» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Opini
Konstruksi Penindasan Gaya Baru Kaum Perempuan?
19 April 2018 | Opini | Dibaca 2625 kali
Penindasan Gender Post-Modern: Standar Cantik Sebagai Penindasan Kapitalis Foto: Piximus
Stigma perempuan di era pos modern membentuk sebuah konstruksi penindasan gaya baru, dengan menerapkan standar kecantikan bak selebritas. Perempuan akhirnya harus rela melukai diri demi mengikuti standar yang telah terstigma oleh media. Eksistensi perempuan menjadi dibatasi dalam pola yang sama, dengan tren kecantikan yang senantiasa berubah dalam agenda pengerukan modal korporasi dan budaya patriarki.

retorika.id - Perempuan, merupakan sosok manusia yang tak luput dari kata penindasan. Seolah-olah perempuan sudah terbiasa menjadi objek seksualitas yang berkonotasi negatif, dan yang mengherankan masyarakat turut serta melegitimasinya. Dalam konteks tersebut, perempuan tak lepas dari ketidakadilan gender yang disebabkan oleh ikatan sistem patriarki, khususnya masyarakat di wilayah Jawa. Manifestasi ideologi patriarki ini dapat terlihat melalui berbagai praktik dalam kehidupan sehari-hari.

Di era post modern kini banyak bermunculan gerakan feminis yang gencar dalam menyuarakan pemikiran atas kepekaan dalam menganalisis isu ketidakadilan gender, dan tak jarang hingga membentuk opini publik.

Berbagai permasalahan ketidakadilan gender yang dihadapi perempuan pada era post modern ini telah bersinggungan dengan media massa. Media massa menjadi salah satu sarana dalam membentuk opini publik dengan mengonstruksi pemahaman perempuan terhadap memandang konsep tertentu. Perempuan menjadi sasaran utama bagi penindasan melalui hegemoni berbagai kepentingan oleh media massa. Hal ini dikarenakan sistem budaya masyarakat Indonesia yang patriarki turut diboncengi dorongan stimulus iklan-iklan produk kapitalis seperti fashion dan kosmetik yang menawarkan realitas semu. Ironinya, di sisi lain mereka mempunyai pengaruh signifikan terhadap perekonomian negara.

Media massa dengan kemudi kapitalis telah membentuk citra terhadap makna kecantikan yang ideal. Melalui penampilan bintang iklannya, kapitalis menyuguhkan berbagai indikator bagaimana perempuan bisa dianggap cantik maupun


tidak cantik. Konstruksi tersebut melahirkan pemahaman mengenai definisi kecantikan ideal perempuan menjadi seragam, padahal dalam realitasnya setiap perempuan memiliki pesona kecantikannya masing-masing dan itu justru yang membuat mereka menjadi unik. Tetapi, realitas itu dicederai oleh konstruksi produk kapitalis melalui iklan.

Perempuan menjadi kehilangan identitasnya, definisi kecantikan menjadi serupa, hanya dimodifikasi sesuai dengan style masing-masing yang sebenarnya tidak terlalu berbeda jauh.

Konstruksi cantik itu seperti bintang iklan, dan ironinya bintang iklan mayoritas berasal dari kalangan selebritas atau model berkulit putih, yang matanya seperti bulan sabit, bulu matanya lentik, hidungnya mancung, pipinya tirus, tubuhnya langsing, dsb.

Menurut Psikiatri dari Johns Hopkins University School of Medicine, Kay Redfield Jamison menjelaskan perempuan yang cenderung candu terhadap pembelian produk-produk fashion maupun komestik, lagi-lagi dipengaruhi oleh berbagai iklan di media. Sehingga, tidak asing lagi jika perempuan menjadi pangsa pasar kapitalis karena tingkat konsumtivitas yang tinggi.

Jean Baudrillad seorang Sosiolog asal Perancis menyatakan bahwa “Saat kosmetik melapisi wajahmu, saat itulah wajahmu terhapuskan. Wajahmu jadi tiada, yang ada hanyalah kosmetik. Bibirmu tiada, yang ada hanyalah lipstik. Dan kalau kau memainkan lenggak-lenggok idolamu, saat itu lenggak-lenggokmu hilang menguap bersama citra idolamu. Saat itu, dirimu dikuasai oleh sesuatu di luar dirimu untuk menjadi seseorang selain dirimu.”

Dalam konteks ini, perempuan menjadi semakin jauh untuk mengenali identitas dirinya sendiri. Makna kecantikan yang menjadi seragam, membuat perempuan berlomba-lomba untuk mempercantik diri mereka dalam kesemuan dari polesan berbagai produk kecantikan. Perkembangan teknologi juga membantu mengonstruksi kecantikan ideal, dengan cara melahirkan metode ekstrim seperti mengubah bentuk wajah atau bentuk tubuh sekalipun. Hal ini lagi-lagi demi memuaskan kebutuhan akan penghargaan dari orang lain.

Namun yang menjadi pertanyaan saat ini apakah perempuan harus menjadi cantik agar mendapatkan penghargaan dari orang lain? Apakah perempuan yang “tidak cantik” tidak akan mendapat tempat untuk dihargai? Mengapa perempuan rela untuk mengubah dirinya sendiri agar menjadi cantik sesuai dengan ukuran kecantikan yang dipandang oleh masyarakat?

Dalam hal ini, media massa memainkan peran untuk membentuk imajinasi perempuan bahwa kecantikan harus dimiliki oleh setiap perempuan. Sehingga kata cantik yang melekat dalam diri perempuan membuatnya rela untuk menanggung beban materiil dan menanggung betapa sakitnya menjadi cantik. Seperti cara ekstrim melalui operasi plastik dan membeli berbagai produk kecantikan hanya sekadar memenuhi motif menjadi cantik.

Uniknya ketika gerakan-gerakan feminis di era post modern mengembor-gemborkan berbagai isu ketidakadilan dalam relasi gender hingga protes terhadap praktik sistem patriarki, tetapi realitasnya penetrasi media massa dengan stimulus budaya populer, semakin berkembang sebagai “penindas” perempuan. Sehingga hal tersebut memunculkan pertanyaan, siapa yang menguasai dan dikuasai?

Apa ini bisa dinamakan penindasan gaya baru bagi kaum perempuan? Penindasan bukan hanya berdasar menjadikan perempuan sebagai objek seksualitas semata, tetapi juga memposisikan perempuan sebagai budak pasar karena konstruksi kecantikan semu melalui berbagai suguhan tren kecantikan yang harus diikuti jika tidak akan dianggap kuno. Penghargaan orang lain terhadap diri manusia akan berpengaruh terhadap mereka bersikap, sehingga secara tidak langsung hal tersebut mempengaruhi eksistensi individu dalam masyarakat.

Perempuan terpaksa dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, perempuan yang tidak peduli jika masyarakat melabel dirinya kuno karena tidak menerapkan konsep kecantikan yang ideal. Kedua, perempuan rela menghadapi beban materiil maupun non materiil agar bisa tampil cantik dan menunjukkan eksistensi dirinya, meskipun makna cantik terhadap dirinya sendiri bersifat subjektif.

Penindasan gaya baru ini pada akhirnya akan menimbulkan luka, karena bagaimana pun perempuan berusaha mengikuti tren kecantikan yang terus berubah dan dipaksa untuk mengikutinya.

Definisi kecantikan akan terus direproduksi dalam pola-pola yang dikehendaki kapitalis. Jadi, apakah perempuan akan terus memperjuangkan jeratan patriarki, tetapi semakin terjerat roda kapitalis yang berbelit-belit? Kurasa perempuan yang berusaha menjadi “cantik” sama saja berusaha untuk terluka, entah melukai jati dirinya sendiri atau dirinya dalam kesemuan.

 

Penulis : Irma Ayu Sofyani


TAG#aspirasi  #gender  #humaniora  #satire