» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Atas Nama Siregar
17 Maret 2021 | Sastra & Seni | Dibaca 1233 kali
Atas Nama Siregar: ilustrasi: Foto: Uyun Lissa
Cinta ini tak sengaja datang, tumbuh, dan tersemai di dua hati. Apakah kita harus memilih tunduk di depan norma maha benar yang sesungguhnya tak mutlak dan membuat kita tampak selalu salah? ‘Siregar’ yang melekat pada masing-masing nama kita, tak akan sanggup ikut campur. Kita masih bisa memperjuangkannya, Manor!

retorika.id-Kudorong pintu masuk yang kanan kirinya bertuliskan 'Toba Tosca cafe'. Sapaan ramah pun terdengar dari mulut barista yang tengah memberi layanan pada salah seorang pelanggan di depan bartendernya.

Horas¹! Selamat datang di Toba Tosca.” Suaranya berat, nyaman, dan terasa pas di telinga. Kubalas dengan senyum kecil sembari perlahan melangkahkan kaki mendekati meja bartender tempat barista itu meracik kopi. Kopi yang jenis-jenisnya terpampang estetik di papan kayu yang tergantung apik tepat diatas meja bartender menyapa netraku. 

Sekilas, kulihat ada espresso, americano, long black twistle, frappe espresso, serta turkish coffeePilihanku jatuh pada original americano

Aku beralih dari sana untuk memilih tempat duduk yang paling nyaman. Kupilih kursi yang terletak di samping jendela agar bisa melihat jelas matahari yang kilaunya meredup perlahan, kembali ke peraduannya. 

Gorden putih tipis terbang gemulai akibat angin kota yang tak sungkan menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka lebar. Tampak horison sepanjang Jalan Pulau Pinang, pusat Kota Medan berpadu dengan manusia-manusia yang menutup tiga perempat wajahnya menggunakan masker, tak terkecuali aku kini. 

Pusat Kota Medan di tengah pandemi yang tetap menggeliat dengan segenap kepentingannya. Kota Medan yang multietnik.

Pandangan mataku jatuh pada anak perempuan sekitar 8 tahun merengek sembari meronta di seberang jalan. Dengan tangan mungilnya, ia memberontak dan menarik-narik rok yang dikenakan ibunya. Pemandangan yang cukup untuk membuat simpul sarafku menarik bibir dan akhirnya tersungging tipis, disambut pula oleh saraf otak yang menyeret kenangan pada masa kecilku yang tak lebih baik dari itu.

Pandanganku kembali tertuju pada interior kafe Toba Tosca. Muda mudi sekitar Kota Medan akrab memanggilnya dengan kafe Totos.  Kutebarkan pandanganku di sekitar ruang kafe. Kutemui empat sampai lima orang yang tengah menikmati kopi di sini. Cukup lengang!

Kafe dengan gaya retro minimalis ini hanya mampu menampung belasan pengunjung saja karena mematuhi protokol kesehatan. Nama 'Tosca' tak menjamin keseluruhan interior dinding berwarna hijau ataupun biru tosca, nyatanya kafe ini bernuansa cokelat nude, hijau tua, dan sedikit aksen merah saga di tiap garis dinding tengah. 

Ada gramophone antik, Ediphone 1937, di sudut dinding dekat barista meracik kopi yang akan dinyalakan setiap Sabtu malam Minggu, tepat


pukul 8 malam. Pemutaran hanya berdurasi 15 menit dengan alasan untuk tetap menjaga kualitas gramophone tua-tua keladi ini dari waktu yang terus melahap kegagahannya secara perlahan. 

Di samping gramophone, terdapat deretan beberapa radio antik, salah satunya radio Philips BX 416 A 91 era 1952. Sungguh menambah nilai retro dari kafe Totos yang membuatku tak pernah bosan menikmati suasana di sini. Terlebih lagi, sajian kopi yang dibuat dari jenis kopi Mandailing yang dipetik langsung dari Pegunungan Bukit Barisan, Sumatera Utara.

Kualihkan perhatian dengan membuka resleting tas untuk mengambil ponselku. Lima panggilan tak terjawab dan pesan masuk di whatsapp dengan nama kontak yang sama, Ben to my Soul. Kubuka pesan dan melihat spam chat masuk darinya.

Kamu di mana? pliss jawab teleponku, Manor!

Rasa-rasanya, aku tak bernafsu untuk membalas pesan-pesan itu karena membuat pikiran yang tengah kacau kini bertambah kacau. Mengingat kejadian sebelum membawa diriku pada kafe Totos ini, tepat 20 menit yang lalu.

Apa ini balasanmu setelah semua apa yang kami lakukan untukmu, Manor? Mengangkatmu ke tempat yang lebih manusiawi dari sekadar hidup di samping tong sampah saat usiamu 8 tahun? Apakah nama 'Siregar'  yang kini tengah melekat disamping namamu,‘Manoring’ tidak cukup? Keluarga Siregar menanggung malu atas dosa yang kamu perbuat. Cukup sudah!

Kering sudah air mata yang telah kuhabiskan di tengah-tengah perjalanan menuju kafe dengan skuter butut hadiah undian dies natalis Fakultas Seni Rupa di Solo, tempatku menimba ilmu kini, setahun yang lalu sebelum sistem daring diselenggarakan. Kini, yang tersisa hanya perih menyayat di hati. Kacau. 

Meskipun kalian tak sedarah, tetap saja tak pantas kalian memiliki perasaan gila macam itu. Pergilah, Manor!  Maafkan. Kali ini tidak, jangan anggap kami sebagai among² dan Inongmu³ lagi, kami melepasmu. Bento, kembali masuk ke kamarmu!

Sesak menyergap dada, semburat pilu tanpa ampun merasuki serat-serat simpul saraf otak.

“Halo Ito⁴, americano sesuai pesanan sudah siap!” Barista itu membuyarkan lamunanku. Telah siap secangkir americano asli Mandailing dengan aroma harum yang tak pernah berdusta. 

“Terima kasih, lae⁵!” ucapku. Ia berlalu melanjutkan kembali tugasnya.

Kuseruput kopi tipis-tipis, perlahan dan pasti menikmati cita rasanya. Aroma floral dan aftertaste yang seimbang melumaskan lidah dengan teksturnya yang cenderung kental. Tidak muluk-muluk, semoga segelas kopi ini bisa menjadi dopping yang legal untukku kini. 

Sekilas, aku menangkap rupa barista itu yang menyingkap maskernya dan menebar senyum pada salah seorang rekan barista di sampingnya. Tampak gingsul gigi taringnya menyembul keluar. Manis. Namun, tak lebih manis dari gingsul yang dimiliki seorang Bento Gusti Siregar, laki-laki setelah among yang bersemayam di hatiku. Sejak lama.  

Ben, sapaan akrabnya. Ia berkulit sawo matang, bola mata hitam sempurna, kumis halus di atas bibirnya yang tipis saat tersenyum. Terkadang, nafasnya bau rokok keretek yang ia sembunyikan rapat-rapat dari among dan inong. Aroma nafas yang kadangkala membuat terngiang-ngiang.

Ia tampak macho saat mengenakan jaket parasut semi-black hitam beserta kalung perak berbandul salib terjuntai di dada. Rambut ikal sedikit kecoklatan yang lebat di bagian depan, ia biarkan tumbuh bebas selama sekolah daring. 

Ya, dia dua tahun lebih muda dariku dan kini tengah mempersiapkan studi akhirnya di kelas 3 SMA. Terkadang, aku malu dengan dirinya yang memiliki pemikiran jauh lebih kritis dan matang daripada diriku.

Ponselku berdering, lagi-lagi dari Ben to my Soul. Aku acuh, tapi tidak pada pesan whatsapp darinya yang datang kemudian.

Kamu berada di Totos? 

Aku akan kesana, tunggulah.

Aku ragu. Apakah aku harus segera beranjak pergi? Sementara dari lubuk terdalam, aku sungguh menginginkan kehadirannya. Sial. 

Dan aku memilih untuk menunggunya. Melihatnya terakhir kali sebelum memutuskan untuk meninggalkan Medan.

***

“Manor!” Suara yang berat dan tenang menyapa, membuyarkan lamunan. 

Tampak sosok yang benar-benar ingin kutemui berdiri persis di depanku. Wajahnya dingin sedikit sembab.

“Ben! Kau benar-benar ada disini sekarang?” Air mata yang mengambang kini jatuh di kedipan berikutnya. Aku berkaca-kaca. Meyakinkan diri.

“Apa kau benar-benar akan pergi meninggalkanku?” ucapnya yang tak kalah berkaca-kaca. Menggeser kursi dan duduk di depanku.

“Tentu saja, kau dengar sendiri kan perkataan among dan in… maksudku, orang tuamu tadi, apa kau pura-pura tuli? Aku melakukan kesalahan besar dengan memiliki perasaan ini padamu!” nafasku mengombak.

“Cinta ini tak sengaja datang, tumbuh, tersemai di dua hati. Apakah kita harus memilih tunduk di depan norma maha benar yang sesungguhnya tak mutlak dan membuat kita tampak selalu salah? Nama ‘Siregar’ yang melekat pada masing-masing nama kita, tak akan sanggup ikut campur, kita masih bisa memperjuangkannya, Manor!” pekiknya.

“Orang tuamu berharap besar padamu. Cukup aku saja yang menanggung semua ini. Bukankah kau harus fokus pada belajarmu untuk melanjutkan studi hukum di Jakarta?”

“Masa bodoh dengan semua itu!” 

“Kau harus tetap bisa berpikir kritis, Ben! Aku akan pergi ke Solo besok.” Kutarik napas dalam-dalam. 

“Bukankah aku masih memiliki kos dengan barang-barang yang belum aku urus di sana? Aku bisa hidup mandiri. Ingat, aku masih memiliki beasiswa penuh hingga kelulusanku nanti, dan mulai sekarang kita tak perlu lagi bersusah payah merahasiakan hubungan ini di depan orang tuamu.” Aku menatap matanya larut dan dalam, menyapu setiap lekuk wajahnya. Mencoba tersenyum. Getir.

“Dan kau dengan mudah melupakanku? Tidak, aku tidak bisa jika harapanmu seperti itu. Sesungguhnya, kita tak semarga apalagi sedarah." Suaranya parau. Matanya memerah, mencoba menahan air mata.

“Ya, hanya itu yang harus kita lakukan. Ben, aku juga sayang pada orang tuamu yang telah memberikan kehidupan kedua untukku selama ini. Atas nama Siregar yang diberikannya padaku, perbuatan kita salah. Kita tak bisa mengelak!”

Pandanganku semakin larut, begitu juga dengan Ben. Tak mengucapkan sepatah kata lagi. Kedua pasang mata yang kini sedang beradu tatap, menggantikan kedua mulut yang seolah bercakap-cakap, hanya bisa dimengerti oleh hati masing-masing. Pasrah akan rumitnya hubungan ini.

Aku mencintaimu Ben, kau segalanya dan selalu begitu, ucapku dalam hati.

Tangannya meraih pipiku, mengelus lembut. Berlanjut merapikan rambutku, menyelipkannya ke belakang telinga. 

Als de orchideen bloeien,

Kom dan toch terug bij mij,

Nogmaals wil ik met je wezen,

Zoveel leed is dan voorbij.

...

Senandung lawas Als de Orchideen Bloeien yang dinyanyikan Anneke Gronloh, mengiring lirih melalui Edhiphone buatan 1937. Sabtu malam Minggu, pukul 8 malam di Toba Tosca.

 

Penulis:Uyun Lissa

Editor: Dien Mutia Nurul Fata

 

¹ Ucapan salam khas Batak yang juga untuk mengekspresikan kesehatan yang baik atau ucapan selamat tinggal

² Sapaan untuk Ayah dalam keluarga Batak Toba

³ Sapaan untuk Ibu dalam keuarga Batak Toba

⁴ Sapaan untuk perempuan

⁵ Sapaan untuk laki-laki


TAG#cerpen  #karya-sastra  #romansa  #