» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Liputan Khusus
Menengok Harapan bagi Perempuan Indonesia
28 September 2019 | Liputan Khusus | Dibaca 1638 kali
Aksi Surabaya Menggugat: Urgensi RUU PKS Foto: Surabaya Menggugat
Meskipun tuntutan DPRD menanggapi tuntutan massa aksi Surabaya Menggugat, sayangnya RUU P-KS tidak didengar. Terpantau oknum peserta laki-laki dari massa melakukan tindakan diskriminatif dan seksis terhadap perempuan. Tulisan poster yang dibawa oleh massa juga terlihat berlebihan dan mengiingkari perjuangan penghapusan kekerasan seksual.

retorika.id - Mahasiswa FISIP Unair pada Kamis (26/9) sore bergemuruh riang ketika Presiden BEM FISIP, Risyad Fahlefi, menyebutkan bahwa beberapa tuntutan dari delapan tuntutan massa aksi Surabaya Menggugat sudah ditanggapi oleh DPRD Jatim. Tuntutan tersebut antara lain: 1) menerbitkan Perppu untuk membatalkan RUU KPK, 2) melakukan pembahasan kembali pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam sejumlah RUU, seperti RKUHP, RUU Pertanahan, dan RUU Ketenagakerjaan, 3) mengusut tuntas permasalahan Karhutlah dan memfasilitasi masyarakat yang terdampak; serta 4) menyelesaikan permasalahan konflik di Papua dan membuka ruang dialog agar rasisme tidak terjadi lagi.

Massa aksi percaya setidaknya beberapa tuntutan mereka didengar oleh dewan legislatif dan menyebut aksi yang mereka lakukan hari itu berhasil. Setidaknya itu yang mereka percayai dan hasil yang beredar itu lah yang mereka percayai merupakan hasil dari aksi Surabaya Menggugat.

Terlepas dari kesimpangsiuran perihal hasil aksi Kamis lalu, ada satu hal yang harus digarisbawahi dalam aksi ini, yaitu tidak didengarnya tuntutan massa aksi Surabaya Menggugat untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS). Bahkan beberapa laman berita arus utama seperti kompas.com dan tempo.co mengatakan bahwa


kemungkinan besar RUU P-KS tidak disahkan dalam periode ini.

Kenyataan tersebut tentunya merupakan kabar buruk bagi seluruh perempuan Indonesia. Perjuangan perempuan dalam membela dirinya dalam melawan kekerasan dan pelecehan seksual nampaknya masih belum menemui titik terang. Keadaan ini diperburuk dengan beberapa kejadian diskrimatif yang dialami oleh perempuan selama aksi berlangsung pada Kamis lalu.

Ada beberapa cerita mengenai sikap diskriminatif yang dialami para perempuan selama aksi berlangsung. Fidiyah, mahasiswi Universitas Airlangga bercerita bahwa saat aksi berlangsung, seseorang yang tak ia kenal sama sekali meminta nomor telepon selulernya. Tidak jauh berbeda, salah seorang mahasiswi Fakultas Vokasi bercerita bahwa dirinya mendapat perlakuan diskriminatif oleh sesama mahasiswa Unair dengan diteriaki “Betina di tengah, woi!” saat melakukan long march menuju gedung DPRD Jatim.

Penulis juga mengalami kejadian tidak menyenangkan selama melakukan liputan aksi Surabaya Menggugat. Saat melewati beberapa rombongan massa, penulis beberapa kali diteriaki kalimat godaan mulai dari  “Nah, gini dong”,  “Kamu joss!”, “Kasih lewat rek kalo cantik”, “Bagi rotinya, dong!”, hingga teriakan riuh lainnya. Saat melewati rombongan massa ini, penulis berjalan bersama dua orang anggota LPM Retorika lainnya. Alvidha, seorang redaktur kami yang berjalan bersama penulis juga sempat dicolek oleh anggota rombongan massa ini.

Bahkan, saat seorang perempuan naik ke mobil komando (mokom) untuk melakukan orasi, massa riuh mencemooh sang orator perempuan. Kejadian ini terjadi di mokom di depan pagar DPRD Jatim sekitar pukul 14.00. Kondisi massa yang sudah emosi dan panas pun memperkeruh suasana dan membuat teriakan cemoohan ini terdengar sangat tajam dan menjatuhkan sang orator perempuan. Tak hanya itu, kami juga menemukan beberapa poster yang bernada seksis dan merendahkan perempuan, bahkan justru terkesan bertentangan dengan tuntutan massa aksi yang ingin segera mengesahkan RUU P-KS.

Berkaca pada berbagai tindakan seksis tersebut, perlu kita refleksikan kembali seberapa kompleks permasalahan yang dihadapi perempuan Indonesia saat ini. Sungguh tak enak posisi perempuan Indonesia dalam memperjuangkan dan menyuarakan haknya saat ini. Perjuangan perempuan menuntut pemenuhan haknya lewat jalur demokratis pun tak didukung oleh semua pihak. Ketika perempuan mencoba memperjuangkan posisinya dalam Undang-Undang, para anggota legislatif seakan menutup mata dan telinga mereka.

Hal yang sama terjadi di masyarakat, perempuan masih sering mengalami diskriminasi dan objektifikasi. Ironisnya lagi, diskriminasi dan objektifikasi ini terjadi dalam massa aksi demonstrasi yang dalam aksinya juga memiliki tuntutan untuk melindungi perempuan yang rentan mendapat diskriminasi dan objektifikasi. Lalu, masih ada kah harapan bagi perempuan Indonesia untuk berada dalam lingkungan yang sepenuhnya bebas dari diskriminasi?

Aksi Kamis lalu juga masih belum menghasilkan apa-apa, karena massa aksi Surabaya Menggugat dinilai tak memahami tuntutan aksi. Dapat dikatakan aksi kemarin Kamis hanya sekadar riuh massa biasa untuk mencari keseruan di tengah gelombang emosi generasi muda Indonesia yang menilai bahwa ada kesalahan dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Perlakuan sebagian massa aksi yang seksis dan diskriminatif tentu sangat disayangkan mengingat banyak dari rekan mahasiswa yang benar-benar paham akan permasalahan dan tulus turun aksi untuk menyalurkan aspirasinya. Namun sayangnya, suara mereka tak terfasilitasi sepenuhnya dikarenakan masih banyak pihak tak bertanggung jawab yang tak paham benar fokus tuntutan aksi Kamis lalu.

Jadi kawanku, teruslah pelihara semangat perjuanganmu, karena ternyata pekerjaan rumah kita masih sangat banyak.

 

Penulis: Pulina Nityakanti Pramesi.


TAG#demonstrasi  #gender  #  #