» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Pop Culture
Kehidupan Mistis Dua Sastrawan Kenamaan Jepang: Kawabata dan Mishima
27 Maret 2020 | Pop Culture | Dibaca 2644 kali
Sumber: Mishima dan Kawabata Foto: Pinterest
Entah Mishima atau Kawabata, keduanya nampak tampil sebagai seorang yang misterius dan selalu menimbulkan tanda tanya bagi penggemarnya. Hingga tiba-tiba sisi gelap kehidupan sastra Jepang diulangi kembali seperti yang sudah-sudah dialami oleh Akutagawa dan beberapa penulis Jepang lain yang meregang nyawa dengan bunuh diri. Sastra Jepang memang dianggap sebagai sastra yang gelap daripada sastra-sastra yang lain.

retorika.id - Ketika kabar tentang Yukio Mishima tiba-tiba melakukan bunuh diri “Seppuku” di Markas Angkatan Bela-Diri Jepang, Yasunari Kawabata tiba-tiba datang dengan pakaian lengkap belasungkawa ala orang jepang dan masuk mengunjungi jasad anak didiknya itu.

Kehidupan sastra Jepang tahun 1970 hingga 1980-an, memang mengalami banyak sekali kisah-kisah aneh dan sangat sulit dicerna oleh orang-orang di sekitarnya. Tidak hanya didapati dari karya sastra mereka, tapi dari kehidupan mereka masing-masing yang mungkin banyak orang harus garuk-garuk kepala untuk sekedar mengerti maksud mereka.

Peraih Penghargaan Nobel Kesusatraan Jepang yang pertama, Yasunari Kawabata adalah orang yang dikenal pendiam, tidak terlalu ambisius dan seakan-akan mengerti kehidupan orang-orang jepang selayaknya orang-orang biasa. Jiwa-jiwa Shinto-nya yang mengalir bagaikan air melekat pada sosok Kawabata yang terkenal dengan sikap tenangnya.

Kawabata sudah menulis banyak sekali buku waktu itu, mulai dari buku yang terkenal dan membawanya dalam kancah sastra dunia, Yukiguni (1948) atau yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris Snow Country (1956).  Juga buku-buku lain seperti Nemureru Bijo (1961) atau dalam bahasa Inggris The House of Sleeping Beauties, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Rumah Perawan. The Sound of Mountain (1949), The Old Capital (1962), Thousand Cranes (1958) dan banyak lagi buku-buku yang dituliskan dengan apik oleh Kawabata.

Kawabata dikenal dengan gaya penulisan yang mendayu-dayu, mendetail, dan memasukkan unsur-unsur magis dalam setiap tulisannya. Ketika membaca tulisan Kawabata, orang akan tahu secara detail bagaimana kereta api zaman dulu itu bisa berjalan, bagaimana jamuan teh itu dihidangkan, mendetail. Kawabata menceritakannya bahkan sampai ketika panen para petani teh di Kyushu, hingga tulisan tentang seksualis-erotis antara cinta dan mati yang sampai sekarang menjadi ciri-khas seni sastra Jepang.

Namun di awal tahun 1940-an, ketika Kawabata sendiri belum begitu dikenal orang sebagai sastrawan, tiba-tiba muncul seorang muda yang ingin menjadi murid dari Kawabata. Pemuda itu sewaktu belajar padanya, cukup lama ia menetap dan berguru pada


Kawabata di kediamannya di Kamakura. Pemuda itu menggunakan nama pena yang diambil dari seorang Jenderal Kekaisaran Jepang yang mati secara terhormat, bernama Yukio Mishima. Karena penggunaan nama pena itulah, orang-orang mengenalnya sebagai Mishima daripada nama aslinya.

Mishima sendiri sudah mulai aktif menulis sejak tahun 30-an akhir, Mishima aktif menulis cerita pendek di beberapa majalah dan koran. Berbeda dengan Kawabata yang terkesan tenang dan kalem, Mishima memiliki pribadi yang keras, tegas, dan terburu-buru. Mishima sendiri mulai dikenal orang ketika ia menulis sebuah roman, tentang kehidupan pemuda dengan semangat Bushido yang bertajuk Runaway Horses (1969). Juga buku-buku lain yang tak kalah mendebarkan jika dibaca, seperti Confessions of a Mask (1949) yang menceritakan tentang bocah kecil berorientasi homoseksual yang takut menghadapi kehidupan, After the Banquet (1960), The Frolic of the Beast (1961), serta Kyoko’s House (1959).

Tulisan Mishima tidak menggambarkan ketenangan, aliran kehidupan dan kesunyian seperti yang digambarkan oleh Kawabata. Tulisan-tulisan Mishima biasanya bertajuk kebebasan, semangat, dan khayalan-khayalan yang sulit dicerna orang kebanyakan. Entah mengapa Mishima malah lebih tertarik dengan kehidupan penderitaan. Orang banyak berkata ia memiliki indikasi mengidap Sado-masochism, sebuah kepribadian yang menikmati betul rasanya penderitaan.

Kehidupan dua sastrawan ini berjalan baik dan biasa-biasa saja, Mishima yang mulai dikenal banyak orang di penjuru dunia, mengadakan tour keliling dunia untuk mengunjungi para fans-nya. Ketika itu, pamor Kawabata mulai meredup, sedang pamor anak didiknya sedang meningkat. Mishima beberapa kali masuk dalam kandidat peraih nobel Sastra. Hingga saat itu, belum ada satupun orang Jepang bahkan orang Asia yang berhasil meraih Nobel Sastra. Juga Kawabata, orang yang terkenal sering diam di rumahnya di Kamakura itu juga seringkali masuk sebagai kandidat peraih Nobel Sastra.

Hingga suatu ketika, sorotan orang-orang terhadap penghargaan Nobel Sastra akan jatuh pada Mishima. Orang menilai bahwa Mishima telah membawa arogansi baru dalam dunia sastra, termasuk memberikan unsur kebebasan dan khayalan-khayalan. Mishima yang memang sedang tour keliling dunia, meminta restu kepada Kawabata sebagai sastrawan Jepang juga, agar ia mudah mendapatkan Penghargaan Nobel Sastra itu.

Kawabata juga menuliskan surat untuk Mishima, namun dengan tenang ternyata Kawabata sendiri juga punya keinginan untuk mendapat penghargaan Nobel Sastra. Dalam surat itu, Kawabata menuliskan dan meminta kepada Mishima juga merestuinya andaikata Akademi Kerajaan Swedia memilihnya.

Mishima yang sudah mendapat angin di atas awan merasa bahwa ialah yang akan mendapat Nobel Sastra, hingga ia sudah siapkan Jet Pribadi yang akan membawanya dari Yunani menuju Jepang untuk menemui para fans-nya yang memang sudah mengelu-elukannya jika ia memenangkannya. Namun ketika pengumuman dikeluarkan, ternyata nama Kawabata-lah yang dipilih oleh Komite Akademi Kerajaan Swedia sebagai Peraih Nobel Sastra tahun 1968.

Mishima tidak gegabah, ia juga menyelamati gurunya atas penghargaan itu. Mishima juga tetap menjalani hidupnya sebagaimana biasanya, ia juga masih aktif menulis, juga aktif membentuk paramiliter yang diberi nama “Tatenokai”, dan kegiatan-kegiatan lain yang menurut sebagian orang dipandang sebagai hal yang aneh.

Mishima mulai menunjukkan sikap-sikap anehnya mulai saat itu, entah itu menjadi model foto dengan tangan terikat dan tubuh yang dipenuhi busur panah, meletupkan kembali semangat konservatif ala samurai Bushido dan kejayaan Kekaisaran Jepang, dan mulai berani menampakkan ciri-ciri gay-nya.

Hingga suatu ketika, entah dapat bisikan mistis darimana, Mishima bersama empat anggota “Tatenokai” lain mengunjungi markas Angkatan Bela-Diri Jepang di Ichigaya. Mereka tiba-tiba menyekap Jenderal dan meminta Jenderal untuk mengumpulkan Angkatan ke-empat ke lapangan. Ketika mereka semua tentara Jepang sudah berkumpul di lapangan, Mishima berpidato di atas balkon dengan berteriak, “Orang Jepang zaman sekarang cuma mikirin duit dan politik!, mereka tidak tahu orang Jepang itu harus mencintai dan membela negaranya!,” Mishima teriak begitu di depan para tentara yang berkumpul. “Kalian para tentara, kalian harus ikut aku untuk mengembalikan jabatan Kaisar sebagaimana mestinya, Jepang tidak boleh dikotori dengan politik!,”

Bukannya mendapat sambutan yang baik, Mishima malah mendapat cemoohan dan lemparan topi sampai helm dari tentara-tentara itu. Wartawan yang sempat ia undang untuk datang juga ikut meliput kehebohan yang dibuatnya itu. Sampai-sampai datang helikopter yang berputar-putar di atasnya, membuat suara Mishima tidak terdengar dengan jelas, antara suaranya atau suara cemoohan tentara. Mishima menyerah dan akhirnya memilih untuk kembali masuk ke dalam ruangan Jenderal.

Mishima tiba-tiba melepas pakaiannya, dengan pisau bermata dua, tiba-tiba ia berdiri di atas lututnya dan menancapkan pisau itu ke dalam perutnya. Entah bagaimana, Mishima mencabutnya untuk pertama kali. Banyak yang berkata, ia kebingungan dan kesakitan dengan itu. Darah sudah mengucur dari perutnya, namun dengan tangan gemetar dan wajah yang sudah pucat, Mishima mengulanginya lagi dan sekuat tenaga ia tarik pisau itu dari sisi kanan perutnya sampai ke sebelah kiri perutnya.

Kabar tentang bunuh dirinya Mishima mulai menjadi perhatian serius di berbagai radio dan koran Jepang. Termasuk dari gurunya, Kawabata, yang saat itu masih menghadiri sebuah pemakaman akhirnya langsung bergegas ke Ichigaya masih lengkap mengenakan pakaian belasungkawanya.

Hari-hari berlalu dan Kawabata semakin dihantui oleh Mishima. Kawabata merasa dihantui terus-menerus oleh Mishima yang nekat meregang nyawa seperti itu. Orang-orang menduga apa yang dilakukan oleh Mishima ada niat di baliknya, termasuk Kawabata. Kawabata semakin hari semakin kepikiran dengan kejadian Mishima, ia dikenal lebih pendiam dari biasanya semenjak kejadian itu. Kawabata akhirnya ditemukan di kamarnya dalam kondisi tak bernyawa dengan selang gas di sekitar wajahnya, hanya beberapa bulan setelah kejadian Mishima. Orang menduga Kawabata juga meregang nyawa dengan bunuh diri.

Banyak yang menduga dua sastrawan besar dari Jepang itu memiliki intrik mistis dalam kehidupannya. Entah Mishima entah Kawabata, keduanya nampak tampil sebagai seorang yang misterius dan selalu menimbulkan tanda tanya bagi penggemarnya. Hingga tiba-tiba sisi gelap kehidupan sastra Jepang diulangi kembali, seperti yang sudah-sudah seperti Akutagawa dan beberapa penulis Jepang lain yang meregang nyawa dengan bunuh diri. Sastra Jepang memang dianggap sebagai sastra yang gelap daripada sastra-sastra yang lain.

Penulis: Muhammad Alfi Rahman


TAG#budaya  #karya-sastra  #sejarah  #seni