
Buntut demonstrasi selama akhir Agustus hingga September 2025, aparat kepolisian banyak melakukan penangkapan dan penahanan massa aksi. KontraS Surabaya menyampaikan temuan jumlah orang yang menjadi korban penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, juga kekerasan oleh aparat yang bertugas. KontraS Surabaya mendesak kepolisian, pemerintah, serta lembaga independen untuk bergerak mengawasi dan mengatasi kasus ini.
Retorika.id - Selasa (23/9/2025), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya menggelar konferensi pers yang mengungkap penangkapan sewenang-wenang dan penganiayaan oleh aparat kepolisian selama demonstrasi 29–30 Agustus 2025 di Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Penangkapan ini oleh KontraS Surabaya selanjutnya disebut sebagai “Razia Agustus” yang merujuk pada operasi represif berskala besar dan ditandai dengan penangkapan massa, penggunaan kekuatan berlebih, kriminalisasi sistematik, serta pembatasan bantuan hukum.
KontraS Surabaya mencatat terjadi penangkapan di tujuh kota/kabupaten, yakni Surabaya, Blitar, Kediri, Madiun, Malang, Sidoarjo, dan Jember. Sepanjang 29 Agustus hingga pertengahan September 2025, berdasarkan hasil pantauan KontraS Surabaya, sebanyak 865 orang ditangkap dengan penangkapan terbanyak oleh Polrestabes Surabaya (319 penangkapan) dan penahanan tertinggi oleh Polres Kediri Kota (49 orang dijadikan tersangka). Dari jumlah tersebut, sebanyak 209 orang ditetapkan sebagai tersangka dan 79 di antaranya merupakan anak di bawah umur. Dari 79 anak ini, hanya 24 orang yang dibebaskan dengan mekanisme wajib laporan, sedangkan 48 anak lainnya ditahan dan diproses secara hukum.
KontraS Surabaya menambahkan bahwa ada perbedaan tajam atas perlakuan antarpolres terhadap massa yang mereka tangkap. Contohnya, di Blitar, Malang, dan Jember lebih banyak dikenakan wajib lapor bagi massa yang masih tergolong anak di bawah umur. Sedangkan di Surabaya, Sidoarjo, dan Kediri sebagian anak dipulangkan, namun sebagian lain diperlakukan seperti orang dewasa. KontraS Surabaya melihat ini sebagai absennya standar operasional yang seragam dan lemahnya komando serta pengawasan dari Kepolisian Daerah Jawa Timur.
Pembatasan akses bantuan hukum juga ditemukan
dengan dalih perintah dari pimpinan. Massa yang ditangkap diintimidasi untuk menolak opsi bantuan hukum independen dan penasihat hukum ditunjuk secara sepihak oleh polisi tanpa koordinasi maupun persetujuan keluarga. Padahal, sifat dari bantuan hukum adalah tawaran bukan keharusan apalagi paksaan. Selain itu, ditemukan pula kriminalisasi berlapis. Ada 8 pasal pidana berat yang digunakan, termasuk pasal-pasal untuk perlawanan terhadap pejabat (KUHP 212, 214), perusakan properti (KUHP 406), pencurian (KUHP 362, 363), penghasutan (KUHP 160), kekerasan publik (KUHP 170), pembakaran (KUHP 187), dan kepemilikan senjata ilegal (UU Darurat 12/1951). KUHP pasal 187 memungkinkan pidana seumur hidup dan UU Darurat No. 12 Tahun 1951 memungkinkan pidana penjara maksimal 20 tahun, pidana seumur hidup atau pidana mati.
“Penggunaan pasal-pasal pidana secara berlapis ini mencerminkan adanya over-kriminalisasi, yakni proses pemidanaan berlebihan dan penggunaan hukum sebagai alat represi bukan sebagai alat penegak keadilan,” ujar Zaldi Maulana selaku kepala biro kampanye HAM KontraS Surabaya.
Dalam press conference ini, KontraS Surabaya menampilkan kesaksian korban kekerasan aparat sepanjang Razia Agustus dalam bentuk video dokumenter. Warno (17 tahun) dan Warni (19 tahun)—keduanya nama samaran—mengaku ketika dan setelah mereka ditangkap, para korban diteriaki, dipiting, dipukuli, ditendang, diinjak-injak, dicekik, dipecut dengan selang, kayu, atau sabuk, hingga digunduli oleh aparat kepolisian. Korban juga mengaku mereka disuruh berbagi air dan makanan dengan 100 orang. Mereka juga dipaksa memakan ayam meski hanya tersisa tulangnya saja dan diancam dipukul bila menolak. Korban mengatakan tidak diperbolehkan tidur dan jika ketahuan akan langsung kena pukul.
Sebelum digiring ke Reskrim, mereka diminta untuk melepas baju, berjongkok, lalu dijemur di bawah terik sinar matahari sembari dimintai keterangan soal identitas. Ketika di Reskrim, para korban dipaksa berjalan jongkok dari lantai satu sampai lantai empat, jika kaki kelihatan lurus sedikit saja mereka akan ditendang/dipukul. Kekerasan, penyiksaan, dan penganiayaan ini masih berlanjut ketika proses penyelidikan. Pemukulan menggunakan tongkat diduga kuat oleh korban dilakukan oleh penyidik atau anggota dengan jabatan yang lebih tinggi karena pelaku tidak mengenakan seragam melainkan atasan batik yang rapi. Tidak berhenti di situ, pelecehan seksual juga terjadi. Korban bercerita, ketika tes urin, mereka diminta untuk saling memberikan balsam di alat kelamin secara bergantian.
Dalam video, korban mengaku ketika ditangkap motornya masih dalam kondisi yang baik. Namun, ketika sudah dibebaskan, korban menemukan motornya dalam kondisi rusak. Barang-barang pribadi juga hilang, yakni dompet yang berisi STNK, uang, kartu ATM, dan kartu identitas. KontraS Surabaya memaparkan bahwa ada beberapa korban yang meski sudah dibebaskan, lebih dari satu bulan ini barang pribadi seperti HP masih ditahan tanpa alasan yang jelas oleh Polrestabes Surabaya. Hal ini tentu merugikan korban apalagi untuk anak-anak, menghalangi mereka untuk bersekolah atau mengikuti ujian.
“Karena anak di bawah umur ya, mereka masih pelajar, masih SMK dan SMA, mereka harus melaksanakan ujian dan terpaksa mereka tidak bisa melaksanakan ujian,” papar Zaldi.
Selain itu, buku-buku yang bertemakan filsafat, teori kritis, marxisme, anarkisme disita oleh aparat dengan dalih sebagai barang bukti. Buku-buku tersebut dikaitkan dengan upaya penghasutan. Menurut KontraS Surabaya, hal ini melanggar kebebasan berpikir dan kebebasan akademik. Orang dihukum bukan karena tindakannya, melainkan karena apa yang ia baca.
“Ada mahasiswa atau siswa atau ya orang sipil biasa yang tidak ikut dalam aksi, yang tidak ikut dalam kerusuhan, yang tidak keluar rumah pada saat aksi itu terjadi, namun mereka ditangkap. Nah ini aparat kepolisian menjadikan buku-buku literatur sebagai barang bukti,” papar Zaldi.
Berdasarkan laporan yang diterima dan temuan di lapangan, KontraS Surabaya melihat aparat kepolisian dalam pelaksanaan tugasnya telah bertentangan dengan hukum nasional (UUD 1945, KUHAP, UU SPPA, UU HAM, UU Advokat, Perkapolri No. 8/2009) dan hukum internasional baik yang mengikat (ICCPR, CRC, CAT) maupun yang tidak mengikat (Basic Principles on the Role of Lawyers, Bangkok Rules, Mandela Rules).
“Tindakan penggundulan, tindakan penyiksaan itu kan jelas-jelas melanggar martabat manusia. Artinya bahwa, konsep hukum Indonesia itu kan menganut asas praduga tak bersalah. Sehingga anak-anak ditangkap digunduli, itu kan seolah-olah mindset, bahwa anak ini bersalah gitu lo,” jelas Fatkhul Khoir selaku koordinator dan pendamping hukum KontraS Surabaya.
KontraS Surabaya mendesak kepolisian untuk menghentikan penangkapan massal, membebaskan seluruh tahanan, menghormati hak untuk memilih penasehat hukum independen, dan menghentikan narasi kriminalisasi anarkisme. Tidak hanya itu, KontraS Surabaya meminta pemerintah untuk menegakkan UU SPPA dan prinsip diversi bagi anak, mendesak lembaga independen (Komnas HAM, KPAI, Ombudsman) untuk melakukan investigasi dan menjalankan fungsi serta mandat HAM, juga meminta PBB untuk menjadikan kasus ini sebagai indikator lemahnya implementasi ICCPR, CRC, dan CAT di Indonesia.
Penulis: Afi Khoirunnisa
Editor: Claudya Liana M.
TAG: #demokrasi #demonstrasi # #