» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Cermin Penentu Perilaku dan Sikap Bernama Instagram
21 Februari 2019 | Opini | Dibaca 1747 kali
Bijak Menggunakan Instagram: Efek Media Sosial Foto: Unsplash
Instagram, sepertinya kerap menjadi parameter tren berperilaku dan bersikap di masyarakat. Namun ilusi visual itu, semua yang tampak di layar, belum nyata dan benar adanya.

retorika.id - Penyajian informasi di era digital sekarang ini semakin lengkap sesuai dengan kebutuhan individu. Internet ibarat meja untuk meletakkan ‘piring-piring’ sebagai media sosial yang menghidangkan berbagai informasi untuk masyarakat. Hidangan yang tersaji di atas meja tersebut sangat dibebaskan untuk dikonsumsi oleh siapapun sesuai dengan keinginan.

Akan tetapi seiring dengan banyaknya ‘masakan-masakan’ yang tersaji, kita harus memilah mana yang paling baik untuk dikonsumsi. Warganet sebagai ‘koki’ dan ‘konsumen’ saling bersaing mendapatkan atau menyajikan ‘hidangan’ yang terbaik. Sayangnya aktivitas tersebut jika dilakukan terlewat batas, dapat mengakibatkan hal yang fatal.

Selain kesalahan mengonsumsi informasi hoaks dari internet, seorang individu sebagai warganet juga kerap mengalami tekanan psikologis akibat dari efek media sosial. Contohnya ketika ia sibuk memperhatikan orang-orang dari aplikasi media sosial seperti Instagram, kita melihat kehidupan orang lain itu seolah-olah sempurna, penuh kebahagiaan, dan canda tawa.

Bertolak belakang dengan kondisi kita yang memposisikan diri sebagai stalker orang-orang yang kita kenal. Kadang melihat aktivitas para individu di sana, diri sendiri merasa iri, kekurangan, kesal, dan bahkan tidak bersyukur atas realita yang ada. Apa yang mereka publikasikan di Instagram seolah-olah itulah cerminan dari yang harus kita lakukan seperti itu.

Tentu bukan masalah kita memperhatikan orang-orang di dunia maya penuh dengan kebahagiaannya. Kita seharusnya juga turut bahagia dan tidak melupakan kenyataan keadaan diri sendiri. Jika kondisinya mereka sedang


mempublikasikan kesedihannya, alangkah baiknya tidak nyinyir atau memperburuk suasana hati.

Dikutip dari tirto.id (11/07/17), survei dari lembaga asal Inggris, Royal Society for Public Health (RSPH), melaporkan mengenai efek media sosial terhadap kondisi kejiwaan anak-anak muda usia 14-21 tahun. Responden berjumlah 1.479 yang berasal dari Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara mengungkapkan opini bahwa aplikasi media sosial Instagram memberi dampak paling buruk bagi kesehatan mental.

Instagram menampilkan berbagai macam foto dan video yang mengandung informasi, dan sebagainya. Salah satunya seperti yang sudah jelaskan sebelumnya, kemudian gaya hidup, iklan perawatan tubuh yang ideal, public figure yang terlihat sempurna fisiknya. Kecantikan dan ketampanan yang hanya mengacu pada satu standar sebuah budaya mempengaruhi pemikiran kita untuk seperti orang tersebut. Padahal belum tentu atau bahkan tidak akan mungkin kecantikan atau ketampanan diri sendiri dapat disamakan dengan orang yang dijadikan patokannya.

Tidak hanya itu, kekayaan yang dipamerkan, traveling seru yang ditunjukkan, mempengaruhi psikologis untuk keinginan hal yang sama. Maka acap kali para pengguna sering membandingkan dirinya yang penuh kekurangan dengan orang yang diperhatikan penuh kesempurnaan.

Kondisi tersebut dapat berdampak pada perilaku psikologis seseorang dengan mengimitasi, atau bahkan mengidentifikasi dirinya pada hal tertentu. Secara sederhana, imitasi diartikan hanya meniru seseorang dari cara berpakaian, cara berbahasa, dan sebagainya, tanpa memahami kenapa meniru hal tersebut. Karena hal tersebut bisa dilakukan spontan, atau mengikuti tren saat itu. Misalkan gaya fesyen anak muda saat ini sedang mengikuti tren Hypebeast.

Berbeda dengan pengertian identifikasi, yang diartikan seseorang tidak hanya meniru orang lain yang menjadi kiblatnya, tetapi juga memiliki keinginan menjadi sama dengan panutannya. Karena sikap mengidentifikasi sudah memiliki alasan yang kuat kenapa melakukan suatu hal. Contohnya ketika seseorang melakukan operasi plastik pada hampir seluruh tubuhnya agar menyerupai boneka Barbie, dan gaya berpakaiannya pun juga menyesuaikan seperti boneka tersebut.

Selain itu, kecemasan akan ketinggalan berbagai informasi baru yang sedang naik daun akan menjadi dampak buruk lainnya dari Instagram. Hal ini disebut dengan FOMO (Fear of Missing Out). Biasanya ketakukan ini dikarenakan ketika berdiskusi, bercengkrama bersama teman-teman, dan orang-orang terdekat lainnya, diri sendiri tidak bisa menanggapi akan hal tersebut karena tidak memiliki landasan informasinya. Terciptalah pemikiran kita bahwa diri sendiri sangat kekurangan, dan tidak ada yang dapat dibanggakan. Menganggap hal di sana serba yang terbaik, kehidupan orang lain lebih beruntung daripada diri sendiri.

Tidak hanya negatif, sisi positif dari Instagram untuk psikologis adalah kita dapat memotivasi diri ke arah yang baik dari konten-konten yang memiliki manfaat. Ketika sedang hilang motivasi akan sesuatu, seperti belajar, para pembuat konten juga menyediakan hal senada di Instagram. Siraman rohani, atau video motivasi, akan mudah juga ditemui melalui hashtag (tagar) atau akun-akun penyedia konten. Bahkan berita-berita untuk saling menolong bagi yang membutuhkan juga tersedia jika dilacak melalui ikon hashtag.

Media sosial seperti ini kalau kita lebih teliti dan jernih melihatnya tentu mempunyai dua mata pisau. Satu sisi untuk membawa ke arah yang buruk, dan satu sisi untuk membawa ke arah kebaikan.

Piring saji berupa media sosial Instagram, menampung segala konten yang diunggah oleh penggunanya. Isu-isu yang tersebar dari berbagai pihak untuk menyetir pemikiran kita, harus kita antisipasi. Sikap skeptis dan kritis tetap menjadi alat utama kita untuk menangkal hal-hal negatif.

Sebuah wadah berjejaring sosial seperti Instagram ini jangan sampai mengatur kehidupan pribadi individu setiap saat. Ada kalanya diperlukan menoleh ke akun seseorang untuk pengembangan diri atau berinovasi untuk suatu hal. Kebijaksanaan menggunakan media sosial jangan sampai menjadi boomerang yang balik menyerang diri sendiri. Cukuplah media sosial seperti Instagram digunakan dalam batas wajar dan tidak menjadi cerminan yang selalu ingin mengikuti atau iri hati kepada orang lain.

Kemudian sebagai warganet yang baik harus bijak menggunakan dalam waktu yang secukupnya. Jangan sampai fungsi media sosial sebagai alat untuk mempererat dan jembatan komunikasi dengan orang-orang, malah menjadi alat penghancur dan merusak hubungan sosial yang nyata. Maka pembelajaran terpenting dari tersedianya aplikasi Instagram ini adalah bahwa semua yang tampak di layar belum nyata dan benar adanya.

 

Referensi :

Kirnandita, Patresia. 2017. Baik-Buruk Efek Instagram bagi Kesehatan Mental. 11-07-2017. Tersedia di: https://tirto.id/baik-buruk-efek-instagram-bagi-kesehatan-mental-csr7. (Diakses: 22 Oktober 2018).

 

Penulis : Faiz Zaki


TAG#aspirasi  #gagasan  #sosial  #