
Sebagai salah satu negara agraria terbesar, Indonesia masih sering memiliki konflik agraria. Jawa Timur merupakan salah satu wilayah yang memiliki jumlah kasus terbanyak. Bahkan, warga yang memperjuangkan ruang hidupnya tak luput dari tindak kriminalisasi dan kekerasan oleh kepolisian.
retorika.id - Indonesia merupakan negara dengan basis pertanian terbesar di dunia, maka agraria menjadi salah satu hal yang tidak bisa lepas dari masyarakat Indonesia. Ada pepatah Jawa yang mengatakan “sadumuk bathuk dan sanyari bumi” yang menunjukkan bahwa “kehormatan” dan “tanah” adalah dua hal yang akan dibela mati-matian sampai titik darah penghabisan. Tanah tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Setiap makhluk hidup, khususnya manusia, memerlukan tanah tidak hanya pada masa hidupnya, tetapi saat meninggal pun masih tetap memiliki keterkaitan dengan tanah.
Namun, hingga kini, masih banyak konflik agraria yang terus terjadi di Indonesia. Konflik agraria sendiri merupakan perselisihan, pertentangan dan percekcokan yang menyangkut dua orang atau lebih (kelompok) akibat persoalan pertanahan baik berupa penguasaan, maupun kepemilikan tanah. Dari sekian banyaknya konflik agraria yang terjadi, Jawa Timur termasuk salah satu wilayah yang banyak terjadi kasus konflik agraria. Dikutip dari data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mencatat bahwa di Jawa Timur setidaknya terdapat 30 kejadian konflik agraria dengan luas lahan yang disengketakan mencapai 54.573 hektar.
Berdasarkan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2018, Jatim termasuk ke dalam salah satu provinsi dengan jumlah kasus agraria paling banyak kedua setelah Riau. "Sepanjang tahun, letusan konflik di provinsi paling timur Pulau Jawa ini tercatat sebanyak 30 kejadian dengan luas mencapai 54.573,986 hektar. Angka letusan tersebut naik 150 persen dari tahun sebelumnya, "hanya" 12 kasus," ujar Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Sartika, dalam acara peluncuran Catatan Tahunan KPA, Kamis (6/1) dilansir dari bongkah.id
Setidaknya, ada tiga konflik agraria yang terjadi di Jawa Timur yang dapat Tim Litbang kumpulkan informasinya. Pertama, konflik Waduk Sepat di Surabaya. Kedua, Konflik Pakel di Banyuwangi. Ketiga, konflik Tumpang Pitu di Banyuwangi.
Konflik Waduk Sepat Surabaya
Konflik waduk sepat Surabaya, yang berlokasi di Lakarsantri ini, dimulai sejak 30 Desember 2008, ketika walikota Surabaya menerbitkan Surat Keputusan Nomor 188.451.366/436.1.2/2008. SK tersebut mengenai keputusan pemindahtanganan aset singkatnya yakni Pemkot surabaya melakukan tukar menukar aset dengan PT Ciputra. Masyarakat baru menyadari bahwa proses tukar guling tetap dilaksanakan dan sudah selesai pada tahun 2010, ketika PT.Citra Land mulai melakukan penguasaan secara fisik dan melakukan pemagaran di area Waduk Sepat. Pada 14 April 2015, pihak Ciputra Surya, dibantu oleh pasukan Kepolisian, melakukan eksekusi atau pengosongan paksa lahan Waduk Sepat tersebut. Warga kemudian menolak keputusan ini dan mengajukan Berbagai upaya seperti melakukan gugatan Citizen Lawsuit. Namun, upaya tersebut masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Pada akhir 2021, Walhi Jatim, warga Sepat, dan Tim Kerja Advokasi untuk Kedaulatan Agraria (Tekad Garuda)
melayangkan gugatan kepada PT Ciputra Kirana Dewata Tbk dan PT Ciputra Development Tbk. Gugatan yang menggunakan mekanisme gugatan legal standing ini, tercatat dalam nomor register perkara nomor 1172/Pdt.G/LH/2021/PN.Sby di Pengadilan Negeri Surabaya. Konflik agraria waduk sepat ini merupakan konflik yang sampai sekarang belum menemukan titik temu.
Di sisi lain konflik ini masih diwarnai tindakan kriminalisasi kepada warga sepat. Dilansir dari Walhi Jatim, terdapat beberapa warga yang dilaporkan ke pihak berwajib atas tuduhan memasuki pekarangan orang lain tanpa ijin yang berhak dan melakukan perusakan barang milik orang lain secara bersama-sama. Pemanggilan beberapa warga ini merupakan salah satu bentuk tindakan kriminalisasi terhadap perjuangan warga Sepat yang menolak rencana perubahan Waduk Sepat menjadi perumahan oleh PT Ciputra Surya. Kenapa diduga adanya kriminalisasi warga? Hal ini dikarenakan terdapat kejanggalan. Seperti yang dilansir dari Walhi Jatim, warga diduga memasuki pekarangan orang lain tanpa izin. Kenyataannya, sesuai dengan pernyataan warga Sepat, pada saat itu warga masuk ke area waduk karena mendengar suara air deras menyerupai banjir yang pada saat itu kondisinya tidak sedang hujan. Maka, jika dilihat dari hal tersebut, tuduhan kejahatan atas warga berdasarkan pasal 167 KUHP dan 170 KUHP tidak terbukti. Akan tetapi, pada 7 November 2018, dua warga, yakni Dian Purnowo dan Darno, mengalami peningkatan status yang semula dari menjadi saksi menjadi tersangka dengan tuduhan perusakan properti waduk. Babak baru-pun dimulai, dua warga yang setia mempertahankan Waduk Sepat mulai mengalami kriminalisasi.
Konflik Pakel Banyuwangi
Dilansir dari Walhi, konflik Pakel Banyuwangi dimulai bahkan sejak era sebelum kemerdekaan, yakni tahun 1925. Saat itu, sekitar 2956 orang warga mengajukan permohonan kepada pemerintah kolonial Belanda. Permohonan tersebut berisi mengenai pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi. 4 tahun kemudian permohonan tersebut dikabulkan, yang berarti mereka diberikan hak membuka lahan kawasan hutan seluas 4000 Bahu (3000 hektar) oleh Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Noto Hadi Suryo.
Konflik ini berlanjut hingga Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, dimana warga Pakel terus berjuang untuk mendapatkan kepastian atas hak pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam "akta 1929". Pada tahun 1960-an, warga Pakel mengajukan surat permohonan pengajuan untuk bercocok tanam kepada Bupati Banyuwangi tersebut, tetapi tidak mendapatkan jawaban apapun dari pemerintah. Kemudian pada tahun 1980-an, lahan yang mereka kelola tersebut, yang masuk dalam kawasan "akta 1929", diklaim menjadi milik perusahaan perkebunan PT Bumi Sari. Pada kenyataannya, jika merujuk pada SK Kementerian Dalam Negeri, tertanggal 13 Desember 1985 dengan nomor SK.35/HGU/DA/85, berisi bahwa PT Bumi Sari hanya mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dengan luas 1189,81 hektar, yang terletak di Kluncing dan Songgon. Kini warga telah melakukan aksi pendudukan lahan sejak 24 September 2020, dan hingga saat ini konflik agraria di Pakel masih terjadi dan perjuangan warga Pakel masih terus berlanjut.
Perjuangan panjang warga Pakel Banyuwangi diwarnai dengan berbagai kekerasan dari kepolisian, salah satunya adalah kriminalisasi terhadap warga. Berdasarkan data Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (Tekad Garuda), hingga November 2020, ada 11 warga Pakel yang mengalami kriminalisasi. Dua warga diantaranya telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Kepolisian Resor Kota (Polresta) Banyuwangi. Mereka dikriminalisasi dengan tuduhan telah menduduki kawasan secara ilegal di kawasan perkebunan PT Bumi Sari.
Selain itu terjadi juga tindak kekerasan kepolisian terhadap warga pada kamis (14/1/2022) dan setidaknya empat orang menjadi korban dari tindakan itu. Bahkan, pada tahun 1999 juga terjadi tindak kekerasan kepolisian terhadap warga yang membuat banyak warga ditangkap dan dipenjara. Hal ini semua terjadi karena aksi pendudukan lahan yang dilakukan oleh warga.
Atas kriminalisasi dan tindak kekerasan yang terjadi secara terus-menerus, warga Pakel berjuang bersama sama dengan segenap tenaga untuk melawan kekerasan yang mereka alami. Ketika satu warga mengalami kriminalisasi dari PT Bumi Sari, maka ratusan warga Pakel lainnya selalu meresponsnya dengan demonstrasi besar-besaran ke Polresta Banyuwangi.
Konflik Tumpang Pitu Banyuwangi
Kronologi konflik Tumpang Pitu Banyuwangi dimulai tahun 2006. Saat itu, Bupati Banyuwangi periode (2005-2010), Ratna Ani Lestari, mengeluarkan izin kuasa eksplorasi kawasan hutan lindung dan produksi seluas 11.621,45 hektar kepada PT Indo Multi Niaga. Kemudian pada Tahun 2007, PT Indo Multi Niaga melakukan kerja sama pembiayaan dengan Intrepid Mines Ltd yang berpusat di Australia. Di tahun 2010, Bupati Ratna Ani Lestari juga menerbitkan izin usaha produksi (IUP). Kemudian pada Tahun 2007-2011 masyarakat yang terkena dampak melakukan unjuk rasa berulang kali. Tahun 2011 aset PT IMN dibakar ribuan warga yang menjadi penambang. Warga meminta agar pemerintah kabupaten mengizinkan warga ikut menambang. Juli 2012 disetujuinya pengalihan IUP dari PT Indo Multi Niaga ke PT Bumi Suksendo oleh Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Menteri Kehutanan, melalui Surat Keputusan Nomor 826/2013 tertanggal 19 November 2013, menyetujui alih fungsi hutan lindung Tumpang di gunung tersebut menjadi hutan produksi. Dengan turunnya status ini, pertambangan emas PT Bumi Suksesindo bisa dilakukan secara terbuka. Hingga kini, perjuangan warga juga belum menemukan kemenangan yang berarti.
Perjuangan warga Pakel pun sama seperti konflik Waduk Sepat dan Tumpang Pitu yang juga diwarnai oleh tindakan kriminalisasi. Bahkan tindakan represi terhadap warga Sumberagung dan sekitarnya oleh aparat keamanan negara dalam kurun waktu 5 tahun (2012-2017) belakangan ini terbilang meningkat. Dilansir dari walhi jatim, dalam salah satu kasus, 4 warga Sumberagung ditetapkan sebagai tersangka yang terjadi pada Awal April 2017 lalu. Kasus ini bermula dari aksi pemasangan spanduk “tolak tambang” yang dilakukan oleh warga desa Sumberagung dan sekitarnya. Satu hari pasca aksi (5/4), muncul beberapa pernyataan dari pihak aparat keamanan Banyuwangi (TNI/Polri), bahwa di dalam spanduk penolakan warga terdapat logo yang diduga mirip palu arit. Padahal, menurut keterangan warga dan temuan lapangan yang dikumpulkan Walhi bahwa tidak satupun spanduk yang terpasang terdapat logo yang dituduhkan oleh pihak aparat keamanan. Diduga tuduhan tersebut memiliki tujuan untuk melemahkan gerakan penolakan tambang yang sedang berlangsung yang terus bertahan hingga saat ini.
Penulis: Tim Litbang
Editor: Hanifa Keisha F.
Referensi:
Afandi, Muhammad. 2016. Banyuwangi Riwayatmu Kini. Tersedia di: https://walhijatim.or.id/2016/09/banyuwangi-riwayatmu-kini/ (diakses pada 1 Juli 2022 pukul 12.00)
CNN Indonesia. 2022. KPA: Jumlah Konflik Agraria di Jatim Naik 150 Persen. Tersedia di: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220106155056-12-743454/kpa-jumlah-konflik-agraria-di-jatim-naik-150-persen. (diakses pada 1 Juli 2022 pukul 15.00)
Djaiz, Subhan M. 2021. Walhi Nasional: Kronologi 1 Abad Konflik Agraria Warga Pakel, Banyuwangi 1925-2021. Tersedia di: https://suarahalmahera.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-1352069031/walhi-nasional-kronologi-1-abad-konflik-agraria-warga-pakel-banyuwangi-1925-2021 (diakses pada 2 Juli pukul 10.00)
Lesmana, Agung Sandy dan Sari, Ria Rizki Nirmala. 2022. Polisi Serang Warga Pakel Tengah Malam hingga 4 Korban Luka-luka, Tim Advokasi: Ada Rentetan Tembakan. Tersedia di: https://www.suara.com/news/2022/01/14/110919/polisi-serang-warga-pakel-tengah-malam-hingga-4-korban-luka-luka-tim-advokasi-ada-rentetan-tembakan (diakses pada 2 Juli pukul 15.00)
Walhi Jatim. 2018. Komnas HAM Tegakkan HAM dan Hentikan Tambang Emas Tumpang Pitu. Tersedia di: https://walhijatim.or.id/2018/03/komnas-ham-tegakkan-ham-dan-hentikan-tambang-emas-di-tumpang-pitu/ (diakses pada 3 Juli pukul 11.00)
Walhi Jatim. 2018. Catatan Kronologis “Mempertahankan Waduk Sakti Sepat.” Tersedia di: https://walhijatim.or.id/2018/11/catatan-kronologis-mempertahankan-waduk-sakti-sepat/ (diakses pada 3 Juli pukul 12.00)
TAG: #demonstrasi #ekonomi #kerakyatan #pemerintahan