» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Pop Culture
Pejuang Cita-cita Harus Baca Novel Guru Aini
30 Juni 2020 | Pop Culture | Dibaca 3335 kali
Resume: Novel "Guru Aini" Foto: Akun Instagram @bentangpustaka
Andrea Hirata yang berhasil meraih debutnya dari novel Laskar Pelangi, sampai saat ini masih menulis karya yang menginspirasi banyak orang. Tak tanggung-tanggung, Andrea bahkan melakukan riset selama dua tahun untuk menggarap novel Guru Aini, dan menuangkannya ke dalam bentuk cerita hanya selama dua minggu. Buku yang sangat inspiratif ini dapat dihayati oleh pembaca karena banyak pesan moral di dalamnya. Terutama bagi mereka yang sedang berjuang atau mempertahankan mimpinya. Tidak salah memang jika novel ini menjadi best seller pada tahun 2020.

retorika.id- “Konon, berdasarkan penelitian antah berantah, umumnya idealisme anak muda baru tamat dari perguruan tinggi bertahan paling lama 4 bulan. Setelah itu mereka akan menjadi pengeluh, penggerutu, dan penyalah seperti banyak orang lainnya, lalu secara menyedihkan tersesat arus deras sungai besar rutinitas dan basa-basi birokrasi, lalu tunduk patuh pada sistem yang buruk.” Begitulah secuplik kalimat yang ada dalam novel Guru Aini karya Andrea Hirata.

Novel Guru Aini merupakan prekuel atau awalan dari buku sebelumnya, yakni kisah novel Orang-Orang Biasa (OOB) yang terbit tahun 2019. Andrea Hirata yang akrab dipanggil Pak Cik ini menceritakan seorang guru bernama Desi Istiqomah yang memiliki obsesi dan idealisme besar untuk menemukan seorang murid genius matematika bahkan di daerah pelosok sekalipun.

Kegigihan Desi menjadi guru dapat dilihat dari awal cerita hingga akhir cerita. Di mana Andrea menjelaskan tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh Desi yang punya ambisi menjadi guru. Mulai dari pertentangan orang tua karena ia bisa saja dikirim ke pelosok untuk mengabdi, belum lagi menjadi guru honorer selama bertahun-tahun dan tidak diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tentu hal ini juga berdampak pada kesejahteraan hidup Desi yang mendapat gaji rendah. Bahkan, semasa menjalani pendidikan menjadi guru, tantangan tersebut juga hadir untuk menggoyahkan idealismenya, di mana banyak dari teman-temannya yang tumbang dan memilih mengubah haluan cita-citanya untuk tidak menjadi guru.

Desi sendiri merumuskan definisi idealismenya menjadi persamaan garis lurus, x1: pendidikan, x2: kecerdasan, dan yang paling menarik perhatian adalah konstanta atau a: pengorbanan. “Pengorbanan memerlukan pengorbanan, Bu. Pengorbanan itu nilai tetap, konstan, tak boleh berubah,” ucap Desi untuk meyakinkan Ibu dan Gurunya yang ada di sekolah dulu. Sedangkan ayahnya adalah sosok yang selalu mendukung cita-cita Desi.

Tantangan Desi terus berlanjut saat dia telah berhasil menempuh pendidikannya dengan status Cum Laude. Ia pun memperoleh hak istimewa untuk memilih tempat yang ia akan ajar. Namun, hal tersebut ditolak Desi dan tetap mengikuti undian bersama teman-teman selainnya. Keberuntungan berada di pihak Desi karena dirinya


memperoleh tempat yang dirasa cukup ‘bagus’ bagi Desi dan teman-temannya. Tetapi kenyataan itu sekali lagi harus ditukar dengan pengorbanan.

Pada akhirnya ia harus menempuh perjalanan selama enam hari enam malam, dengan peluh keringat naik bus, rasa mual karena perahu, bau tak sedap dari angkot, hingga perahu kecil untuk tiba di tempat tujuan. Dalam perjalanan tersebut Andrea juga menceritakan watak kearifan lokal dari warga kampung yang ditemui Desi, tentang rasa empati dan penghargaan dirinya karena berstatus guru. Betapa guru sangat dihargai atas jasanya.

Tidak berhenti sampai disitu, saat ia mulai mengajar, ambisinya untuk mencari murid yang genius matematika sempat mengalami kegagalan dalam prosesnya. Ia sempat putus asa karena mata pelajaran matematika sendiri sudah menjadi momok menakutkan seantero negeri. Bisa dibayangkan, betapa susahnya mencari anak super genius yang diidamkan Desi. Sampai akhirnya ia bertemu Aini. Gadis remaja yang bercita-cita menjadi dokter, tetapi sangat lamban menerima semua mata pelajaran, termasuk matematika, yang bahkan bisa membuatnya sakit perut dan selalu mendapat nilai ulangan matematika seperti bilangan biner, 1 0 1 0 yang dipakai dalam bahasa komputer.

Kalau tidak dapat angka 0, ya pasti 1, hasil dari ia menjawab 10 soal. Namun, untuk menjawab hasil tersebut ia memang tidak menyontek. Bukan karena ia jujur, tetapi karena sangking gelapnya pengetahuan yang ia miliki, hingga tak tahu cara mencontek. Mungkin hal itu adalah penyakit keturunan, karena ibu Aini sendiri, Dinah yang merupakan anggota Gerombolan 9 (diceritakan dalam novel Orang-orang biasa), yang juga murid ibu Desi sebelumnya mengalami hal serupa seperti anaknya.

Sebenarnya, sebelum bertemu Aini. Desi pernah menemukan seorang genius yang diimpikannya. Ia adalah Debut, teman ibu Aini. Namun, karena sikap Debut, Guru Desi sangat merasa kecewa sampai ia berkata pada Guru Laila, sahabat karibnya. Memintarkan seorang murid cukup untuk membuat batin seorang guru tertekan, namun murid yang sudah pintar dan mengabaikan kepintarannya, akan memukul perasaan seorang guru dengan kegetiran yang tak dapat dimengerti siapapun.” (halaman 66).

Hingga sampailah perjuangannya untuk mengajar Aini yang sangat ingin menjadi dokter karena ayahnya yang sedang sakit parah. Meski banyak usahanya yang gagal untuk mengajar Aini yang sangat lamban, ia akhirnya menemukan cara ‘kalkulus’ dan menjadikan Aini sosok yang cerdas. Tetapi dalam akhir novel ini, kita hanya akan diberi harapan bahwa Aini yang gigih dalam belajar, Aini yang dulunya tidak bisa menjadi bisa, Aini yang punya keinginan menjadi dokter, harus dihadapkan dengan keadaan miskin keluarganya, sampai kita tahu akhir kisahnya di novel Orang-orang Biasa.

Novel ini tidak hanya cocok untuk orang-orang yang berkeinginan menjadi guru. Banyak pesan moral yang disuguhkan melalui kisah perjuangan Aini dalam belajar dan meraih mimpinya, atau perjuangan seseorang yang memiliki ambisi, tujuan, serta pengorbanan untuk bertahan menjalani pilihan dalam hidupnya seperti kisah Guru Desi, atau bisa juga dari perspektif orang tua yang harus legowo menerima pilihan hidup anaknya sekaligus memberikan support kepada mereka untuk meraih mimpinya.

Novel inspiratif ini juga menyuguhkan banyak quotes dari Andrea Hirata melalui tulisannya, contoh:

  1. “Harus ada seseorang yang memulai sesuatu yang tak pernah ada.” (Halaman 10)
  2. Salah satu tugas utama orang tua di dunia ini adalah memuji anak-anaknya, apa pun yang terjadi. (Halaman 17)
  3. Diingatnya pesan Bu Marlis padanya, bahwa dia takkan menjadi kaya dan takkan selalu mendapat kesenangan dengan menjadi guru, namun akan sangat bahagia. Dari warung itu Desi menatap laut nan luas tak bertepi. Digenggamnya nyalinya dan dikatakannya pada diri sendiri sekali lagi , bahwa memutuskan untuk menjadi guru matematika berarti siap menghadapi kesulitan darat, laut, dan udara. (Halaman 25-26)
  4. Pada setiap kesulitan, tersembunyi kemudahan. (Halaman 69)
  5. Seribu bala tentara tak dapat mencegah anak itu. Mereka yang ingin belajar, tak bisa diusir. (Halaman 175)
  6. Pakaian yang kita pakai, posisi yang melekat di tempat duduk, ilmu yang kita kuasai, pekerjaan yang kita pilih untuk mencari nafkah, bahkan kata-kata yang belum kita ucapkan, tunduk pada hukum sebab-akibat. (Halaman 203)
  7. “Aku tak pernah menjelek-jelekkan orang di belakang mereka, Aini. Kalau aku mengkritik, kukritik langsung di depan mereka. Aku pun tak pernah keberatan dikritik di depanku. Tapi, aku juga takkan memujimu di depanmu, Aini. Pernahkah mendengar ajaran tabur pasir di mulut orang yang suka memuji?” (halaman 239)

Selain itu, dalam novel ini Andrea Hirata masih mempertahankan gaya bahasanya yang melayu – Indonesia, tetapi masih memuat unsur jenaka yang mudah dipahami untuk pembaca. Andrea Hirata sendiri mengaku jika ini adalah karya tersulitnya karena harus memulai riset selama 2 tahun. Tidak salah memang, jika anda memutuskan untuk membaca buku ini. Apalagi untuk pejuang cita-cita.

Tokoh-tokoh di dalam novel ini memang lebih kuat pada penggambaran Guru Desi dan Aini, tetapi kehadiran tokoh pendukung juga tak kalah penting untuk dimaknai pesannya. Seperti Guru Laila yang belajar melalui idealisme Guru Desi, atau kisah sahabat Aini yakni Sa’diah dan Enun, yang kadang memperolok Aini tetapi juga mendukungnya. Selain itu, Djumiatun teman sebangku Aini yang juga lamban, tetapi terinspirasi dari Aini.

Andrea juga menambahkan bumbu cerita berupa kehadiran Anissa, anak dari Debut yang pernah mengecewakan Guru Desi. Namun, alur cerita tersebut kurang kuat dan hampir keluar dari jalannya cerita tentang perjuangan Guru Desi yang mengajar Aini. Bahkan pembagian adegan dialog antara Debut dan Anissa, lalu Guru Desi dan Aini yang bergantian dan ditempatkan dalam satu bab yang sama, bisa membuat bingung para pembaca. Namun, Andrea hanya hendak menunjukkan rasa menyesal Debut dengan kehadiran anaknya, Anissa yang jenius matematika.

Selain itu, konflik yang dihadirkan dalam buku ini memang terlihat sangat sederhana tapi akan sangat kompleks jika pembaca menghayatinya lebih jauh. Nuansa perjuangan untuk meraih mimpi menjadi guru matematika sangatlah kental sehingga beberapa pembaca yang mempunyai mimpi lain akan kurang interest terhadap jalannya cerita.

Dalam novel ini, Andrea juga menceritakan jika Guru Desi adalah seorang yang rupawan, cerdas, dan tegas. Namun, juga memiliki gaya nyentrik, ditambah dengan luka tiga jahitan di dahinya.

Secara keseluruhan cerita ini sangat bagus untuk dibaca oleh anak bangsa yang sedang berproses atau mempertahankan mimpinya. Memang ciri khas dan keahlian Pak Cik dalam membuat novel kehidupan seperti ini. Sangat inspiratif!

 

Penulis: Aisyah Amira Wakang


TAG#akademik  #karya-sastra  #pendidikan  #review