena aku tidak ingin siapapun tahu apa lagu yang ku putar — karena itu pesan rahasia — jadi aku tidak akan menyebutkannya disini. Lagu itu tidak terlalu spesial untukku, dia juga sepertinya tidak menyukai lagunya, hanya saja, aku ingin dia tahu bahwa lewat lagu itu, aku ingin menyampaikan apa yang selama ini ingin aku sampaikan namun tidak bisa. Karena aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat.
Setelah mendengarkan lagu itu. Tanpa sadar waktu telah menunjukkan pukul 23:00. Check-in tiket sudah dibuka. Aku buru-buru mencabut earphoneku dari telinganya, tanpa berkata apa-apa lagi. Aku bahkan tidak menatapnya lagi. Aku segera mengambil barang-barangku dan masuk menuju ruangan tunggu yang ada di dalam sebelum keberangkatanku.
“Udah semua, kan? Nggak ada yang ketinggalan?”
Pertanyaannya hanya kubalas dengan anggukan, kemudian bergegas pergi. Tidak memandangnya sama sekali.
“Hati-hati.”
Setelah aku selesai check-in tiket, rupanya dia tidak langsung pulang. Dia masih disana. Memandangku sekilas beberapa kali. Kemudian, aku justru menyesali mengapa aku bisa se-melankolis tadi. Perkara satu earphone berdua itu tidak pernah aku rencanakan, aku hanya, entah, barangkali aku terbawa suasana. 10 menit sebelum keberangkatan, dia pulang. Sedangkan aku, sekuat tenaga menahan agar airmataku tidak jatuh.
Hari ini, pertama kali aku berpergian sendirian sekian ratus meter jaraknya dari rumah. Hari ini, pertama kalinya aku mengatakan kepada diriku sendiri bahwa aku tidak ingin tinggal di Kota Kecil ini lagi.
30 Agustus 2021, di ujung Kota Metropolitan.
Sejak umurku menginjak 17 tahun, aku tidak terlalu menyukai perayaan. Apapun bentuk perayaannya. Perayaan ulang tahun, perayaan kelulusan, perayaan kemenangan, perayaan kekalahan, perayaan kematian, apapun itu. Tetapi, aku selalu melakukannya beberapa kali. Benar bahwa barangkali perayaan itu mengandung makna, mengandung sesuatu yang berharga, tetapi bagiku, semua perayaan itu tidak lebih dari mengulang kenangan atau hanya sekadar menciptakan kenangan baru. Dan terkadang, kenangan itu menyakitkan, tetapi menyakitkan lagi karena kenangan itu abadi.
Namun, malam ini, aku justru merayakan perayaan satu tahun sejak aku pergi meninggalkan Kota Kecil itu.
Aku memutar satu lagu yang sama seperti yang aku dengar satu tahun lalu, di malam penghujung bulan Agustus.
Ah, it’s been a year now, think I’ve figured out how
How to think about you without it rippin’ my heart out
And I know, you know, we know, you weren’t down forever and it’s fine
I know, you know, we know, we weren’t meant for each other and it’s fine
But if the world was ending, you’d come over, right?
Aku baru menyadari bahwa lagu yang aku putar satu tahun lalu itu sangat relevan dengan keadaanku sekarang. Ironis. Aku tahu dia tidak akan datang kali ini, dia tidak akan menemaniku seperti yang dia lakukan tahun lalu. Aku menghembus nafasku yang perlahan terasa berat. Netraku kosong memandangi jalanan yang ramai, duduk dari atas bangunan lantai 10. Merayakan perpisahanku dengannya dan dengan Kota Kecil itu, bersama angin yang dengan kejam menerpa tubuhku, membuat rambutku kusut dibuatnya, dan bersama earphone putih lusuh yang sebelah sisi kirinya kini sudah tidak berfungsi lagi.
Tepat satu tahun lalu, aku memutuskan untuk pergi dari Kota Kecil itu.
Tepat satu tahun lalu, aku memutuskan untuk kabur, melarikan diri.
Tepat satu tahun lalu, aku merasakan patah hati, sepatah-patahnya.
Tepat satu tahun lalu, aku secara tidak langsung meresmikan perpisahan antara aku dan dia.
Tepat satu tahun lalu, aku dan dia menjadi jauh.
Sekarang sudah satu tahun berlalu, tetapi setiap kepingan kenangan dan rasa yang sebenarnya tidak ingin aku kubur dalam-dalam itu, masih kuat menempel seperti rangkaian tato di dalam hati dan pikiranku. Aku dipaksa harus merelakan, dipaksa harus berhenti, dipaksa harus menerima. Sampai akhirnya aku sadar bahwa paksaan itu kini bukan lagi sebuah paksaan. Karena, sekarang, setelah setahun lamanya, aku sudah berdamai. Kisahku dan dia sudah berakhir. Meskipun terkadang aku bertanya pada diriku sendiri, bagaimana caranya mengakhiri sebuah kisah yang tidak ada akhirnya?
Karena aku tahu, aku dengan dia tidak pernah menyelesaikan apapun.
Aku dan dia tidak pernah benar-benar selesai.
Dan malam ini, aku merayakan empat tahun kisahku dan dia yang tidak pernah selesai.
Penulis: Adiesty Anjali
Editor : Fitha Dwi Kartikayuni
TAG: #cerpen #karya-sastra #seni #