Film “Kiblat†dikritik karena penghinaan simbol agama. Namun, sebenarnya penggunaan simbol agama sangat sering diterapkan di berbagai film Indonesia hingga tak ubahnya menjadi komodifikasi agama. Namun, dewasa ini komodifikasi agama di film horor mulai dikritik dan mengalami pergeseran.
Retorika.id - Baru-baru ini salah satu film horor Indonesia, Kiblat mendapat berbagai kritikan di media sosial. Pasalnya netizen, poster Kiblat dianggap menghina simbol islam dan mengancam akan memberi konotasi buruk bagi penonton khususnya penonton muslim dalam menjalankan ibadah.
“Sama sekali tidak mendidik, bahkan membuat sebagian orang jadi takut salat...dulu kejadian yg sama terjadi pada sekuel film makmum, khanzab dst.” tulis Hilmi Firdausi, salah satu tokoh agama islam di akun Instagramnya. Sebenarnya, peran agama, khususnya Islam bukanlah hal yang baru di perfilman horor Indonesia.
Film horor selalu menjadi genre film paling disukai di masyarakat Indonesia bahkan sejak orde baru. Terbukti, film terlaris sepanjang masa di Indonesia ditempati film horor di urutan pertama, yaitu KKN Desa Penari, disusul oleh Pengabdi Setan 2 di posisi
keempat, dan Sewu Dino di posisi kedelapan.
Laku kerasnya Film Horor di dunia perfilman Indonesia bukan tanpa alasan, Film horor memainkan sisi takut dan cemas sebagai senjata penarik penontonnya. Mungkin memang terdengar aneh bagaimana sesuatu yang membawa ketakutan, kegelisahan, bahkan trauma malah menjadi rahasia dibalik laku kerasnya produk film. Namun hal itu bisa dijelaskan lewat teori psikoanalisis Sigmund Freud.
Menurut psikoanalisis Freud, manusia memiliki alam sadar, pra-sadar, dan bawah sadar. Alam bawah sadar menempati sebagian besar pikiran manusia. Alam bawah sadar berisi hasrat, insting, nafsu, dan hal lain yang menjadi sumber motivasi perilaku manusia. Dalam konteks ini, kita harus menyadari bahwa hal-hal mistis sudah lekat di kehidupan masyarakat sehingga masyarakat mempercayai keberadaan makhluk mistis. Kepercayaan itulah yang menumbuhkan keingintahuan sekaligus ketakutan. Film horor menjadi pintu bagi mereka untuk melihat realitas yang tumbuh dari alam bawah sadar.
Agama juga menjadi salah satu bagian dari alam bawah sadar masyarakat. Agama digambarkan sebagai ‘sang penyelamat’ atau simbol kebaikan yang menjadi kunci di tahap puncak resolusi sebuah film horor. Begitu seringnya peran agama hadir di film horor sehingga simbol-simbol agama tiba di titik komodifikasi agama.
Komodifikasi agama adalah upaya menjadikan simbol-simbol dan aspek keagamaan sebagai komoditas untuk dikomersialisasikan. Nilai agama memiliki nilai jual di banyak bidang, salah satunya perfilman. Terbukti film-film yang memasukkan unsur-unsur keagamaan seperti Sijjin, Qodrat, dan Makmum yang bahkan meraih rekor MURI karena dapat menarik 1 juta penonton di kala pandemi COVID19. Angka-angka tersebut sudah menunjukkan betapa lakunya isu agama dan horor jika dipadukan dalam suatu karya.
Namun, adaptasi film horor dengan mengkomodifikasikan simbol-simbol agama dalam era sekarang perlu dikoreksi. Walaupun tema yang dibawakan umumnya laku di pasaran, namun ide lama seperti ini selain tak etis, juga kalah dengan konsep film horor modern. Dalam Pengabdi Setan misalnya, Joko Anwar berhasil mematahkan si agamis yang menjadi penyelamat seakan tak berdaya di sosok iblis yang sangat kuat, atau Danur yang bahkan tidak memasukkan sisi agamis didalamnya, dan menumbuhkan sosok protagonis yang mandiri. Ide-ide baru inilah yang seharusnya diadaptasi demi memberi angin segar dalam perfilman Indonesia. Karena, sesungguhnya industri kreatif seperti perfilman adalah industri yang dinamis sehingga seharusnya faktor-faktor ini perlu dipertimbangkan oleh para pencipta film horor di Indonesia.
Penulis : Anisa Eka Febrianti
Editor : Vanyadhita Iglian
TAG: #film #review # #