Kamu cinta apa benci sih? Kenapa aku dihina dan dipukul terus? Mungkin kalimat itu terlintas di pikiran perempuan di dunia ini yang mengalami kekerasan dalam hubungan berpacaran maupun hubungan rumah tangga. Tindakan kekerasan ini dapat berupa verbal dan non verbal seperti dicaci maki hingga dipukuli. Bagaimana seorang yang mencintai bisa menyakiti pasangannya sendiri?
retorika.id - Kekerasan merupakan hal lumrah karena dianggap sebagai ‘kewajiban’ pasangan untuk ‘mengajari’ pasangannya hal yang ‘benar’ menurutnya. Kekerasan adalah bentuk rasa ‘sayang’ seorang suami terhadap istrinya. Kok bisa? Perempuan itu diajari yang benar menurut laki-laki karena dengan kekerasan perempuan akan cepat mengerti kesalahannya. Perempuan dianggap milik laki-laki sehingga dapat diperlakukan sesuka hati, apalagi dengan kultur yang terbentuk bahwa posisi laki-laki berada di atas perempuan.
Laki-laki dianggap maskulin dan perempuan dianggap feminin. Hal ini menyebabkan laki-laki dianggap lebih kuat dan gagah, sedangkan perempuan dianggap lemah, sabar, dan lembut. Anggapan ini menunjukkan adanya ketidaksetaraan dan prasangka yang berujung kekerasan oleh laki-laki yang dianggap sebagai pihak yang dominan. Perempuan yang dianggap lemah itu menjadi alasan kenapa perempuan banyak diperlakukan semena-mena.
Kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi, dilansir Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2018, sepanjang tahun 2017 terdapat peningkatan sebanyak 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang pada tahun sebelumnya sebanyak 259.150 kasus. Selain itu, Pengadilan Agama menyebutkan 335.062 kasus kekerasan terhadap istri yang berujung dengan perceraian. Sementara kasus yang ditangani lembaga mitra pengada layanan menunjukkan kekerasan yang terjadi di ranah personal tercatat 13.384 kasus. Jumlah ini hanyalah sebagian angka kecil yang mungkin tidak mewakili jumlah rill kekerasan yang terjadi sebenarnya di masyarakat. Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan, Indraswari, mengatakan kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga terjadi karena masih adanya ketimpangan gender, dengan anggapan laki-laki lebih berkuasa dari perempuan.
Masih banyak perempuan di luar sana yang tidak dapat mengutarakan tindakan kekerasan yang ia alami karena berbagai alasan. Urusan rumah tangga merupakan hal privat, akan memalukan jika terdengar oleh orang lain. Dengan pemikiran itu banyak perempuan yang memilih diam walaupun mereka mengalami tindakan kekerasan. Apalagi sebagian masyarakat masih menganggap bahwa kasus KDRT bukanlah tindakan kejahatan.
Kekerasan dianggap merupakan hal yang lumrah. Pada masyarakat Jawa misalnya masih banyak yang menganut sistem patriarki yang akhirnya meminggirkan posisi perempuan. Perempuan banyak diberikan nasehat-nasehat mengenai kehidupan rumah tangga dan perannya sebagai istri dibandingkan dengan laki-laki. Kenapa bisa begitu? Laki-laki itu kepala rumah tangga yang cenderung akan dominan di dalam rumah tangga, sehingga keputusan rumah tangga adalah hak suami.
Bagaimana kita sebagai perempuan bisa mengatasi hal ini? Bagaimana kita sebagai perempuan dapat melindungi diri dari tindakan kekerasan? Apakah dengan membiarkan semua akan selesai? Jawaban dari pertanyaan tersebut tentu saja dengan melawan semua bentuk kekerasan yang terjadi. Jangan sampai kita menjadi korban selanjutnya dari tindak kekerasan. Orang yang bisa melindungi kita hanya kita sendiri. Kita tidak dapat menunggu bahkan menyuruh orang lain untuk membantu kita ketika kekerasan terjadi. Bahkan walaupun akhirnya kekerasan berujung pada kematian, tidak ada keadilan jika diri sendiri tidak mengusahkan. Jangan mau tunduk pada sistem dan pelaku kekerasan bahkan untuk berdamai pun jangan mau. Banyak kasus kekerasan tetap terjadi walaupun kedua pihak telah berdamai, sebab pelaku tetap memiliki potensi untuk melakukan tindakan kekerasan kembali.
Penulis : Suvia Nisa’
TAG: #aspirasi #budaya #demokrasi #gender