Hadirnya pandemi tidak menjadikan konflik agraria lantas surut begitu saja. Hadirnya konflik agraria di masa pandemi jadi sebuah anomali tersendiri mengapa lantas ditengah pembatasan sosial masih riskan adanya konflik agraria. Penulis berargumentasi bahwa hadirnya pandemi besar kemungkinan menjadi stimulan hadirnya opresi: 1) pandemi menjadi celah tersendiri ditengah dampak ekonomi masyarakat; 2) adanya momentum omnibus law; 3) kenyataan bahwa rakyat kelas bawah dan indigenous people yang less power
retorika.id-Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang sangat telak. Tidak hanya bagi Indonesia, namun juga hampir seluruh dunia merasakannya. Alih-alih terdampak pada aspek kesehatan, sektor lain yang menunjang kesejahteraan masyarakat seperti pendidikan, ekonomi, dan sosial pun tidak lepas dari dampak negatif hadirnya pandemi Covid-19 ini.
Dengan hadirnya kebijakan lockdown secara masif—baik dalam lingkup regional, domestik, hingga internasional—menjadikan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat sangat terhambat dan relatif mengalami defisit.
Namun terdapat anomali bahwa dalam kurun periode lockdown hingga pada kebijakan new normal yang diterapkan di Indonesia, isu klasik layaknya isu agraria justru tak pelak juga masih saja terjadi ditengah pandemi ini.
Konflik agraria ini seringkali merujuk kepada tindakan diskriminasi terhadap petani, baik dalam isu sengketa lahan ataupun urusan produk pertanian itu sendiri. Petani yang relatif tidak memilki kekuatan lebih menjadi subjek yang terus mengalami diskriminasi dan opresi.
Seperti yang dijelaskan oleh Rahman (2013), bahwa Konflik agraria yang dimaksud dapat berupa pemberian izin/hak pemanfaatan oleh pejabat publik yang mengekslusi sekelompok rakyat dari tanah, SDA, dan wilayah kelolanya.
Konflik agraria sendiri memang menjadik isu klasik yang sampai saat ini masih menjadi problematika yang kontroversial. Terlepas dari itu, banyak media yang justru ‘tutup mulut’ akan hadirnya konflik agraria yang sering terjadi pada masyarakat kalangan bawah.
Sejalan dengan pendapat Bachriadi dan Lucas, dalam Zakie (2016) bahwa sistem pengelolaan tanah dimasa orde baru hanya menguntungkan penguasa dan kroninya yang hal ini telah menyebabkan banyak petani yang kehilangan hak dan akses atas tanah.
Akibatnya, dalam 20 tahun terakhir jumlah sengketa tanah di Indonesia meningkat tajam, dan sengketa ini sering kali berubah menjadi konflik terbuka antara petani dan aparat keamanan.
Kembali kepada isu agraria di tengah pandemi, Konsorsium Pembaruan Agraria atau KPA
mencatat 241 kasus konflik agraria yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2020. Momentum ini benar-benar menjadi sebuah anomali.
Pasalnya, ditengah ketidakpastian ekonomi, krisis dan ancaman kesehatan, dan berbagai polemik struktural akibat pandemi justru tidak menjadikan konflik agraria turun. Walaupun jika dibandingkan tahun sebelumnya, tentu dengan kondisi yang normal, konflik agraria relatif tinggi. Namun kembali lagi, bahwa kondisi saat pandemi merupakan kondisi yang sangat berbeda.
Setidaknya ada beberapa asumsi mengapa lantas konflik agraria masih terjadi di kalangan petani ataupun nelayan yang sampai saat ini menjadi tantangan tersendiri yang mendorong masyarakat kalangan bawah tidak menjadapatkan keadilan dan kesejahteraan sebagaimana mestinya.
Pandemi menjadi celah
Masifnya alih fungsi lahan oleh pemerintahan dengan alasan penggunaan sarana dan prasarana termasuk lahan dan tanah dengan pembangunan berbagai proyek baik berbentuk pertambangan, bangunan, atau bahkan daerah wisata merupakan bagian dari motif pengembangan ekonomi daerah atau pusat.
Namun dampak negatif yang kemudian muncul adalah adanya konflik yang menempatkan petani berupaya melindungi tanah miliknya. Maka, momentum pandemi merupakan salah satu alternatif bagi pemerintah bagaimana petani sendiri pada hakikatnya membutuhkan adanya pemasukan karena mandeknya perekonomian.
Tentu melalui kompensasi merupakan cara persuasif yang dapat dilakukan, walaupun resistansi oleh masyarakat tidak terelakkan yang dapat mengakibatkan konflik. KPA dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa dalam kenyatannya, pandemi juga memberikan alasan mengapa pembukaan lahan tetap berlangsung, khususnya di wilayah pedesaan.
Dalam hal ini, keberadaan pandemi pun pada intinya tidak memberhentikan seluruh kegiatan pembangunan yang ada. Sehingga, wajar saja bahwa keberadaan konflik di tengah pandemi masih terjadi. sebagamana yang telah dijelaskan oleh KPA, bahwa anomali ini perlu ditelaah lebih dalam akan hadirnya dalang yang menjadikan momen pandemi masih saja berkutat pada konflik agraria
Momentum Omnibus Law
Selain itu, dalam kurun tahun 2020, momentum hadirnya pengesahan UU Cipta Kerja juga besar kemungkinan menjadi stimulus dalam upaya mempersiapkan lahan. Persiapan ini dalam rangka membuka pangsa pasar dan tenaga kerja ekstraktif serta industri yang lebih besar dan memadai.
Dalam polemik ini, banyak sekali buruh hingga petani sekalipun yang merasa dirugikan akibat adanya pengesahan UU Cipta Kerja ini. Mengutip dari tulisan Iqbal dan Rahangiyar (2020) bahwa pendekatan sektoral dalam upaya pembukaan lahan menunjukkan bahwa kebijakan Reforma Agraria di Indonesia masih mengutamakan kepentingan swasta.
Tak bisa dipungkiri bahwa dalam rentetan kasus konflik agraria, peran serta swasta dan oligarki sangatlah kuat dan begitu memengaruhi timbulnya konflik agraria yang sampai saat ini masih saja terjadi. Konflik di kala pandemi pun menjadi gambaran adanya perjuangan pembukaan lahan yang terus berjalan.
Sehingga harapannya, ketika fase di mana pandemi mulai menghadapi resolusi, nantinya akan dapat membukan lahan bisnis baru atau sektor ekonomi baru. KPA juga menilai bahwa dalam kurun tahun 2020, saat konflik agraria masih terjadi juga menitiberatkan pertanyaan akan implikasi swasta yang memilih membuka ekspansi bisnis di pedesaan.
Rakyat Kelas Bawah hingga Indigenous People
Ada berbagai riset yang menyatakan bahwa secara holistik, pandemi benar-benar memberikan dampak yang telak di berbagai kelas sosial.
Chackalackal, et al (2020) menyebutkan bahwa pekerja migran, pengungsi dan pencari suaka, rakyat miskin perkotaan, buruh, pekerja seks, perempuan dan anak, kelompok agama, indigenous people, dan pengidap penyakit menjadi subjek yang riskan akan hadirnya pandemi.Sehingga, ancaman multisektor dihadapi oleh mereka yang relatif menjadi kalangan yang dekat sekali dengan insecurity.
Terlepas dari dampak secara luas akan hadirnya pandemi, konflik agraria pun juga menjadi dimensi yang perlu dipertimbangakan. Khususnya bagi kalangan Indgenous people yang sampai saat ini juga terus berada pada lingkaran konflik dalam menyikapi hadirnya pembukaan hutan.
Walaupun tidak banyak terekspos konfliknya, kasus di Papua sendiri menjadi gambaran bagaimana konflik masyarakat versus aparat seringkali terjadi. Salah satu penyebab yang menjadi faktor krusial adalah faktor kepemilikan tanah dan hutan.
Penulis: Febrian Brahmanantya Mukti
Editor: Kadek Putri Maharani
Referensi:
Chackalackal, Dhia Joseph, et al., 2020, The Covid-19 Pandemic In Low- And Middle-Income Countries, Who Carries The Burden? Review Of Mass Media And Publications From Six Countries, ResearchGate.
Iqbal, Kiagus M. dan Rahangiar, Moh. Ali., 2020, Logika sektoral dan pasar menjadi masalah utama dalam pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia, The Conversation [daring] tersedia dalam: https://theconversation.com/logika-sektoral-dan-pasar-menjadi-masalah-utama-dalam-pelaksanaan-reforma-agraria-di-indonesia-135645 [diakses pada 27 Mei 2021]
Jambor, Atilla, et al., 2020, The Impact of the Coronavirus on Agriculture: First Evidence Based on Global Newspaper, MDPI
Rachman, Noer Fauzi, 2013, “Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria yang Kronis, Sistemik, dan Meluas di Indonesia”dalam Bhumi No. 37
Ramadhan, Galih, 2021., KPA Catat 241 Kasus Konflik Agraria Sepanjang 2020, Anomali di Tengah Pandemi. Kompas [daring], tersedia dalam: https://nasional.kompas.com/read/2021/01/06/13013151/kpa-catat-241-kasus-konflik-agraria-sepanjang-2020-anomali-di-tengah-pandemi?page=all [diakses pada 27 Mei 2021]
Zakie, Mukmin, 2016, “Konflik Agraria yang Tak Pernah Reda” dalam Legality, Vol. 24 No. 1
TAG: #aspirasi #gagasan #humaniora #kerakyatan