» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Matahari-Matahari
09 November 2018 | Sastra & Seni | Dibaca 2015 kali
Matahari-Matahari: - Foto: Licensing Pixels.com
Matahari, kucoba memahami arti kehadiranmu walau tiada yang peduli. Di sini kucoba mewakilimu menerangkan perasaanmu pada makhluk bumi yang tak tahu berterimakasih.

Di sini aku ingin mewakili matahari yang sebenarnya telah lama menyampaikan isi hatinya, namun tiada jua yang peduli. Sepatah dua patah kata yang ia sampaikan ke telingaku jauh sebelum aku dapat mampu merasakannya. Namun, kebodohan ini tetap tersimpan dan susah keluar. Untungnya aku pernah termenung diam dan tersengat oleh kata-kata matahari lewat sinarnya. Tidak seketika langsung menyadari apa maksudnya, namun aku tahu, matahari menyimpan rahasia besar, menurutku.

Semua orang tahu matahari, dari orang borjuis sombong yang suka korupsi hingga orang-orang suku Eskimo. Namun, siapa yang paling tahu matahari? Yang paling mengerti matahari? Pengamat kosmologi? Peneliti alam semesta? Bukan. Mereka tahu matahari dalam batasan angka, namun mereka bisa membuat jengkel matahari karena menjadikannya sebagai objek penelitian. Mengekang matahari dan membuat teori-teori darinya, padahal belum tentu matahari sependapat dengan peneliti itu.

Matahari adalah pusat tata surya di Galaksi Bima Sakti. Tidak ada orang yang menyangkal kalimat itu, kecuali secuil saja orang yang


masih terlalu mengagungkan bumi. Mendapat predikat pusat dari tata surya tentu menjadi prestasi yang membanggakan, tetapi nampaknya matahari kurang menikmati julukan tersebut.

Agaknya ia masih bermalas-malasan muncul di pagi hari, namun ia sangat membara di siang hari. Tak ada yang tahu apa maksudnya melakukan tindakan yang seperti itu, namun, katanya ia hanya ingin mengeluarkan kemampuan terbaiknya dalam menyalurkan energi yang ia miliki kepada setiap planet. Hal ini juga terkadang menjadi masalah baginya.

Ia tidak tahu mengapa orang-orang ketakutan terhadapnya, menutup diri terhadapnya. Ada orang-orang yang membangun penutup-penutup teras dan melapisi diri dengan kain-kain tebal ketika mereka keluar dari rumah mereka. Matahari tidak pernah melakukan tindakan yang mengerikan sehingga ia tidak perlu ditakuti seperti itu. Ia suka menyapa setiap orang dengan sinarnya yang hangat. Namun, mungkin karena begitu semangatnya ia menyinari dunia, ia menjadi terlalu panas. Aku pernah mengatakan hal ini kepadanya, namun ia bergeming.

Masalah lain yang juga sedikit menyakiti hatinya adalah ketika di siang hari ia melakukan tugasnya dengan baik, namun ada awan hitam yang menghalanginya, sehingga matahari pun dicari-cari penduduk bumi. Ia sebenarnya juga merindukan kita. Ia senang ketika dirindukan seperti itu, namun, ketika ia datang dan memberikan sinar terbaiknya ia justru dicaci dan mendapatkan umpatan dari sana sini, seolah apa yang ia lakukan selalu salah.

“Matahari hari ini terlalu panas, oh Tuhan, apa salahku sehingga matahari ini begitu menyengat. Aku tidak bisa begerak bebas karena matahari ada di mana-mana dan pasti akan membakar kulit dan tenggorokanku. Es adalah yang terbaik,” kata manusia terhadap matahari. Mungkin, ketika matahari ingin berkomunikasi dengan kita, dia akan menyengat kita terlebih dahulu seperti halnya ketika ia menyengatku dulu.

“Oh matahari, di mana lagi kau bersembunyi? Aku membutuhkanmu untuk mengeringkan pakaian dan ikan-ikan asinku”, kata seorang yang merindukan matahari, namun terhalang oleh awan.

Satu lagi hal yang matahari sesalkan adalah bahwa ia cemburu dengan makhluk semesta yang lain, bulan dan bintang. Ketika ia lelah karena umpatan orang-orang ia membenamkan diri dan digantikan oleh bulan dan bintang. Namun tampaknya orang-orang lebih menyukai bulan dan bintang –sang penerang pengganti, bahkan hingga menamakan anak-anak mereka bulan dan bintang. Padahal bulan mendapatkan sinarnya dari matahari. Tidak ada orang yang menamai anak mereka dengan nama matahari. Bukan dengan bahasa indah lainnya, tapi matahari, sejelas bulan dan bintang yang sama-sama menggunakan bahasa Indonesia yang diucapkan setiap hari. Mereka menggunakan kata yang lebih indah seperti mentari atau surya.

Seperti apapun yang terjadi matahari tidak akan pernah berhenti berpijar. Bisiknya padaku terakhir kali, ia tidak lagi memikirkan hal remeh temeh seperti di atas. Ia memaafkan semua orang yang berprasangka buruk kepadanya dan menyayangi orang yang berprasangka baik kepadanya. Ia mengerti Tuhan memberinya tugas untuk bersinar, maka ia akan terus bersinar hingga sinarnya padam tidak dapat lagi dirasakan di mana-mana.

 

Penulis : Shania Amalia


TAG#karya-sastra  #puisi  #  #