» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Mild Report
Ironi Pelecehan Seksual di Tengah Keluarga
30 April 2021 | Mild Report | Dibaca 2688 kali
Ironi Pelecehan Seksual di Tengah Keluarga: Sumber: Foto: Tirto.id
Keluarga diharapkan menjadi tempat yang memberikan kehangatan, perlindungan dan pengayoman bagi anggotanya. Nyatanya, keluarga juga dapat memberikan ancaman. Ancaman tersebut salah satunya tercermin dari ratusan kasus pelecehan seksual yang menimpa perempuan Indonesia setiap tahun. Ironisnya, pelecehan seksual yang berujung pemerkosaan inses paling banyak dilakukan oleh ayah biologis. Tak mudah bagi korban untuk bersuara lantang menuntut hukum karena berbagai tantangan yang menghadang.

retorika.id-Miris, ironis, dan sungguh tragis. Demikianlah yang penulis rasakan saat melihat cuplikan video yang dirilis oleh BBC News Indonesia melalui kanal YouTube-nya dengan judul “Saya Ingin Anak Saya Melupakan Bapaknya: Derita Balita Diperkosa Ayah Kandung” pada 16 Maret lalu.

Video yang durasinya kurang dari 10 menit tersebut mengekspos penyintas korban pelecehan yang terjadi dalam lingkup keluarga. Korban adalah seorang balita perempuan yang diperkosa oleh ayah kandungnya sendiri. Kejadian tersebut terjadi pada Agustus 2020 lalu.

Kejadian ini hanyalah satu diantara ratusan kasus yang berhasil terungkap di permukaan karena terdapat berbagai tantangan yang dihadapi korban saat pengaduan hukum.

Keluarga Tak Menjamin Keamanan

Dikutip dari BBC News Indonesia, kasus pelecehan seksual oleh ayah kandung menimpa bocah bernama Lili (nama samaran). Berawal dari sang ayah yang merupakan pelaku saat pulang ke rumah dari Jakarta setelah sekian lama. Ia meminta izin Magnolia (ibu korban, nama samaran) untuk menemui anak-anaknya.

Kala itu hubungan suami istri tersebut diambang perceraian. Magnolia merasa sulit untuk mengiyakan permintaan suami. Rengekan Lili yang ingin pergi dengan ayahnya membuat Magnolia cair dan akhirnya memperbolehkannya tinggal semalam di kontrakan ayahnya bersama saudara-saudara yang lain.

Kejadian dimulai kala sore tiba saat Lili dipanggil ayahnya untuk mandi. Pelaku memandikan Lili dan membersihkan alat genital Lili secara kasar hingga ia kesakitan. Malam harinya, pelecehan seksual itupun menimpa Lili saat pelaku tidur bersama Lili dan saudara-saudara lainnya.

Keesokan harinya, Lili merengek kesakitan pada bagian genitalnya saat ia telah bersama ibunya kembali. Hingga Lili secara polos mengatakan bahwa Bapaknya lah yang melakukan perbuatan bejat tersebut. 

Ayah yang diharapkan sebagai pelindung dan pengayom malah menjadi sosok monster yang merenggut keamanan anaknya sendiri.

Kejadian tersebut mewakili dari ratusan kasus pelecehan seksual dalam lingkup keluarga yang berhasil terungkap. Kasus pelecehan seksual seperti  ini disebut sebagai pemerkosaan inses karena pelaku merupakan keluarga korban.

Tingkat Pemerkosaan Inses di Indonesia

Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang dikutip dari databoks.katadata.co.id, menunjukkan bahwa pelaku kekerasan seksual banyak yang berasal dari keluarga. Data tersebut disajikan dalam bentuk


diagram oleh Komnas Perempuan pada bulan Maret 2019.

Fakta miris bahwa ayah biologis menempati urutan kedua dengan jumlah kasus hampir menyentuh angka 400 setelah pacar di urutan pertama dengan jumlah 1.600 kasus.  Selanjutnya, di urutan ketiga ada paman yang masih bagian dari keluarga dengan jumlah kasus yang tidak berbeda jauh dengan sebelumnya.

Ternyata suami, ayah tiri, saudara atau kerabat, sepupu, kakak ipar, kakak kandung, serta kakek termasuk dalam orang-orang yang pernah melakukan kekerasan seksual terhadap anggota keluarga perempuan di keluarga mereka sendiri.

Komnas Perempuan pada 2019 juga melakukan kategorisasi kasus kekerasan terhadap anak perempuan. Hasilnya sekali lagi membuat geleng kepala, kasus inses menempati posisi tertinggi sejumlah 770 kasus, disusul oleh 571 kasus kekerasan seksual, 536 kasus kekerasan fisik, 319 kasus kekerasan psikis, dan 145 kasus kekerasan ekonomi.

Berdasarkan penelitian Amanda dan Hetty Krisnani (2019) dalam Jurnal Pekerjaan Sosial, didapatkan data bahwa rentang usia korban mulai dari 3-18 tahun. Korban dengan usia 14-15 tahun memiliki frekuensi tertinggi.

Dampak Psikologis Korban

Magnolia bercerita secara kelu kepada awak media BBC News Indonesia mengenai perubahan perilaku pada putri kecilnya setelah peristiwa naas itu.

“Cenderung sekarang itu jadi pendiam. Tadinya dia ceriwis, ceria begitu. Sekarang, setelah kejadian ini, lihat orang lain dia takut”, ungkapnya miris.

Depresi dan cemas yang berkepanjangan terjadi pada korban kekerasan seksual. Gangguan tersebut ditandai dengan rasa khawatir berlebih disertai was-was akibat peristiwa buruk yang dialami korban. Depresi dan kecemasan tersebut sulit untuk dikendalikan sehingga dapat mengganggu aktivitas korban.

Pada gangguan ini, penderitanya terbayang-bayang akan kejadian kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Tidak hanya sekali atau dua kali, melainkan secara terus menerus. Biasanya ditandai dengan mimpi buruk dan berusaha menghindari segala sesuatu yang dapat membangkitkan ingatan tentang kejadian buruk tersebut.

Pada kasus anak-anak mereka akan terancam menjadi seseorang yang rendah diri ketika beranjak dewasa, permasalahan hubungan interpersonal, gangguan mental lainnya hingga disfungsi seksual.

Perlu adanya tahap rehabilitasi berupa psikoterapi untuk memulihkan kesehatan mental dari korban. Namun, lagi-lagi ini merupakan suatu langkah yang tidak mudah dicapai apalagi kasus pemerkosaan inses sendiri banyak terjadi pada keluarga dengan tingkat ekonomi dan pendidikan rendah sehingga korban akan kesulitan mengakses fasilitas rehabilitasi

Ciput Eka Purwianti selaku Asisten Deputi Pelayanan Anak KPPPA menuturkan pada BBC News Indonesia bahwa pemerintah daerah tidak memprioritaskan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak sehingga berpengaruh terhadap dana anggaran yang tidak besar. Akibatnya, dana untuk rehabilitasi nihil karena hanya cukup untuk mendanai proses pengaduan dan penjangkauan.

Pengaruh Patriarki: Tantangan Korban dalam Pengaduan Hukum

Penelitian Bagong Suyanto yang dikutip dari The Conversation.com mengungkap bahwa pemerkosaan inses di Indonesia paling banyak dilakukan oleh ayah biologis dan ayah tiri. Hasil ini menunjukkan adanya degradasi moral yang serius dan tidak boleh dianggap abai karena dari keluargalah kualitas SDM pertama-tama dibentuk.

Tidak semua korban pelecehan seksual semacam ini berani untuk melaporkan atau menceritakan kejadian yang dialaminya. Sebagian besar korban lebih memilih untuk diam karena takut akan berbagai risiko yang diterima. Kebanyakan kasus inses tidak terungkap karena tersimpan rapat-rapat agar tidak terbongkar di muka umum sebagai aib yang memalukan.

Alasan lain adalah orientasi patriarkis yang masih kuat, misalnya ketidakberdayaan ibu dalam dominasi suaminya atau dalam hal ini adalah ketergantungan secara ekonomi pada suami yang mencari nafkah.

Bagong Suyanto menjelaskan bahwa orientasi patriarkis tersebut juga tampak pada posisi ibu yang tersubordinasi sehingga tidak bisa melindungi anak perempuannya dari tindak aniaya seksual yang dilakukan anggota keluarga lain terutama ayah korban.

Analisis Bagong Suyanto pun mengungkap bahwa dari kebanyakan kasus yang menjadi objek penelitiannya, sosok ibu sebelumnya sudah mengetahui bahwa anaknya menjadi korban kejahatan seksual. Lagi-lagi mereka bungkam karena takut pada ancaman suami. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi mereka dalam pengaduan hukum.

Magnolia, dalam proses pengaduan hukum cenderung bersikap tegas meskipun ia mendapatkan cemooh dari keluarga pelaku agar aib seperti ini diselesaikan secara kekeluargaan saja. Ia bahkan sempat tidak dipercayai oleh masyarakat sekitar yang menganggap kasus tersebut hoaks.

Tapi saya tetap tidak mengikuti omongan mereka, makanya sekarang mereka (keluarga pelaku) jadi benci sama saya, tidak mau anggap keluarga lagi. Saya juga tidak masalah sih!”, ungkapnya pada BBC News Indonesia.

Sikap tegas seperti Magnolia harus dikembangkan dengan pemberdayaan perempuan maupun anak misalnya melalui organisasi sosial kemasyarakatan mulai dari tingkat lokal.

Tentunya didukung oleh advokasi hukum yang jelas dan menyeluruh pada pembinaan dan pengembalian hak-hak korban. Misalnya harus ada penyegeraan pemerintah untuk mengesahkan RUU PKS yang mencakup pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga mengatur tentang penanganan selama proses hukum.

 

Penulis: Uyun Lissa & Edsa Putri

Editor: Kadek Putri Maharani

Referensi

Amanda & Hetty Krisnani. 2019. Analisis Kasus Anak Perempuan Korban Pemerkosaan Inses. Jurnal Pekerjaan Sosial Vol. 2 (1). Hal. 120-136. http://jurnal.unpad.ac.id, diakses pada 17 Maret 2021.

BBC News Indonesia. Saya ingin anak saya melupakan bapaknya: Derita balita diperkosa ayah kandung. Diunggah pada 16 Maret 2021. https://youtu.be/_ipgliRz3-M ,diakses pada 27 Maret 2021.

Jayani, Dwi Hadya. 2019. “Siapa Pelaku Kekerasan Seksual di Dalam Keluarga dan Relasi Personal?” dalam https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/18/siapa-pelaku-kekerasan-seksual-di-dalam-keluarga-dan-relasi-personal#

Mashabi, Sania. 2020. “Kementerian PPPA: Sejak Januari hingga Juli 2020 Ada 2.556 Anak Korban Kekerasan Seksual” dalam https://nasional.kompas.com/read/2020/08/24/11125231/kementerian-pppa-sejak-januari-hingga-juli-2020-ada-2556-anak-korban#:~:text=JAKARTA%2C%20KOMPAS.com%20%2D%20Deputi,kekerasan%20pada%20anak%20di%20Indonesia

Ramadhani, Yulaika. 2017 . Seluk Beluk Kejahatan Seksual Inses. https://tirto.id/seluk-beluk-kejahatan-seksual-inses-cuzf ,diakses pada 29 April 2021.

Suyanto, Bagong. 2020. Mengapa Korban Perkosaan Sedarah Sulit Melapor dan Keluar Dari Tindakan Kekerasan. https://theconversation.com/mengapa-korban-perkosaan-sedarah-sulit-melapor-dan-keluar-dari-tindakan-kekerasan-132589 ,diakses pada 29 April 2021.


TAG#gender  #kisah  #  #