Kementerian Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa BEM FISIP Unair kembali menggelar webinar bertajuk Mental Health 102: “It’s Okay Not To Be Okay†yang telah dilaksanakan pada hari Sabtu (12/06/2021) melalui platform Zoom Meeting. Webinar kali ini menggandeng Rumah Harmonis, sebuah layanan edukasi dan konsultasi kesehatan mental untuk membahas topik seputar seberapa pentingnya proses self-acceptance dalam meningkatkan kesadaran kesehatan mental.
retorika.id- Berdasarkan data dari WHO tahun 2020, WHO menyatakan bahwa kesehatan mental menjadi penyebab angka kematian tertinggi ke-3 di dunia. Hal ini dikarenakan masih banyak sekali orang-orang yang belum meningkatkan kesadarannya terhadap kesehatan mental. Begitu yang disampaikan oleh Intan Nisaaul Chusna selaku perwakilan dari Rumah Harmonis. Dalam sambutannya, Intan berharap agar teman-teman bisa saling belajar, berbagi, dan sadar bahwa kesehatan mental itu penting.
“Jangan takut untuk menyadari bahwa kalian sedang tidak baik-baik saja, luangkan waktu untuk mengekpresikannya karena itu merupakan salah satu cara kalian mencnitai diri kalian sendiri” ujarnya di akhir sambutan.
Di tengah sambutannya, ia juga mengatakan bahwa Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah satu negara dengan kasus kesehatan mental tertinggi di Asia Tenggara. Maka dari itu, webinar Mental Health 102 yang berlangsung melalui Zoom Meeting kali ini, yang dipandu oleh Barieta selaku staff Kementerian Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa BEM FISIP Unair dan Sofi Nadya, salah satu konselor di Rumah Harmonis membahas seberapa pentingnya proses self-acceptance (penerimaan diri) untuk meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental.
Diawali dengan menyampaikan contoh dari beberapa k-drama yang mengangkat cerita terkait isu kesehatan mental, Sofi Nadya mengajak para audiens untuk bisa
dealing dengan diri mereka masing-masing bahwa tidak masalah menjadi tidak baik-baik saja. Salah seorang audiens bernama Mevi berbagi keresahannya sebagai mahasiswa, bahwa menurutnya ada sesekali gejolak dimana perasaan ia merasa lelah sebagai mahasiswa, merasa tidak puas dengan diri sendiri dan merasa diam di tempat.
“Karena ngelihat yang lain itu ‘kan pada progresif gitu, apalagi kalau teman-teman mahasiswa main Linkedin disana, ‘kan kita bisa ngelihat tuh, teman-teman pernah jadi apa aja, ngapain aja, duh rasanya minder gitu, Kak. Insecure sama diri sendiri” ungkap Mevi mengutarakan keresahannya.
Sofi Nadya memberikan materi terkait self-acceptance. Ia memaparkan bahwa self-acceptance (penerimaan diri) itu adalah tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya. Yang dimaksud disini yaitu, dimana kita sebagai individu dapat menerima segala kelebihan maupun kekurangan yang ada di dalam diri kita─baik secara fisik, emosi, sosial, lingkungan keluarga maupun lingkungan kita.
Namun yang dimaksud dengan penerimaan diri secara utuh itu bukan berarti kita pasrah akan segala kekurangan kita, justru dengan menerima diri itu kita mampu untuk tetap membuka peluang-peluang kemungkinan yang ada di dalam diri kita untuk berkembang dan terbuka secara emosional terhadap diri kita saat ini.
Mengingat jika kita tidak bisa menerima kondisi kita yang sedang “tidak baik-baik saja” tentu saja hal itu akan memberikan dampak yang akan membuat kita susah untuk mengendalikan emosi dan perasaan kita. Maka otomatis kita akan merasa kurang bahagia dan lebih mudah terpancing bahkan kita juga akan mengalami kesulitan untuk menjaga hubungan kita dengan orang lain.
Sofi Nadya juga menjelaskan bahwa ada 4 faktor alasan mengapa individu sulit menerima diri sendiri, yaitu: 1. Denial, 2. Tidak percaya pada diri sendiri, 3. Tidak memberikan value pada diri sendiri, 4. Terjebak pada toxic-positivity.
Padahal hal utama yang bisa dilakukan dalam proses penerimaan diri sendiri yaitu dengan menerima diri sendiri apa adanya dan menerima segala energi positif maupun negatif yang dirasakan.
“Menerima bahwa, oh iya, aku seperti ini, aku lahir dari keluarga seperti ini, orang tuaku seperti ini, kakak adikku seperti ini, lingkunganku seperti ini. Nggak masalah.” Imbuh Sofi.
Adapun mengapa alasan self-acceptance ini menjadi suatu hal yang penting. Salah satunya yaitu agar kita bisa memahami diri sendiri secara utuh bahwa kita harus bisa menerima secara valid agar kita bisa menjadi pribadi yang lebih berkembang. Karena ketika kita bisa mengenali kekurangan kita, kita bisa mencoba untuk membuat rencana atau strategi untuk mengolah kekurangan kita ini bisa menjadi lebih baik.
Pada acara sesi tanya jawab, beberapa audiens saling berbagi cerita mereka masing-masing, pengalaman-pengalaman dan permasalahan yang dihadapi oleh mereka dalam meningkatkan kesadaran kesehatan mental menjadi sorotan penting dalam webinar siang hari itu.
Beberapa permasalahan yang disebutkan antara lain yaitu, kesulitan beradaptasi di lingkungan judgmental society, daddy issues, trust issues, depresi, stress, overthinking, selfish berkedok self-love, dan sebagainya.
Seperti yang diceritakan oleh seorang audiens bernama Mevi terkait persoalan teman sekelompok yang kadang menjadikan alasan lelah sebagai bentuk self-love sehingga temannya enggan untuk mengerjakan tugas kelompok. Hal ini juga dirasakan oleh MC webinar, Barieta.
“Harus diingat bahwa bukan berarti, ketika aku ingin membahagiakan diriku, aku justru merugikan orang lain. Itu jelas namanya bahwa sikap yang egois, meninggalkan tanggung jawab.” Tegas Sofi saat menanggapi Mevi.
Setelah sesi tanya jawab selesai, acara webinar ditutup dengan pemberian sertifikat kepada pembicara secara simbolis dari Kementerian Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa BEM FISIP Unair kepada Rumah Harmonis.
Penulis: Adiesty Anjali
Editor: Najmah Rindu Aisy
TAG: #bem #fisip-unair #lingkungan #sosial