» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Pop Culture
Resensi Film Der Untergang (Downfall)
10 April 2017 | Pop Culture | Dibaca 8822 kali
Sekejam apapun seorang manusia, tetaplah memiliki sisi humanis. Begitulah sepenggal pesan yang disuguhkan oleh Film Der Untergang (Downfall), yang berlatar pada "era" Nazi ini.

retorika.id - Der Untergang / Downfall merupakan film yang telah dirilis pada 16 September 2004 di Jerman dan 17 September 2004 di Austria. Film yang disutradarai oleh Oliver Hirschbieg ini telah memperoleh beberapa penghargaan bergengsi, seperti Bambi Awards (2004), Academy Award Nominee(2005), Bavarian Film Awards (2005) sebagai kategori Best Production dan Best Actor untuk Bruno Ganz yang memerankan Adolf Hitler, serta beberapa penghargaan lainya.

Dalam film tersebut, Bruno Ganz berkesempatan menjadi tokoh utama untuk memerankan Adolf Hitler. Selanjutnya, Alexandra Maria Lara memerankan Traudl Junge (sekretaris pribadi Hitler), Corinna Harfouch (istri Joseph Goebbels), Juliane Kohler (Eva Braun),Ulrich Noethen (Heinrich Himmler) dan Thommas Kretcshmann (adik ipar Eva Braun, Hermann Fegelein).

Film Der Untergang ini sangat direkomendasikan bagi pembaca yang memiliki ketertarikan dalam sejarah perang dunia 2. Berbagai film  yang berkisah tentang masa perang dunia 2 memang banyak, seperti: 


Saving Private Ryan" (1998), “Days of Glory"'(2006) , “Valkryie(2008)” atau bahkan film yang baru saja rilis tahun lalu dan mendapat banyak penghargaan yaitu“Hacksaw Ridge(2016)”. Tentunya semua film tersebut sangat bagus, namun semuanya seakan memiliki sudut pandang oposisi yang melihat Nazi bak iblis dan bukan manusia.

Dalam film Der Untergang ini, kita seakan diposisikan dalam dilema untuk menilai seorang yang kejam sekali pun tetaplah manusia. Satu sisi, kita merasa bahwa kekejaman Hitler dan Nazi bukanlah sesuatu yang dapat diterima. Namun di sisi yang lain, jiwa humanis kita tersentuh melihat bagaimana sang Fuhrer kehilangan semua harapan dan impianya.

Film ini dibuat  berdasarkan tulisan pengalaman pribadi orang orang yang pernah ada di “Fuhrer inner circle” seperti memoir Traudl Junge yang berjudul “Until The Last Hour: Hitlers Last Secretary” (1947) ,memoir dari arsitek dan sekaligus orang yang  dekat dengan Fuhrer yaitu Albert Speer yang berjudul “Inside The Third Reich(1967)” dan sejarawan Joachim Fest dengan bukunya “Inside Hitler’s Bunker: The Last Day of the Third Reich(1945)”.

Ada banyak hal yang membuat saya cukup kagum dengan film ini. Pertama, kemampuan cerita film ini mampu ‘menyiratkan’ rasa kebanggaan atau pride yang dimiliki anggota Nazi terasa kental. Kebanggaan yang tetap ada walaupun Jerman telah kalah dan menunggu waktu hingga tantara Soviet datang. Kedua, walaupun set film ini hanya berkisah di sekitar Fuhrerbunker dan jantung kota Berlin,tidak terdapat rasa ‘hampa’. Padahal biasanya film yang menggunakan sedikit set cenderung agak terasa ‘hampa’ dan mengganjal. Ketiga, kemampuan aktor dalam memerankan perannya sangat memukau. Bruno Ganz misalnya, ia mampu meniru semua gaya, pose bahkan suara Hitler ketika berbicara dengan suara rendah. Keempat, kemampuan menggugah emosi penontonya melalui detail-detail suasana yang disuguhkan, seperti: reruntuhan bangunan bahkan musik Blutrote Rosen karya Max Mensing yang menjadi favorit Hitler dan Eva.

Di balik kesempurnaan yang membuat penontonnya terpukau, ada pula sedikit kekurangan dalam film ini. Hal ini bisa dilihat pada adegan ketika Fuhrer memutuskan untuk membunuh anjing german sheperd kesayanganya,Blondi dengan kapsul sianida. Ketika  memasukan kapsul kedalam mulut Blondi,terlihat jika kapsul tersebut tidak dimasukan kedalam mulutnya namun tetap berada di tempatnya. Jika tadi penulis mengatakan bahwa setting bangunan sangat mirip dengan aslinya, maka ada hal yang sedikit mengganggu ketika setting ruangan tersebut terkadang nampak palsu.

Lalu kesimpulannya, apakah penulis menyarankan Anda menonton film ini? Apakah worth it? Jawabanya, iya. Karena film ini mampu membuka pikiran kita bahwa sekejam apapun manusia tetaplah manusia. Pada akhirnya tirani dan ironi akan kalah seiring waktu,penyesalan akan datang dan kebahagiaan akan lahir.

Penulis : Fajar Efraim

Editor : Choir


TAG#film  #lpm-retorika  #pemerintahan  #politik