» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Surat Pembaca
Surat Terbuka untuk Presiden Indonesia
26 September 2019 | Surat Pembaca | Dibaca 2558 kali
Jokowi dan Oligarki: Kemunduran Demokrasi Foto: Beritagar.id
Yang Mulia Presiden, izinkan saya, seorang mahasiswa yang pergi paling jauh ke kampus untuk belajar tata negara untuk memberi tahukan kepada junjungan saya bahwa ia telah melakukan kesalahan paling besar dalam sejarah kepemimpinan Indonesia sejak Orde Baru.

retorika.id - Dengan penuh rasa bangga saya ucapkan terima kasih untuk lima tahun kepemimpinan anda yang gemilang dan penuh gebrakan. Mungkin terdapat beberapa catatan hitam dalam lima tahun tersebut, tapi saya yakin bahwa anda masih merupakan pemimpin terbaik bagi Indonesia, negara yang kami cintai. Anda selalu berusaha untuk memajukan masyarakat dengan berbagai kebijakan yang anda keluarkan dan terus berusaha untuk menundukkan korporat asing di saat yang bersamaan. Perjuangan anda semakin mengagumkan dengan setiap politikus yang berusaha untuk menghentikan langkah anda memajukan Indonesia.

Namun izinkan saya, seorang mahasiswa yang pergi paling jauh ke kampus untuk belajar tata negara untuk memberi tahukan kepada junjungan saya bahwa ia telah melakukan kesalahan paling besar dalam sejarah kepemimpinan Indonesia sejak Orde Baru.

KPK merupakan satu-satunya lembaga yang rakyat percayai integritasnya dengan sepenuh hati. Keputusan anda untuk menyepakati RUU KPK merupakan sebuah kesalahan besar yang berpotensi menghancurkan negara ini di masa depan. Bagaimana mungkin anda mempercayakan nasib KPK di tangan para koruptor itu sendiri? Jelas-jelas selama ini rakyat selalu menyebutkan mosi tidak percaya kepada DPR-RI yang selama ini dianggap sebagai sebuah TK yang berisi anak-anak paling nakal di negara ini.

Anda mungkin berpikir bahwa dengan dijadikannya KPK sebagai lembaga eksekutif dan 'diciptakannya'  Dewan Pengawas maka legitimasi KPK akan semakin kuat, tapi kenyataannya hal tersebut akan membuat kinerja KPK semakin tidak efektif. Bayangkan jika Dewan Pengawas tersebut kemudian diisi oleh orang-orang yang berkepentingan atau oleh orang-orang yang mudah dipengaruhi, yang ternyata tidak berintegritas, apakah KPK dapat berjalan sebagaimana semestinya?

Bahkan masyarakat pun paham bahwa saat ini DPR berusaha untuk melemahkan posisi KPK sebagai musuh utama mereka dalam memperkaya diri dan golongannya sendiri. Yang Mulia Presiden, saya tidak pernah meragukan kemampuan dan kekuatan anda sebagai Pemimpin Pemerintahan, tetapi jangan biarkan kami meragukan kesetiaan anda pada cita-cita besar Bangsa Indonesia dengan membiarkan undang-undang tersebut merenggut independensi KPK. Saya memohon agar anda, dengan segala kebesaran


serta prestasi gemilang yang anda miliki, pada akhirnya mau menolak segala bentuk cara untuk melemahkan KPK.

Yang Mulia Presiden, saya paham bahwa keteraturan merupakan suatu hal yang mesti ada jika ingin sebuah negara maju. Semua rakyat Indonesia pun menginginkan sebuah negara yang aman dan tentram, dimana semua orang tahu adab dan aturan yang ada. Tetapi saya dan mereka juga tentu paham bahwa sebuah aturan tentu ada batasannya. Bagaimana mungkin Indonesia bisa berkembang dan maju jika azas hukum yang digunakan bersifat sangat diskriminatif dan merenggut hak-hak privat kami?

Jangankan hak, kewajiban kami untuk mencegah dan menyelamatkan generasi muda dari bahaya seks bebas dan depresi pun akan direnggut melalui RKUHP yang baru. Mengapa tanpa ada pertimbangan yang mendalam serta uji coba RUU, tiba-tiba muncul rencana pengesahan RKUHP di akhir lima tahun jabatan eksekutif dan legislatif?

Bayangkan bagaimana rasanya jika anak-cucu anda, yang terus meniti karir sambil merasakan cinta, terpaksa harus terperangkap dalam aturan mengancam yang tak masuk akal ini! Apa perlunya juga negara mengatur urusan dengan siapa kami tidur, jika DPR pun suka tidur-tiduran. Sekiranya, orang terhormat seperti anda harusnya paham bahwa Indonesia bukanlah sebuah negara agama yang hukumnya harus didasarkan pada ajaran agama tertentu. Jangan biarkan kami bebas dari aturan penjajah hanya untuk dijajah oleh bangsa sendiri, Yang Mulia Presiden!

Selama ini kita dengan bangga menggaungkan kata 'Merdeka' di seluruh Indonesia, kecuali di Papua. Lantas apakah kita masih menganggap Papua sebagai bagian dari Indonesia? Yang Mulia Presiden, Papua tidak pernah merdeka hingga sekarang, bahkan setelah kita memerdekakan mereka dari Belanda, karena pada akhirnya kita yang menjajah mereka. Dengan semua kekayaan pohon dan emas yang kita ambil, mengapa Papua hanya memiliki tanah yang gundul, gunung yang tandus, dan mimpi yang kandas, hanya karena superioritas Jawa di Indonesia. Memang pembangunan gencar dilakukan di Papua, tapi apakah itu sudah cukup untuk 'memerdekakan' mereka dari kemiskinan dan keterbelakangan? Sedangkan pembangunan jauh lebih intensif di kota-kota yang sudah sesak, seperti Surabaya dan Ibukota Jakarta.

Panasnya ibukota di tengah pergerakan mahasiswa masih kalah dengan panas kebakaran hutan di Khatulistiwa. Jika Yang Mulia bisa dengan mudahnya memindahkan ibukota, bagaimana dengan kebakaran di sana, kemanakah api dan asap itu akan dipindah? Atau mungkinkah masyarakatnya yang anda akan pindahkan? Bayangkan jika Ethes harus batuk dan menahan sesak, seperti saudara-saudaranya di Kalimantan dan Riau. Apakah anda rela kehilangan cucu serta putra-putri tunas bangsa, harapan negara di masa depan?

Sudah saatnya anda disadarkan pada kenyataan bahwa memang orang-orang di sekitar anda bukanlah orang yang baik-baik. Orang baik macam apa yang mengurusi hal lain, selain api yang ia telah ciptakan sendiri? Kebakaran hutan kita bukanlah karena negara lain, tapi karena kelalaian para wakil rakyat yang tega mengkhianati bangsa sendiri. Jika kita terlambat, maka tidak akan mungkin Indonesia bisa bangkit dari bencana yang kita ciptakan sendiri!

"Berbeda-beda, kita tetap satu!" kalimat tersebutlah yang menjadi semangat berbangsa dan bernegara Indonesia. Ibaratnya walaupun berbeda-beda ras, agama, dan identitas masyarakat Indonesia, kita sama-sama membenci korupsi, kejahatan paling luar biasa di negara kaya layaknya Indonesia, bukankah begitu, Yang Mulia Presiden? Apakah kemudian anda sepakat, dengan para koruptor itu untuk melonggarkan rantai yang mengikat mereka agar korupsi dapat dilakukan dengan santai?

Lihat saja bagaimana dengan cepatnya mereka, secara bersama-sama menyepakati undang-undang yang menguntungkan koruptor? Harusnya koruptor dihukum mati! Mati! Bukannya dimanja dengan dua tahun liburan di Hotel Prodeo. Tidak mungkin kebijaksanaan anda dapat mengizinkan para koruptor untuk terus hidup bergelimang harta dan malah menuntut gelandangan dan orang sakit jiwa untuk membayar denda! Indonesia tidak boleh diatur oleh hukum-hukum karet yang hanya akan menguntungkan para elit, dan menyudutkan masyarakat kritis serta oposisi pemerintah.

Lima tahun sudah anda memimpin negara, jangan sampai lupa petani di desa! Reformasi Agraria tidak berhenti hanya di sebatas pembagian sertifikat lahan, tapi juga membutuhkan perhatian dari pemegang kekuasaan! Pahlawan Agraria kita sudah berjuang untuk mengisi piring-piring di atas meja dan mulut-mulut yang sama yang merampas lahan mereka. Jika Yang Mulia berkehendak, hendakkanlah keadilan bagi kaum petani dan Marhaen, yang sudah berjuang dan menderita sejak Indonesia merdeka.

Yang Mulia, maafkanlah saya jika terdapat kata yang merendahkan serta merusak nama baik anda yang selalu kami puja. Saya tak ingin untuk ditangkap hingga tak bisa wisuda. Namun ada baiknya jika saya menunjuk orang-orang yang telah berkhianat kepada negara.

Saya menuduh semua anggota DPR RI dan DPRD sebagai pengkianat reformasi yang tega menciptakan undang-undang demi kepentingan elit politik.

Saya menuduh menteri-menteri di kabinet anda sebagai penjahat negara yang tidak memperhatikan rakyat, sebagaimana seharusnya negara mensejahterakaan masyarakatnya.

Saya menuduh para korporat sebagai dalang di balik kebakaran hutan dan krisis lahan tani di Indonesia.

Saya menuduh semua pihak yang meneriakkan "Khilafah" dan/atau menghina saudara kami di Papua adalah pemecah bangsa yang sebenarnya, karena NKRI adalah harga mati!

Saya menuduh partai-partai politik di Indonesia telah berkoalisi untuk melemahkan KPK demi keuntungan mereka sendiri.

Saya menuduh Polisi Indonesia telah mengkhianati rakyat dengan memilih untuk melindungi Dewan Pembual Rakyat dan menghujani rakyat dengan pukulan.

Serta saya juga menuduh pihak-pihak lain yang berusaha untuk menghalangi suara masyarakat Indonesia sebagai penjahat demokrasi.

Demikian tuduhan saya kepada pihak-pihak yang telah secara nyata mengancam demokrasi di negeri ini, serta nyata-nyata telah berusaha dengan cara apapun untuk membungkam kami.

Kami tidak akan berhenti untuk melakukan aksi penolakan terhadap UU dan RUU yang mencederai demokrasi dan reformasi. Apalagi sampai mengancam hak privasi serta keselamatan kami.

Kami tidak akan pernah rela jika masa depan negara ini ada di tangan para pemimpin yang hanya memprioritaskan kepentingan golongan dan mengorbankan kemaslahatan serta kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Jika Indonesia masih negara demokrasi dan Yang Mulia Presiden masih berbesar hati, hendaknyalah Yang Mulia mau untuk mendengarkan tuntutan dari kami atau bersiap untuk melawan bangsa sendiri.

 

Surabaya, 25 September 2019

Atas nama Rakyat Indonesia

I Gusti Agung Ngurah Dicky Harvana


TAG#demonstrasi  #politik  #tokoh-nasional  # 
Rubrik "Surat Pembaca" terbuka untuk siapa saja. Silakan kirim karya Anda dengan melampirkannya ke email redaksi@retorika.id dengan subjek (Surat Pembaca) Nama - Judul Tulisan.