
Jangan berhenti sekolah karena biaya. Sebuah pesan itu disampaikan oleh Dr. Ir. Sri Gunani Pratiwi, M.T. selaku Plt Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemendikbud RI. Meskipun terdengar klise, tetapi itulah yang menjadi masalah pelik bagi Indonesia hingga kini. Seolah mengingatkan pada masyarakat agar tidak risau. Digelar lah acara Seminar Expo dan Beasiswa (SEMPOA) 2022. Kisah Angga Fauzan dan Jovial de Lopez menjadi pemantik bagi peserta agar termotivasi mendapatkan beasiswa.
Retorika.id - Pada acara SEMPOA 2022, Dr. Ir. Sri Gunani ditemani oleh dua guest star yang menjadi perwakilan wajah dari pemuda. Dia adalah Angga Fauzan, CEO & Co-Founder MySkill serta Jovial da Lopez selaku Chief Creative Office Narasi TV & Founder Beasiswa Da Lopez. Acara yang berlangsung pada Sabtu (15/10) itu diselenggarakan di gedung Airlangga Convention Center (ACC) Kampus C Universitas Airlangga, Surabaya.
Adkesma BEM Universitas Airlangga selaku penyelenggara mengaku, bentuk kegiatan tahun ini berbeda dengan kegiatan tahun sebelumnya. Jika dulu hanya dilaksanakan secara daring dan seminar, kini panitia juga menghadirkan talkshow dan expo yang bersifat dua arah.
Pada sesi talkshow, acara dibuka dengan pemaparan jawaban dari Sri Gunani ketika ditanya bagaimana potret dan arah pendidikan Indonesia saat ini. Dirinya mengaku, pemerintah saat ini berfokus pada hal paling mendasar yakni kemampuan literasi dan numerasi.
Sementara, Angga Fauzan lebih bercerita tentang usahanya dalam menempuh pendidikan. Angga merupakan anak dari keluarga yang kurang beruntung dalam mengenyam bangku pendidikan.
“Saya adalah orang pertama di keluarga yang lulus SD, lulus SMP, SMA, S1, dan S2.” Ujar Angga.
Baginya, memiliki harapan untuk bersekolah saja adalah hal yang luar biasa. Pernah, saat lulus SMP dia tidak diantar untuk mendaftar ke SMA.
Tetapi, justru diantar ke tempat kursus komputer. Ibunya yang hanya bekerja sebagai penjual gorengan tentu berharap Angga dapat menguasai komputer. Itung-itung, kalau sudah ahli bisa menjadi admin. Entah dimanapun itu, yang penting berpenghasilan.
Membelot dari rancangan hidup keluarganya, Angga diam-diam mendaftar SMA. Dia pun aktif mengikuti berbagai kegiatan untuk memperoleh beasiswa. Berkat kerja kerasnya, dia akhirnya diterima sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) dengan beasiswa bidikmisi.
Tak berhenti sampai disitu, nyinyiran yang dia rasakan masih berlanjut. Gurunya bahkan pernah berkata, lulusan DKV hanya mampu berbisnis cap stempel saja. Nyatanya, Angga kini sudah memiliki startup MySkill yang terbilang sukses. MySkill bahkan pernah mendapat penghargaan sebagai 15 LinkedIn Top Startups 2022. Berkat pencapaian itu, Angga bisa membantu meringankan beban ekonomi keluarganya. Tak hanya keluarga, tetapi juga masyarakat Indonesia yang ingin melatih kemampuan mereka.
Berbicara soal beasiswa, Jovial de Lopez sendiri pernah membuka beasiswa de Lopez untuk tiga orang anak terpilih. Itu adalah salah satu keinginan terbesarnya untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Dia sadar bahwa masalah pendidikan adalah hal yang kompleks.
Bak remaja yang selalu mengeluh tentang kehidupan bahwa dunia ini tidak adil, Jovial menceritakan kisah adiknya, Andovi da Lopez yang ingin kuliah di Universitas Indonesia (UI).
Saat itu, Andovi yang menempuh pendidikan SMA di India, memilih untuk kuliah di Indonesia, khususnya UI. Dia pun kesulitan karena sistem pembelajaran di India dengan tes masuk perguruan tinggi di Indonesia tentu berbeda. Dia pun jadi ragu untuk diterima di UI. Saat itulah, Jovial membantu adiknya dengan cara mencari mentor.
“Gue langsung cari orang terpintar di fisika waktu itu. Orang yang ngajarin olimpiade sains nasional untuk ngajarin Andovi matematika dan fisika. Satu bulan Andovi harus jago matematika dan fisika, biar dia bisa keterima. Ujung-ujungnya Andovi keterima.” Cerita Jovial.
Sayangnya, kisah tersebut tak berakhir happy ending. Bukan karena Andovi, tetapi mentor yang dimintai tolong oleh Jo. Kabarnya, Jovial mendengar bahwa temannya tersebut hampir tak bisa melanjutkan kuliah karena biaya.
“Dia sempet, hampir, harus pulang ke kampung halamannya karena dia gak bisa bayar kosan yang dalam tanda kutip ‘hanya’ seharga 400 ribu.”
Jovial pun sadar, bahwa banyak sekali orang briliant di Indonesia yang tidak sanggup menempuh pendidikan hanya karena biaya. Tetapi, banyak juga orang yang biasa saja dan memiliki harta melimpah.
“Dan itu, sungguh tidak adil.” Tegas Jovial.
Itulah yang membuat dirinya dan Andovi bergerak untuk memberikan beasiswa da Lopez. Tak hanya itu, dibanding berkoar-koar mengeluh tentang masalah pendidikan di Indonesia. Mereka memilih aksi nyata dengan merenovasi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur.
“Ini kampung halaman almarhum bokap gue. Gue sadar bahwa infrastruktur sekolah di sini jelek, jadi gue fundraising. Gue me-renov gedung SMP dan SMK di Flores. Ini hal yang gue pengen banget. Semua orang yang punya power, semua orang punya resources, semua orang yang punya kepedulian untuk bisa melakukan hal-hal seperti ini.” Pungkas Jovial.
Setidaknya, selain Sri, Angga, dan Jovial ada delapan orang lainnya yang turut menjadi pembicara. Mereka adalah perwakilan dari Taiwan Education Center (TEC) Surabaya, LPDP Unair, Fulbright Indonesia, Institut Français d’Indonésie (IFI) Surabaya, Generasi Baru Indonesia (GenBI) UNAIR, Lembaga Beasiswa Baznas, AMINEF, Karya Salemba Empat Unair, hingga Consulate General of Japan in Surabaya.
Dilansir dari website resmi Fisip Unair, Hosniah selaku ketua pelaksana sekaligus mahasiswi Ilmu Politik mengaku, acara ini dapat memberikan insight baru tentang beasiswa.
“Sebagai mahasiswa FISIP, aku juga pengen memberikan wadah kepada teman-teman FISIP. Ada lho beasiswa gak hanya di Indonesia saja, tapi di luar negeri pun ada,” terang Hosniah.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Geovany Seno Hermawan
TAG: #akademik #kisah #pendidikan #surabaya