» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Mild Report
Menunggu Kedaulatan Masyarakat Adat di Indonesia
23 September 2019 | Mild Report | Dibaca 1963 kali
13 September lalu diperingati sebagai hari deklarasi hak-hak masyarakat adat. Konvensi tersebut sering disebut sebagai United Nation Declaration on The Right of Indegenous Peoples (UNDRIP). Deklarasi tersebut menghasilkan UNDRIP, yang mana berusaha untuk memberikan hak-hak kepada masyarakat adat.

Menunggu Kedaulatan Masyarakat Adat di Indonesia

retorika.id - 13 September lalu diperingati sebagai hari deklarasi hak-hak masyarakat adat. Konvensi tersebut sering disebut sebagai United Nation Declaration on The Right of Indegenous Peoples (UNDRIP). UNDRIP terbentuk dari pertemuan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dilakukan pada Kamis, 13 September 2007.

Sebagaimana dilansir dalam website PBB, Pertemuan tersebut menghasilkan sebanyak 144 mayoritas negara pendukung, 4 negara menolak (Australia, Kanada, Selandia Baru dan Amerika Serikat) dan 11 negara abstain (Azerbaijan, Bangladesh, Bhutan, Burundi, Colombia, Georgia, Kenya, Nigeria, Russia, Samoa dan Ukraina).

Kesepakatan tersebut menghasilkan UNDRIP, yang mana berusaha untuk memberikan hak-hak kepada masyarakat adat. Ia menekankan beberapa aspek dalam hak-hak masyarakat adat. UNDRIP memiliki beberapa tujuan yang dipublikasikan dalam laporannya.

Pertama, deklrasi ini menegaskan bahwa setiap orang menganggap bahwa masyarakat adat adalah setara dengan yang lainnya. Setiap orang harus juga mengakui hak-hak kelompok lain yang memiliki perbedaan, dan hak tersebut haruslah dihargai.

Kedua, setiap orang harus mengakui pentingnya menghargai dan mengenalkan hak-hak azasi masyarakat adat. Hak masyarakat adat yang harus diakui meliputi kehidupan politik, ekonomi, dan struktur sosial dari kebudayaannya. Lalu, hak masyarakat adat yang paling penting adalah keberadaan wilayah, tanah, dan juga sumber dayanya.

Melalui laporan tersebut, PBB menekankan untuk menghargai bahwa masyarakat adat dapat menentukan nasibnya sendiri. Mereka dapat menentukan nasibnya berdasarkan nilai-nilai kebudayaanya. Masyarakat adat memiliki hak untuk mengembangkan hal tersebut berdasarkan lokalitasnya. Pengakuan terhadap masyarakat adat tersebut berdasarkan pada Hak Sosial dan Politik (SIPOL), tetapi UNDRIP lebih spesifik memfasilitasi masyarakat adat.

 

Indonesia dan Kebebasan Masyarakat Adatnya

Di Indonesia sendiri, masyarakat adat memiliki dinamikanya, Indonesia sendiri tentu memiliki banyak sekali dan beragam kepentingan masyarakat adat. Keberagaman dalam dinamika itu menyimpan permalasahan tertentu. Untuk mengatasi konflik-konflik baik horizontal maupun vertikal, masyarakat adat mencoba untuk mengonsolidasi kepentingan-kepentingan mereka. Sebuah aliansi yang menyuarakan suara masyarakat adat didirikan dan kemudian dinamai Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

AMAN merupakan


suatu organisasi masyakarakat independen di Indonesia yang menaungi problematika masyarakat adat. Anggota organisasi ini terdiri atas masyarakat adat dari seluruh pelosok Indonesia. AMAN sendiri didikiran pada tahun 2001, pendirian tersebut terhitung secara resmi di dalam Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia sebagai organisasi persekutuan.

Sebenarnya, jika melansir pada website milik AMAN, organsisasi ini telah ada dan berkembang sejak lama. Tetapi, organisasi ini hanya hadir sebagai bentuk gerakan masyarakat adat sebelumnya. Pergerekan masyarakat adat sebelum dibentuknya AMAN, dapat dikatakan cenderung bersifat Sporadis. Sebelumnya, gerakan AMAN hanya bersifat konsolidasi atau memersatukan jaringan masyarakat adat.

Hadirnya gerakan masyarakat adat merupakan bentuk reaktif dari pembangunan pemerintah. Pemerintah saat itu dikuasai oleh rezim Orde Baru (Orba) yang saat itu sangat gencar-gencarnya melakukan proyek pembangunanya. Akibat pembangunan rezim Orde baru tersebut, banyak aktivis dan juga ilmuwan sosial yang melihat dampak negatif dari pembangunan Orde baru, utamanya terhadap peran-peran masyarakat adat yang semakin terkesampingkan. Kesadaran tersebut mulai muncul di awal tahun 1980an.

Proyek besar-besaran Industrialisiasi dan Pembangunan di Indonesia, harus membunuh peran-peran masyarakat adat. Seperti yang dikatakan oleh Sintong Pandjaitan dalam memoarnya, “Perjalan Seorang Prajurit Para Komando,” bahwa Presiden Soeharto tidak menghendaki adanya perbedaan signifikan antar daerah. Bahkan, Yogya dan Aceh sebagai daerah istimewa sudah tidak lagi dianggap istimewa.

Presiden Soeharto mencoba untuk mengambil peran-peran Persatuan Indonesia dengan asas keseragaman. Seluruh bentuk perbedaan diminamilisasi seminimal mungkin, Kepala Negara berdalih hal ini digunakan untuk memelihara stabilitas nasional, meminimalisasi celah-celah persatuan dan meneruskan pembangunan. Bahkan beberapa kasus adat mencuat saat rezim Orde Baru Berkuasa, seperti kasus etnis tionghoa, dan juga kasus-kasus lain, seperti kasus de-Koteka-nisasi di Papua pada era Pemerintahan Gubernur Acub Zaenal.

Namun pada awal-awal tahun 1990-an, Presiden Soeharto sadar terhadap kemajemukan khazanah bangsa dan membuka secara pribadi Kongres Kebudayaan Nasional dan Festival Istiqlal tahun 1991.

“Kita makin sadar akan kekayaan khazanah kebudayaan kia yang amat majemuk, yang telah dan sedang serta tetap akan selalu menjadi motor penggerak yang akan kuat bagi pembangunan nasional kita di masa datang,” Ujar Presiden saat membuka acara.

Masyarakat adat baru mulai berkonsolidasi di tahun 1990an, khususnya 1993. Konsolidasi masyarakat adat ditandai dengan diciptakannya Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat (Japhama). Japhama sendiri diinisiasi oleh tokoh adat, aktivis, akademisi dan pendamping hukum.

Japhama kemudian berhasil mengadakan Kongres Masyarakat Adat Nusantara pertama, KMAN I di Hotel Indonesia, 17-22 Maret 1999 Jakarta. Kongres tersebut, memuat tentang terkait visi, misi, garis haluan organisasi dan lain-lain. Mereka juga membicarakan terkait eksistensi masyarakat adat. Oleh karenanya, tanggal 17 maret 1999 ditandai sebagai hari terbentuknya Aman. Maka dari itu, tanggal 17 selalu diperangati sebagai Hari Kebangkitan Masyarakat Adat (HKMAN).

Dalam KMAN I, mereka mempermasalahkan sikap pemerintah terhadap masyarakat adat. Bagi mereka masyarakat adat telah ada sebelum adanya Negara. Maka dari itu, mereka mengatakan bahwa tidak akan mengakui negara, bila negara tidak mengakui mereka. Kehadiran KMAN I merupakan titik balik gerakan masyarakat adat. Tidak hanya berhenti disitu, AMAN hingga sekarang masih aktif melakukan evaluasi terhadap pemerintah. Ia terakhir membagikan Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2018 yang berjudul “Senjakala Nawacita dan Masa Depan Masyarakat Adat” diterbikan pada tahun 2019.

 

Darurat Adat melawan Industri di Indonesia

Catatan Akhir tahun 2018 milik AMAN, berhasil merekam permasalahan masyarakat adat di Indonesia. Ia memaparkan terdapat tiga permasalahan yaitu; perampasan wilayah adat karena lahan sawit, perampasan wilayah karena pertambangan, dan pengabaian hak masyarakat adat dalam pembangunan kebun tebu.

Pertama, Perampasan wilayah adat karena lahan sawit dialami oleh masyarakat adat Laman Kinipan yang berada di Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah. Konflik tersebut merupakan konflik antara masyarakat adat Laman Kinipan dengan PT. Sawit Mandiri Lestari (PT.SML).

Dalam laporannya, Pada 21 Juni 2012 kedatangan PT.SML telah membuat hilangnya 2000 hektar Hutan adat Komunitas Kinipan. Laporan tersebut juga menyoroti dampak dari keberadaan tambang adalah hilangnya wilayah dan hutan adat komunitas Kinipan. Dalam hal ini, masyarakat adat Kinipan kehilangan sumber dan mata pencaharian, kehilangan budaya gotong royong, rusaknya anak sungai di beberapa titik, dan potensi konflik internal masyarakat adat Kinipan.

Dampak perkebunan sawit tersebut memiliki keselarasan dengan laporan Human Right Watch (HRW) 2019, bahwa “Pembukaan lahan perkebunan telah membuat luas hutan berkurang dan menyebabkan kebakaran-kebakaran hutan-akibatnya: polusi udara dan perubahan iklim yang semakin parah”.

Masyarakat adat Kinipan sendiri telah mengirimkan surat penolakan pemberian izin Hak Guna Usaha (HGU) PT.SML kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang pada 7 Juni 2018. Namun begitu, surat yang mereka kirim mendapat respon yang kurang memuaskan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak memberikan upaya tindak lanjut terhadap konflik tersebut.

Kedua, Konflik antara masyarakat adat Papar dengan perusahaan tambang PT. PADA IDI. Masyarakat adat Papar terletak di Desa Luwe Hulu dan Desa Papar Pujung, Kecamatan Lahei Barat, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah.

Dalam catatan laporan AMAN, masyarakat adat Papar memiliki luas lahan adat 7.929,97 hektar. Namun terdapat sekitar 1.983,77 hektar lahan masyarakat adat papar yang diberikan oleh pemerintah kepada PT. PADA IDI, tanpa kesepakatan dengan Masyarakat Adat Papar. Tidak hanya itu, PT. PADA IDI juga melakukan operasi penambangan di dua titik lain wilayah adat Papar Pujung selain yang diizinkan oleh pemerintah.

Masuknya PT. PADA IDI ternyata tidak ada persetujuan atau konsultasi dengan masyarakat adat Papar ini membawa banyak sekali masalah. Lebih dari itu, PT. PADA IDI juga mendapatkan lahan melalui masyarakat yang berada di Desa Inu. Hal tersebut menyebabkan terjadinya konflik horizontal lain, yakni antara Masyarakat Adar Papar dengan Masyarakat Desa Inu.

Penambangan di wilayah adat Papar menyebabkan dampak lingkungan hidup masyarakat. Dampak tersebut adalah rusaknya hutan milik masyarakat papar. Penambangan menjadikan hutan-hutan tersebut menjadi areal tambang yang gersang dan tandus. Banyak lokasi sakral yang berubah hanya menjadi lubang dan jurang-jurang bekas tambang. Hal tersebut tentu menyebabkan polusi udara dan berpengaruh langsung terhadap lingkungan.

Dalam catatan AMAN itu, masih teradapt pengabaian hak-hak masyarakat adat pada pembangunan kebun tebu milik PT. Muria Sumba Manis. Fenomena ini terjadi di masyarakat adat yang tinggal di Desa Watu Puda, Desa Watu Hadang dan Desa Ulmalulu, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Masyarakat tersebut melakukan penolakan terhadap pembangunan kebun tebu di wilayah adat mereka pada 3 Juli 2018. Aksi tersebut terjadi karena Pemerintah Kabupaten Sumba Timur memberikan izin kepada PT. Muria Sumba Manis (MSM) seluas 788 hektar, dengan mengabaikan suara masyarakat adat. Pemberian izin tersebut tidak dilakukan oleh pemerintah melalui proses persetujuan masyarakat setempat.

Dampak dari pembangunan tersebut adalah perusahaan melakukan perampasan hutan dan wilayah yang disakralkan oleh masyarakat adat. Sebab wilayah tersebut merupakan lahan untuk peternakan dan tempat ritual masyarakat adat.

Berkaca pada berbagai kasus yang merugikan masyarakat adat tersebut, diperlukan kehadiran pemerintah untuk menegaskan kembali kedaulatan masyarakat adat. Sebab pemerintah sendiri telah mengakui hak-hak masyarakat adat yang disetujui oleh PBB.

 

Penulis: Anugrah Yulianto


TAG#demokrasi  #lingkungan  #politik  #sosial