A Silent Voice merupakan film yang sukses menyampaikan pesannya yang begitu mendalam tentang pertemanan dan penebusan dosa yang disampaikan secara ringan dan dengan unsur khas anime. Kisahnya yang masih relevan dengan konteks "kekinian" membuat film ini menjadi layak untuk ditonton.
retorika.id - “... And don't try to dig what we all s-s-say
I'm not trying to cause a big s-s-sensation..”
Sesuai dengan makna lirik lagu pembukanya yang dinyanyikan oleh band asal Inggris, The Who, yang berjudul My Generation. A Silent Voice menjadi satu dari sekian film yang sukses menyampaikan pentingnya makna saling memahami.
Judul Film : A Silent Voice / / æ˜ ç”»è²ã®å½¢ (Koe no Katachi)
Genre : Drama
Sutradara : Naoko Yamada
Produksi : Kyoto Animation
Tayang Perdana : 17 September 2016 (Jepang), Februari - Mei 2017 (Seluruh
dunia)
Durasi : 129 menit
Film dengan judul asli Koe no Katachi / æ˜ ç”» è²ã®å½¢ ini mengisahkan tentang Shoya Ishida, murid SD yang menjahili Shoko Nishimiya –murid yang baru pindah ke sekolahnya dan tuna rungu. Karena keterbatasan Nishimiya dalam berbicara dan mendengar, membuatnya harus melakukan percakapan dengan teman sekelasnya melalui tulisan yang ditulis di buku catatan miliknya.
Merasa Nishimiya aneh dan berbeda, Ishida menjadi merasa terganggu dengan kehadiran Nishimiya dan mulai menjahilinya. Berawal dari mencoret-coret buku catatan milik Nishimiya, berteriak langsung di sebelah telinganya, hingga mencabut paksa alat bantu pendengaran dari telinga Nishimiya yang mengakibatkan telinganya berdarah. Karena kejadian ini, Nishimiya kemudian pindah sekolah lagi. Ishida pun yang awalnya ditertawakan teman-temannya akibat kejahilannya malah menjadi korban bullying di sekolah—menggantikan posisi Nishimiya.
Karya besutan Naoko Yamada ini memang jauh berbeda dengan Kimi no Na Wa, film arahan Makoto Shinkai yang rilis beberapa waktu lalu yang mengisahkan tentang pertemuan dua orang karena pertukaran jiwa lewat alam mimpi. Perbedaannya terletak pada alur cerita Kimi no Na Wa yang lompat-lompat dan imajinatif, ciri khas dari karya Shinkai. Sedangkan permasalahan dalam A Silent Voice bisa dikaitkan langsung dengan permasalahan sehari-hari kaum milenial dan disajikan dengan alur maju dengan sedikit flashback para tokohnya saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Karenanya, menurut penulis, film ini cocok bagi penonton untuk usia 13 tahun ke atas, mengingat banyak permasalahan yang cukup sensitif yang disebutkan seperti percobaan bunuh diri dan depresi akibat bullying.
Penggambaran karakter tiap tokoh dalam film yang diangkat dari manga karya Yoshitoki ÅŒima ini juga sangat kompleks. Seperti depresi yang dialami Ishida di masa SMA akibat menjadi korban bullying, ditambah lagi dengan perasaan bersalah akan tindakannya terhadap Nishimiya yang membuatnya berniat untuk mengakhiri hidupnya. Namun hal itu ia urungkan setelah bertemu kembali dengan Nishimiya yang kemudian memaafkannya dan sepakat untuk menjalin hubungan pertemanan dari awal lagi.
Pengembangan karakter pendukung lainnya pun tidak kalah bagus. Kombinasi dari pendalaman karakter tokoh, membuat masalah dalam film ini menjadi kian kompleks. Namun kerumitan permasalahan yang disuguhkan film ini tidak serta merta membuat film ini menjadi problematis. Justru karena film ini merupakan besutan Yamada maka film ini seakan menggambarkan bahwa gemelut emosi dan konflik yang terjadi adalah perjuangan yang dialami setiap orang dalam menjadi dewasa.
Banyak orang bisa bercermin lewat film ini, entah perihal perilakunya yang buruk terhadap orang lain yang dilakukan secara tidak sadar, atau mungkin memposisikan dirinya langsung sebagai Nishimiya.
Bagaimanapun cara penonton memaknainya, tetapi satu hal yang jelas bahwa A Silent Voice ingin menunjukkan bahwa permasalahan yang terdapat dalam film ini adalah hal yang sedang terjadi kini. Banyak orang tidak peka dengan sekitarnya dan secara tidak sadar menyakiti hati orang lain, dan kemudian ini membentuk mindset yang buruk. Padahal tidak seharusnya pola pikir itu terbentuk. Kita harus mempertimbangkan sifat dan latar belakang setiap orang yang pasti berbeda, oleh karenanya hindari perilaku menyamaratakan perlakuan kita kepada semua orang, karena bisa saja ada orang yang tersinggung dengan apa yang kita anggap lucu.
Penulis : Pulina Nityakanti Pramesi
TAG: #film #humaniora #review #seni