» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Deepfake, Kreatif atau Manipulatif?
03 Februari 2024 | Opini | Dibaca 295 kali
Deepfake, Kreatif atau Manipulatif?: - Foto: Youtube @Erwin Aksa
Publik dikagetkan dengan kemunculan deepfake yang melibatkan berbagai tokoh masyarakat, seperti Mantan Presiden Soeharto dan Najwa Shihab. Kemunculan tersebut secara realistis menyampaikan pesan yang sebenarnya tidak mereka sampaikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah deepfake merupakan hal kreatif atau sekedar manipulasi? Kenyataannya, deepfake sendiri mempunyai berbagai problematika yang seringkali tak dihiraukan.

Retorika.id- Publik saat ini disodorkan dengan berbagai macam konten, baik untuk hiburan, informasi, maupun kampanye. Salah satu jenis kontennya adalah deepfake, yang belakangan ini muncul dengan menampilkan beberapa tokoh masyarakat. Tampilannya dalam bentuk video bersuara menyerupai tokoh yang dijadikan acuan. Sebenarnya, apa itu deepfake dan bagaimana potensi dampak ditimbulkan?

Deepfake adalah produk dari kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang menggabungkan, mengganti, serta menumpangkan gambar dan video untuk menciptakan produk rekayasa sehingga terlihat asli atau autentik. Meskipun deepfake belakangan ini menggunakan tokoh masyarakat sebagai acuannya, tidak dimungkiri bahwa deepfake juga dapat menggunakan elemen-elemen masyarakat lainnya. Penggunaan deepfake masih menjadi perdebatan etis, apakah layak atau tidak untuk digunakan. Terdapat dua contoh nyata penggunaan deepfake, yaitu


deepfake Mantan Presiden Soeharto dan Najwa Shihab, ada perbedaan intensi dalam penggunaannya. Deepfake Mantan Presiden Soeharto lebih merujuk pada kampanye, sedangkan deepfake  Najwa Shihab seperti yang diulas oleh Turnbackhoax.id berupa produk rekayasa yang digunakan untuk kepentingan pribadi dalam mempromosikan layanan judi online

Berdasarkan dua contoh tersebut, deepfake berpotensi memberikan dampak yang positif dan negatif. Dampak positifnya bahwa deepfake merupakan bentuk perkembangan teknologi yang dapat digunakan sebagai bentuk kreatifitas seseorang dalam menyampaikan pesan. Tetapi, dampak negatifnya pada produk manipulasi yang berpotensi menimbulkan hoaks atau fitnah dan melanggar hak serta kebebasan seseorang yang dijadikan acuan. Namun, deepfake sendiri bertujuan untuk menciptakan produk se-autentik mungkin bagi audiensnya, tidak jarang mereka menganggap mentah produk deepfake sebagai hal yang asli. Hal tersebut merupakan ancaman besar bagi publik dan belum ada kontrol tersendiri untuk menangani permasalahan itu.

Penggunaan seseorang sebagai bahan acuan konten manipulasi tentunya memerlukan izin ke orang yang bersangkutan. Tapi nyatanya, deepfake merupakan salah satu bentuk “inovasi” dalam memanfaatkan apa yang dimiliki tokoh terkenal untuk kepentingan pribadi, tanpa harus mengeluarkan pengorbanan atau izin. Bahkan, deepfake dapat menjadi senjata yang digunakan untuk mengancam atau membahayakan seseorang, seperti dalam kasus revenge porn, meskipun korban tidak melakukan tindakan yang digambarkan, dapat menjadi terancam akibat adanya deepfake yang menampilkan isi konten dimanipulasi sedemikian rupa.

Consent atau izin merupakan hal penting yang seringkali dilupakan sebagai bentuk etika. Tanpa izin bagi pihak yang bersangkutan, meskipun isi dari konten seperti apa adanya, baik ataupun buruk, tetaplah bukan hal yang etis. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap perihal izin bagi transaksi elektronik menjadi hal yang mengkhawatirkan. Meskipun hukum telah mengatur transaksi elektronik melalui UU ITE, tetapi munculnya produk-produk transaksi elektronik yang baru dapat membuat definisi operasionalnya menjadi rancu, khususnya yang berkaitan dengan perdebatan etika. 

Sudah selayaknya bahwa konten seperti deepfake dan hal serupa dikontrol oleh hukum dan disadari oleh publik. Alih-alih menjadi kreatif, tetapi malah melanggar masalah etika yang menyertainya serta berdampak pada penyebaran disinformasi yang dapat mengancam tokoh-tokoh atau masyarakat luas dalam deepfake. Sejatinya, semua orang mempunyai hak untuk menolak menjadi bahan publikasi sehingga consent menjadi hal yang penting untuk dimiliki pihak yang bersangkutan, khususnya dalam transaksi elektronik.



Penulis: Sakha Ruhan H

Editor: Marsanda Lintang




TAG#aspirasi  #humaniora  #inovasi  #media-sosial