Label ‘sesat’ yang ditempelkan pada Ahmadiyah membawanya menjadi alasan untuk memerangi mereka karena tidak sesuai dengan ajaran agama yang "semestinya" pada umumnya. Mirisnya, Jemaah Ahmadiyah sering mendapatkan perlakuan tidak semestinya dari oknum aparat dan ormas, daripada aktivitas Jemaah Kristen dari GPIB Bukit Zaitun yang lebih diterima oleh masyarakat sekitar.
retorika.id (29/09) - Kerukunan dan kedamaian adalah suatu hal yang didambakan oleh umat manusia di muka Bumi ini. Perbedaan keyakinan agama menjadi sebuah hiasan layaknya pelangi yang membawa warna dan ikut mewarnai kehidupan. Akan tetapi, perbedaan warna itu juga dapat memunculkan suatu sikap intoleransi dari sebuah golongan yang menganggap golongan lain adalah sesat. Kemudian label ‘sesat’ yang ditempelkan pada suatu golongan menjadi alasan untuk memerangi mereka karena tidak sesuai dengan ajaran agama yang semestinya pada umumnya. Permasalahan selanjutnya adalah keberagaman warna tersebut dituntut untuk menjadi keseragaman yang hampir mustahil diwujudkan.
Kunjungan Serikat Jurnalistik Untuk Keberagaman (SEJUK) ke Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Bukit Zaitun dan Masjid An-Nusrat dilaksanakan pada Minggu, 09 September 2018. Meliput tentang perbedaan respon dan perlakuan masyarakat dari sisi pandang kedua kelompok ini sangat menarik minat untuk menelusurinya. Perbedaan perlakuan masyarakat terhadap dua kelompok ini sangat jauh berbeda. Mirisnya, Jemaah Ahmadiyah sering mendapatkan perlakuan tidak semestinya dari oknum aparat dan ormas, daripada aktivitas Jemaat Kristen dari GPIB Bukit Zaitun yang lebih diterima oleh masyarakat sekitar.
Jemaah GPIB Bukit Zaitun Makassar mengaku tidak pernah mengalami tindakan diskriminatif dan merasa terancam oleh masyarakat sekitar, terutama yang bukan beragama Kristen. Gereja yang sudah didirikan sejak tahun 2003 ini, terbuka bagi setiap Jemaat Protestan di
Makassar. Selain aktif mengadakan kegiatan ibadah setiap hari Minggu, tempat peribadatan ini juga aktif melakukan kegiatan gerakan pemuda bimbingan kepada anak dan remaja.
Vikaris Eirene Charanita Elisabeth Iroth, yaitu salah satu calon pendeta yang sedang belajar di GPIB Bukit Zaitun, menuturkan, “Selama saya di sini, saya merasa baik-baik saja, tidak ada konflik. Malah saya pernah lama tinggal dengan masyarakat muslim di Majene dan kami damai-damai saja.”
Perempuan yang akrab disapa Eirene ini melanjutkan, kesalahan terbesar selama ini karena orang-orang yang berkonflik mengatasnamakan agama. Menurutnya, kesalahan itu datang dari pribadi masing-masing, dan pemerintah seharusnya lebih objektif dan tidak memihak kepada siapa pun harapnya.
Hal tersebut berbeda jauh dengan apa yang terjadi pada Jemaah Ahmadiyah. Aktivitas mereka kerap diganggu oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam beranggapan bahwa ajaran dari aliran Ahmadiyah adalah sesat dan tidak sesuai syariah. Maka atas dasar label fatwa sesat oleh MUI dan tidak menerima aliran lain dalam Islam ini, banyak terjadi tindakan persekusi terhadap mereka.
Sejak kehadiran Jemaah Ahmadiyah pertama kali di Indonesia pada tahun 1926, banyak suara penolakan dari kalangan umat Islam di Indonesia. Hal ini dilatar belakangi oleh akidah yang diyakini Ahmadiyah tidak sesuai dengan syariat Islam. Ahmadiyah yang juga merupakan organisasi ini meyakini bahwa pendirinya sendiri Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah sosok Imam Mahdi dan Masih Mau’ud yang dinantikan.
Perbedaan dan persamaan yang masih dipertanyakan oleh masyarakat adalah masalah akidah, tata cara salat, dan pengamalan nilai-nilai Islam. “Hasil penelitian litbang tahun 2008 mengatakan, 90 persen Ahmadiyah ini sama dengan Islam yang lainnya ... dalam praktik fiqih kami tidak condong kepada satu mahzab, tapi kami mengambil lima mahzab, lebih dekat dengan mazhab Hanafiyah,” ucap Syaifullah selaku Mubaligh Ahmadiyah, saat ditemui di Masjid An-Nusrat, Makassar.
Karena alasan akidah yang berbeda itu, Jemaah Ahmadiyah kerap mendapatkan diskriminasi di berbagai daerah di Indonesia. Di Kota Daeng (Makassar) sendiri, pada tahun 2011 silam, organisasi yang menamakan dirinya Front Pembela Islam (FPI) melakukan penyerangan pada masjid yang beralamat di Jl. Anuang, ketika sedang mengadakan acara. Hal ini berimbas hingga masjid itu sementara disegel dan ditutup sementara oleh pihak kepolisian dengan alasan keamanan.
“Saat kegiatan Baiat, FPI menyerang. Ada yang ditusuk, ada yang dipukul bambu. Tapi saat itu, khalifah kami melarang untuk menyerang balik,” jelas Ardiana, salah satu anggota jemaah.
Namun, Jemaah Ahmadiyah yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan tersebut enggan untuk melakukan serangan balik. Alih-alih menyerang, saat ini mereka lebih aktif melakukan kegiatan sosial bersama masyarakat yang menerima dengan baik kehadiran mereka, seperti: donor darah, donor kornea mata, mengajar mengaji Al-Qur’an, mengumpulkan sumbangan untuk korban gempa di Lombok, dan lain-lain. Meski kerap digusur oleh oknum aparat maupun ormas saat melakukan kegiatan ibadah, sampai saat ini mereka tetap aktif menjalankan ibadahnya.
Saat dimintai tanggapan mengenai fatwa sesat yang dilayangkan oleh MUI kepada Jemaah Ahmadiyah, Syaifullah menegaskan “… Seribu fatwa sesat tidak akan menjadikan kami sesat selama kami ini berdiri diatas Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Salallahu Alaihi Salam.”
Love for All, Hatred for None, slogan yang selama ini dijunjung tinggi oleh Jemaah Islam Ahmadiyah di seluruh dunia. Meski beberapa penolakan dan sikap diskriminasi yang diterima, penganut Jemaat Muslim Ahmadiyah tetap enggan melakukan pembalasan.
Ardiana juga berharap ke depannya, Jemaah Ahmadiyah bisa diberi ruang dalam melakukan kegiatan. Sebisa mungkin jangan melihat Ahmadiyah dari sisi buruknya saja, tetapi langsung datang untuk melihat dan bertanya langsung, apa itu Ahmadiyah.
Sangat miris memang ketika banyak kasus intoleran antar umat beragama dan golongan di negeri yang seharusnya menjadi contoh demokrasi dan kebebasan beragama yang baik. Seakan-akan sila ketiga dari Pancasila hanya pantas untuk dihafalkan dan dilafalkan ketika masih duduk di bangku sekolah. Implementasi yang buruk dari hasil pendidikan juga menjadi pekerjaan rumah yang penting bagi lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, lembaga agama, dan khususnya pemerintah yang menjadi pihak ketiga untuk menengahi dan menyelesaikan permasalahan seperti ini melalui Undang-Undang yang jelas.
Penulis : Faiz Zaki
TAG: #agama #budaya #demokrasi #humaniora