Diakuinya Partai Mahasiswa Indonesia oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), menjadi perbincangan panas di kalangan mahasiswa. Banyak yang melihat partai ini sebagai usaha revitalisasi dunia perpolitikan Indonesia. Namun, tak sedikit pula yang skeptis dengan posisi partai ini.
Retorika.id- Perkembangan zaman yang serba cepat menuntut perubahan dalam setiap aspek di kehidupan, tidak terkecuali pemerintahan. Ekosistem perpolitikan negara kita didominasi oleh elite-elite partai politik yang sudah bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia perpolitikan Indonesia. Praktis, hampir tidak ada suara milenial dan kaum muda di pemerintahan.
Birokrasi Indonesia yang rumit dan kuno, seperti keharusan fotokopi KTP sebagai syarat administrasi, tidak sesuai dengan kultur masyarakat modern yang serba dinamis. Belum lagi pemerintah yang dinilai latah dalam menanggapi adanya teknologi baru, seperti rencana pembuatan bukit algoritma, dilihat sebagai sebuah status quo yang perlu diubah oleh generasi muda Indonesia.
Dari sana, muncul kebutuhan akan kanal penyaluran aspirasi generasi muda di ranah pemerintahan. Partai politik menjadi salah satu jawaban dari permasalahan ini. Partai politik menjadi penghubung antara kemauan dan pendapat rakyat dengan pemerintah, tak ayal partai politik dianggap sebagai perwujuduan atau simbol negara modern (Surbakti, 2015:147)
Sebenarnya, partai politik yang mem-branding diri sebagai partainya anak-anak muda sudah ada sejak 2014. Seperti Partai Solidaritas Indonesia yang sejak awal membangun citra diri sebagai partai yang akan memperjuangkan kepentingan generasi muda di Indonesia, menyudahi krisis
suara generasi muda dalam kancah perpolitikan Indonesia serta menyuarakan nilai-nilai pluralisme yang kerap disuarakan generasi muda.
Pada mulanya, partai politik yang diketuai oleh Grace Natalie ini mendapat banyak dukungan, terutama dari generasi muda, karena dianggap sebagai angin segar dalam napas perpolitikan Indonesia. Akan tetapi, pendekatan politik yang kurang hati-hati membuat resistensi masyarakat terhadap partai ini cukup tinggi. Berbagai blunder politik yang sering dilakukan oleh petinggi dari partai ini membuat posisi PSI belum mapan dalam dunia perpolitikan Indonesia.
Belakangan ini muncul partai politik baru yang senada dengan PSI. Mencitrakan diri sebagai parpol dari golongan mahasiswa, yakni Partai Mahasiswa Indonesia.
Diakui oleh kemenkumham berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI tertanggal 21 Januari 2022, Nomor M.HH-5.AH.11.01 Tahun 2022 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Parkindo 45, menjadikan Partai Mahasiswa Indonesia resmi berdiri.
Partai yang diketuai oleh Eko Pratama ini, bisa kita lihat sebagai sebuah usaha untuk memasukkan nilai-nilai idealisme mahasiswa ke dalam dunia perpolitikan Indonesia. Dengan adanya partai ini, penyampaian aspirasi mahasiswa yang sebelumnya sering dilakukan dalam bentuk aksi demonstrasi dari luar melalui aksi unjuk rasa ataupun demokrasi, dapat disampaikan langsung dari dalam sistem pemerintahan.
Biarpun demikian, terdapat beberapa poin yang kiranya harus kita pikirkan dalam menyikapi adanya partai mahasiswa ini. Yang pertama, partai politik membutuhkan dana operasional yang sangat besar, terlebih pada masa pemilu. Dengan demikian, Partai Mahasiswa Indonesia haruslah memiliki dukungan finansial yang besar jika memang ingin bersaing dengan partai-partai politik yang sudah ada jauh sebelumnya.
Kedua, Partai Mahasiswa Indonesia dinilai tidak mewakili gerakan dan suara mahasiswa. Partai Mahasiswa Indonesia bukan berasal dari konsensus mahasiswa seluruh Indonesia. Bahkan, aliansi BEM SI maupun BEM Nusantara mengaku tidak berafiliasi dengan terbentuknya Partai Mahasiswa Indonesia ini.
Ketiga, mahasiswa berpotensi kehilangan indepedensi. Ujang Komaruddin, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, berpendapat bahwa mustahil bagi mahasiswa untuk tetap menjadi independen dalam dunia politik, terutama politik praktis. Hal ini dikarenakan partai harus memilih untuk berada pada koalisi tertentu atau oposisi dari kekuasaan.
Selain terancam indepedensinya, terdapat perbedaan yang cukup krusial antara politik di dalam dan di luar kampus. Jika mulanya partai ini dibuat berdasarkan politik di dalam kampus yang biasanya idealis, maka saat partai dibentuk, politik idealis akan cenderung berubah menjadi pragmatis. Hal ini menyebabkan pergeseran prinsip yang tentunya dapat menjadi masalah apabila tidak dikaji dengan baik.
Dari fakta-fakta tersebut, wajar kiranya jika kita mempertanyakan dan mengkritisi legitimasi Partai Mahasiswa Indonesia. Berbagai kontroversi yang menyertai lahirnya partai ini sudah sepatutnya menjadi tanda bagi kita untuk mengedepankan sikap skeptis terhadap partai ini, menyoal tujuan dibentuknya serta siapa yang ia wakili, sekaligus mengajukan sebuah pertanyaan: Apakah partai ini membawa nilai idealis atau malah mimpi yang utopis?
Sumber:
Penulis: Ghulam Phasa & Jingga Ramadhintya
Editor: Hanifa Keisha
TAG: #aspirasi #demokrasi #gagasan #inovasi