» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Liputan Khusus
Kebenaran Menjadi Korban Pandemi
12 Mei 2020 | Liputan Khusus | Dibaca 1496 kali
Sumber: Kuliah Online "Peran Jurnalisme di Era Pandemi” Foto: Riset Reuters Institute University of Oxford
Menurut riset yang dilakukan oleh pusat penelitian Reuters Institute di Universitas Oxford, Public otority atau pemerintah dalam menangani Covid-19 menjadi tema yang paling banyak diperbincangkan untuk penyebaran hoax. Hal ini menjadi sumber ketegangan baru antara otoritas dan jurnalis. Wahyu Dhyatmika, pemimpin redaksi majalah TEMPO menjelaskan, “media yang kritis pada akhirnya takut apabila tidak mengikuti narasi besar dari pemerintah. Akibatnya, kebenaran juga menjadi korban di era pandemi.”

retorika.id- Dalam sesi kuliah online bertemakan “Peran Jurnalisme di Era Pandemi” yang diadakan oleh Departemen Ilmu Komunikasi pada Jumat, 8 Mei 2020 lalu, Wahyu Dhyatmika, pemimpin redaksi majalah TEMPO menegaskan, ”media yang kritis pada akhirnya takut apabila tidak mengikuti narasi besar dari pemerintah. Akibatnya, kebenaran juga menjadi korban di era pandemi.”

Ia menjelaskan bahwa, para penguasa atau otoritas biasanya bisa menjadi pemegang tunggal kebenaran agar pola-pola atau strategi penanganan pandemi bisa lebih diimplementasikan. Dalam hal ini, pers dianggap sebagai pengganggu dalam upaya tersebut. Munculnya ketegangan atau extra presser dari pemerintah menjadikan pers tidak boleh


keliru dalam menyajikan informasi yang akurat.

Pers dianggap menimbulkan kepanikan, dianggap menanyakan hal-hal yang tidak pada tempatnya untuk dikritisi, dan menimbulkan isu atau misinformasi yang lebih luas. Pers juga mengutip hal-hal yang justru belum pasti kebenarannya sehingga malah membuat kebingungan itu jadi meluas.

Banyaknya missinformasi atau Hoax yang beredar menjadikan aparat keamanan juga memperketat hukum di era pandemi. Meskipun belum ada kasus wartawan yang secara spesifik terkena UU ITE atas pemberitaan Covid-19. Namun, hal ini menimbulkan self-sensorship bagi media. Wahyu menjelaskan, “media menjadi menyensor dirinya sendiri ketika ada kecenderungan penegak hukum mengabaikan Undang-Undang Pers untuk mengkriminalisasi wartawan.”

Berita baiknya, ada hal-hal yang sudah dilakukan dengan baik oleh wartawan, yakni kolaborasi oleh berbagai media untuk melakukan cek fakta. Sebab, dalam prosesnya tidaklah mudah dan butuh waktu rata-rata 5 – 8 jam untuk mengecek miss informasi atau hoax yang beredar. Dengan mengecek sumber pertamanya, akun mana yang pertama kali menyebarkan, lalu mem-breakdown elemen-elemen yang membangun hoax tersebut seperti foto, video, kalimat. Kemudian meninjau kembali sejauh mana manipulasinya, dan sebagainya.

Kerjasama antara media dengan perusahaan teknologi yang ada dibalik media sosial juga sangat dibutuhkan. Tanpa hal tersebut media akan kesulitan, karena ia mempunyai data viral atau tidaknya berita. Mereka juga punya warning untuk memberitahu masyarakat.

Pada Hari Pers Dunia kemarin, yakni 3 Mei 2020. Wahyu juga turut menjelaskan, bahwa pers tidak bisa dibatasi atau dikekang ketika menjalani tugasnya. Karena yang harus dilakukan pers adalah menjadi counter atau menjadi upaya check and balance untuk upaya-upaya pencegahan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah. Jadi informasi yang benar-benar akurat bisa menolong banyak orang di tengah kebingungan. Namun juga, bisa mendorong orang ke arah yang produktif untuk mencegah pandemi. Itu juga dibutuhkan transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah.

 

Penulis: Aisyah Amira Wakang

 


TAG#akademik  #pemerintahan  #pers-mahasiswa  #