» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Tantangan untuk Trayektori Demokrasi di Indonesia: Akankah Mengalami Degradasi?
26 April 2023 | Opini | Dibaca 710 kali
Tantangan untuk Trayektori Demokrasi di Indonesia: Akankah Mengalami Degradasi?: - Foto: Pinterest
Demokrasi yang diklaim sebagai sistem politik Indonesia tak luput dari berbagai kontradiksi. Meski dianggap sebagai sistem politik terbaik, bagaimana dengan implementasinya? Akankah demokrasi mengalami degradasi?

Retorika-id. Indonesia berdiri sebagai negara dengan klaim sistem politik demokrasi, sistem politik demokrasi sendiri berarti negara memelihara dengan baik keseimbangan konflik dan konsensus di mana demokasi memungkinkan perbedaan pendapat, persaingan maupun pertentangan (Surbakti, 2010). Demokrasi senantiasa mengalami perubahan dengan berbagai macam interpretasi, hingga dikatakan bahwa di abad 20, demokrasi tak hanya menyangkut aspek politik saja namun juga menyentuh bidang-bidang lain (Budiardjo, 2019). 

 

Selama 78 tahun berdiri, Indonesia mengalami dinamika dan sistem politik demokrasi yang dianut bukan pengecualian. Sayangnya, demokrasi di Indonesia terancam mengalami degradasi atau kemerosotan. Pada laporan Democracy Report tahun 2021 Indonesia menempati peringkat ke 73 dari 179 negara dalam aspek kebebasan demokrasi (V-Dem Institute, 2021). Skor Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) juga tercatat mengalami penurunan di salah satu indikator penilaiannya, yakni skor kebebasan berpendapat yang pada tahun 2018 tercatat 66,17, sementara di tahun 2019 menginjak angka 64,29. Degradasi demokrasi ini disebabkan oleh negara yang gagal menyediakan ruang bagi kebebasan berpendapat serta transparansi dalam ranah publik.

 

Demokrasi di Indonesia terancam mengalami kemunduran karena tak terpenuhinya aspek-aspek pokok dalam demokrasi. Muncul gagasan bahwa demokrasi yang saat ini berjalan di Indonesia tak lain hanya digaungkan oleh elite politik sebagai modal memenangkan simpati rakyat, tetapi di lapangan, regulasi publik yang diwujudkan mengandung nilai-nilai otoriter dan penyimpangan kekuasaan yang dilakukan oleh negara, dan pelanggaran terhadap hak-hak rakyat. Degradasi demokrasi menjadi momok bagi keberlangsungan kebebasan sipil di Indonesia. Padahal, Larry Diamond, Juan Linz, dan Martin Lipset menekankan pentingnya tiga hal yang menjadi esensi demokrasi: 1) Kompetisi yang berarti di antara individu dan kelompok terorganisasi untuk mendapatkan posisi efektif di pemerintahan; 2) Tingginya


inklusivitas dan level partisipasi dalam proses seleksi pemimpin politik dan pembuatan kebijakan publik sehingga tak boleh ada kelompok yang dieksklusi; dan 3) Tingginya tingkat kebebasan sipil dan politik, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk dan mengikuti organisasi, untuk memastikan adanya integritas dalam kompetisi politik dan partisipasi politik (Diamond et al., 1988).

 

Salah satu contohnya dapat kita lihat dalam RKUHP yang di dalamnya memuat pasal-pasal problematik dan bermasalah. Draft RKUHP Juli 2022 yang dipublikasikan masih memuat banyak pasal yang mengancam praktik demokrasi di Indonesia. Ranah kebebasan sipil terusik oleh adanya pasal yang berisi kriminalisasi terhadap orang-orang yang dianggap menghina lembaga negara (mengindikasikan adanya abuse of power dan sikap otoriter negara). Kemudian, ajaran atau ideologi komunisme juga masih dikriminalisasi dan dilarang, seakan meneruskan warisan orde baru yang secara membabi-buta mengantagoniskan anggota Partai Komunis dan melakukan pelanggaran HAM pada tahun 1965.  Ada pula ketentuan yang berimplikasi pada penyempitan ruang publik seperti demonstrasi yang bisa dijadikan delik pidana.

 

Indonesia masih mengalami hambatan dalam merangkul pluralitas, kebebasan sipil, dan transparansi fungsi pemerintah. Dalam aspek keberfungsian pemerintah, survei oleh Jati memperlihatkan bahwa favoritisme politik dan politik dinasti menjadi faktor yang menghambat demokrasi di Indonesia (Jati, 2021). Faktor ini turut memengaruhi trayektori keberlangsungan partai politik di Indonesia. Meski Indonesia menerapkan sistem multi-partai dengan jenis pluralisme moderat, sistem ini masih belum bisa mengakomodasi fungsi representasi rakyat yang mestinya diemban oleh partai politik karena nepotisme dan politik dinasti. 

 

Tantangan selanjutnya, yakni kelompok kepentingan dan partai yang hanya terlihat mencari suara untuk memenangkan elektabilitas, tetapi minim gerakan progresif dan kebijakan publik substansial, belum lagi money-politics yang membentengi treshold partai, membuatnya semakin sulit untuk kaum minoritas untuk mendapatkan posisi di kursi pemerintahan. RKUHP yang baru saja disahkan melarang penyebaran ideologi komunisme dan marxisme, rezim ini tak hanya mengalami kemerosotan demokrasi, bahkan terancam terjun dalam kegelapan otoritarianisme sebagaimana yang dialami Indonesia saat Orde Baru Silam.  Dominasi kelompok tertentu karena ketiadaan ruang yang leluasa bagi ideologi minoritas di Indonesia dapat merujuk pada tipisnya pluralitas dalam ekosistem politik Indonesia. Hal ini menipiskan harapan bagi Indonesia untuk bergerak ke arah yang lebih progresif. 

 

Kekuasaan oligarki yang memengaruhi pembuatan kebijakan publik di Indonesia juga menjadi tantangan yang patut diperhatikan. Kepentingan oligarki seringkali mengalami gesekan dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat. UU Cipta Kerja yang berlaku sejak 20 November 2020 silam dianggap hanya mementingkan kebutuhan investor tanpa mau melihat aspek kesejahteraan pekerja, hal ini bertentangan dengan aspirasi rakyat yang menolak disahkannya peraturan ini. 

 

Tantangan lain yang timbul dalam demokrasi di Indonesia adalah minimnya representasi dan menjelmanya politik identitas sebagai jalan pintas. Munculnya politik identitas  populisme kanan dapat juga terjadi karena dislokasi demokrasi representatif (Shofan, 2019).  Hal ini berimplikasi pada sedikitnya pilihan yang tersedia dalam mekanisme elektoral, bahkan bisa jadi tidak ada. Ideologi kiri mengalami depolitisasi karena kungkungan konservatif kanan dan moderat yang menduduki tempat strategis dalam pemerintahan. 

 

Terancamnya kebebasan pers dan jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi melalui otoritas RKUHP juga menjadi sandungan krusial. Di mana dalam Pasal 219 RKUHP mengancam pidana maksimal 4 tahun 6 bulan atau pidana denda bagi setiap orang yang menyiarkan tulisan atau gambar berisi penyerangan kehormatan presiden dan wakil presiden. Tersirat bahwa penguasa dan elite politik yang pada dasarnya menikmati sangat banyak privilese, masih pula menuntut indulgensi semacam ini. 

 

Demokrasi di Indonesia dapat jatuh pada jurang flawed democracy, di mana terdapat pemilu yang jurdil beserta dasar-dasar kebebasan sipil, tetapi demokrasi tak berjalan sempurna, ada budaya politik yang belum mapan, partisipasi politik rendah, dan tata kelola pemerintahan yang buruk. Demokrasi telah lama disepakati sebagai ideologi terbaik dalam negara, tetapi dalam praktiknya, masih banyak paradoks dan tantangan bagi demokrasi di Indonesia untuk berjalan secara substantif dan tak hanya menjadi tameng politik belaka.



Referensi

 

Budiardjo, Miriam. 2019. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. 

 

Diamond, L. J., Linz, J. J., & Lipset, S. M. (1988). Democracy in developing countries: Latin America

Jati, W. R. (2021). Fenomena Kemunduran Demokrasi Indonesia 2021. THC Insights, (27    ).

 

(N.d.). Reformasikuhp.Org. Retrieved April 26, 2023, from https://reformasikuhp.org/data/wp-content/uploads/2023/01/Salinan-UU-Nomor-1-Tahun-2023.pdf

 

V-Dem Institute. (2021). Autocratization Turns Viral: Democracy Report 2021. V-Dem Institute.

 

Shofan, M. (2019). Populisme Islam dan Tantangan Demokrasi Islam di Indonesia. MAARIF, 14(1), 3–8. https://doi.org/10.47651/mrf.v14i1.30 

 

Penulis: Jingga Ramadhintya

Editor: Marsanda Lintang


TAG#demokrasi  #pemerintahan  #pers-mahasiswa  #politik