» Website: https://www.retorika.id » Email: redaksi@retorika.id, lpmretorikafisipua@gmail.com » Alamat: Gedung FISIP Unair, Jl. Dharmawangsa Dalam 4-6 Surabaya 60286 » Telepon: .

Sastra & Seni
Tersirat dan Tersurat
18 Februari 2019 | Sastra & Seni | Dibaca 2173 kali
Bertepuk Sebelah Tangan: Teman Masa Kecil Foto: The Mirror
Sebuah kisah di antara teman masa kecil yang telah mengenal satu sama lain dan dipertemukan dalam situasi yang berbeda. Akankah cinta mereka bersemi? Atau kandas dikarenakan perbedaan dan kenyataan yang ada? Berlatar pinggiran Kota Jakarta yang sederhana.

retorika.id - Perapian tungku sedang dipersiapkan di dapur. Kayu bakar disusun rapih ditambah siraman minyak tanah. Dandang besar diletakkan di atasnya, yang kemudian api disulut dengan sebatang korek api pada tungku tersebut sampai api menyala dan membakar kayu yang telah disusun untuk beberapa menit. Seorang wanita paruh baya itu cukup cekatan menyiapkan tungku dan dilanjut dengan mengeluarkan rempah-rempah seperti, santan, daun salam, serai, jahe, lengkuas, garam, dan lain-lain dari sekantong plastik bening berukuran besar. Walau  terlihat usianya yang sudah senja, tangannya masih cukup telaten bergerak memisahkan bahan-bahan itu.

Cucu laki-lakinya yang bernama Malih kerap membantu sang nenek dari pagi untuk membuat Nasi Uduk Betawi untuk dijual di teras rumah. Aktivitas ini rutin dilakukan dari pukul 03.00 subuh, agar pada pukul 06.30 pagi, Nasi Uduk siap dijual kepada para orang-orang yang berlalu lalang di sekitar rumahnya.

Kata pelanggan yang pernah membeli, aroma wangi yang khas menggoda dari Nasi Uduk buatan Nenek Ida sangat menarik orang-orang untuk membeli. Cocok sekali membangkitkan nafsu makan waktu pagi hari. Buatan tangan Nenek Ida sangat berbeda daripada yang lain, nasinya tidak apek, tekstur tidak lembek dan tidak terlalu lengket, dan takaran racikannya pas.

Selain menu utama, bakwan dan kue pukis juga dijajakan sebagai teman makan Nasi Uduk. Waktu mulai berjualan, terkadang dalam hitungan dua jam saja dagangan Malih dan neneknya sudah ludes terjual. Banyak pelanggan setia Nenek Ida dan Malih yang menyarankan untuk memperbanyak produksi harian mereka.

"Bu, nasinye mantep nih! Aye demen, harumnye semerbak bangat. Rasanye juga nagih," puji pelanggan setianya, Bang Udin.

"Iye, Udin ae ampe nagih, tiap pagi udeh di mari aje," ujar Bu Siti dan melanjutkan bicaranya, "tapi coba dong bu, banyakin lagi jualnye. Mayan nih digedein."

Namun Nenek Ida sendiri tidak dapat menyanggupinya karena keterbatasan tenaga dirinya, walau sudah dibantu oleh cucunya. "Ah bisa aje Bu Siti, Bang Udin, Alhamdulillah udeh sanggup jual segini, kalo kebanyakan takut pinggang aye," jawab Nenek Ida sambil melucu. Bang Udin dan Bu Siti ikut tertawa, sedangkan Malih hanya tersenyum mendengar candaan nenek dan tetangganya itu. Jadi saat dagangannya habis, mau tidak mau pelanggan yang datang terlambat harus menelan kekecewaannya.

Kepergian kedua orang tuanya dari dunia, memaksa Malih harus belajar mandiri dari kecil bersama neneknya. Tugas menjaga dan merawat neneknya juga diemban selain berdagang Nasi Uduk setiap pagi.

Di saat teman-teman seusianya sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, nongkrong di kafe, pergi ke mall, Malih memilih berdagang Nasi Uduk bersama neneknya, dan di samping itu ia juga bekerja sebagai ojek online dan menjadi sales di toko retail, mengingat biaya kuliah juga mahal dan tidak dapat disanggupi olehnya tiap semester.

Nenek Ida yang menyadari usianya semakin senja sudah mewarisi resep makanan khas Betawi yang melegenda ini dari berdagang bersama cucunya. Bekal ini amat begitu berharga bagi Malih, selain menjaga resep keluarga tetapi juga sebagai wujud bakti terhadap neneknya.

Sore hari setelah "narik" penumpang, Malih duduk di depan rumahnya untuk istirahat sejenak. Macetnya jalanan Ibu Kota sangat


menguras tenaga dan kesabaran. Di kursi teras ia hanya terdiam dan memejamkan mata.

"Malih?" sahut seorang perempuan memanggil namanya. Yang dipanggil sontak membuka mata.

Seorang gadis berambut sebahu memakai baju warna kuning yang memanggilnya. Ia fokus memperhatikan siapa yang berdiri di sana, wajahnya tidak asing baginya karena baru bertemu beberapa hari lalu. "Ehh.. elu Patimeh. Ade ape nih?" Malih membenarkan posisinya di kursi.

Lirikan mata Fatimah serius memperhatikan jaket ojek yang masih dikenakan Malih, "Ngga, manggil lu doang. Baru pulang narik ye?" Firasatnya menebak dengan benar.

"Ya elu liat sendiri, baru nyampe rumah nih," Raut wajah Malih berubah senyum semringah. "Duduk dulu sini, jangan diem bae di depan, hehe," ujar Malih menyuruh Fatimah duduk di samping kirinya. Fatimah meng-iyakan.

Sesosok wanita cantik di depannya ini kerap membuat ia sedikit salah tingkah dan kadang bertindak berlebihan, namun Fatimah meresponnya dengan tawa, pertanyaan di kepalanya siap dilontarkan, "Kapan lu libur kuliah? Biar bisa jalan-jalan lagi kite, hehe," Tanya Malih dengan candaan. Fatimah tersipu malu.

"Desember, Lih. Gue lagi sibuk-sibuknya di kampus, ada acara, tugas ini itu." Fatimah menjawab santai, sambil berharap ia ingin memiliki waktu di rumah. Terkadang kuliah cukup membosankan.

"Oh. Enak ya kuliah? Gue belom ada kesempatan nih kayak elu," Malih menggarukkan kepalanya.

"Hmm.. ya gitu?" Fatimah menanggapi kalimat itu sedikit menghela nafas, tidak selamanya kuliah itu enak, dalam hati ingin dia katakan seperti itu.

Diam sejenak memisahkan komunikasi mereka. Anak-anak kecil berlarian mengejar layangan putus. Dalam pikiran mereka mencari sebuah kata demi kata, agar percakapan ini tidak begitu saja putus.

Kini diamnya mereka meluncur ke waktu masih anak-anak. Maklum, Fatimah dengan Malih baru saja bertemu kembali setelah lima tahun tidak berjumpa. Semenjak kecil mereka kerap bermain bersama, saling mengunjungi rumah satu sama lain.

Setelah kedua orang tua Malih meninggal saat masih kelas 5 SD, ia seakan-akan kehilangan harapan kebahagiaannya, ia murung selama sebulan. Fatimah mencoba mengangkat kembali motivasi diri Malih, dan ajaibnya dari sekian banyak teman Malih, hanya Fatimah yang berhasil mengembalikan semangat hidup seorang Malih kecil.

Nenek Ida berpesan pada Fatimah, "Jadikanlah diri kalian sebagai tempat kembali pulang bersama, cobalah saling mengerti dan melengkapi." Kata-kata itu, masih ingat oleh mereka berdua.

Seiring bertambahnya usia, Malih sudah sadar bahwa dia telah jatuh cinta pada teman kecilnya, Fatimah, alias Ipeh. Tapi semenjak Fatimah kuliah di Semarang, rasanya itu hanya ucapan, Malih tidak merasakan lagi Fatimah sebagai tempatnya untuk 'pulang'.

Suara terompet kecil bernada serak milik tukang Es Potong memecah keheningan sore di antara mereka. Tukang es itu menawarkan kepada mereka berdua, "Bang, Mpok, mao beli gak?"

Rindu jajanan kecil dahulu memancing keinginan mereka untuk membeli. Mereka membeli dua, masing-masing rasa coklat. Tapi Malih berpikir, kalau rasa Es Potong saja sama, kenapa perasaan aku dan dia tidak sama? Khayalan singkatnya terbang meninggi.

Cukup memecah keheningan berkat Es Potong, mereka kembali bercerita hangat. Namun di tengah pembicaraan, Siti menanyakan suatu hal yang sangat remeh pada Malih, "Lih, lu udeh punya pacar?"

Saat itu juga dada Malih tersentak. Dengan mantap ia menjawab, "Nggak Peh."Fatimah meragu, namun Malih bingung ada apa dengan pertanyaan itu. "Kenapa peh?"

"Gak apa-apa," ia canggung untuk bertanya-tanya lagi tentang masa depan Malih, terutama tentang perasaannya yang kini ntah ditutup-tutupi atau tidak.

"Lo sendiri udah punya pacar peh?" kini giliran Malih yang menembak pertanyaan itu ke Fatimah yang sedang menatap ke depan.

Fatimah gugup menjawabnya. Bibirnya bergetar, ada perasaan yang selama ini terkhianati, ada janji yang tidak bisa ditepati, dan akan ada luka yang sulit terobati.

Wajah Fatimah menunduk dan menoleh ke arah Malih, "Udah."

Singkat dan pasti. Jawaban itu terlontar. "Oh.. selamat deh," jawab singkat dari Malih. "Dia baik sama elu 'kan?" kini pertanyaan itu mulai menginterogasi perlahan diri Fatimah."

"Iya, baik Lih," Fatimah tersenyum.

Waktu sudah menyiratkanjelangnya maghrib, matahari telah terbenam meninggalkan sisa warna oranye dan ungu tipisnya di langit Jakarta yang indah. Fatimah harus pamit. "Malih, gue pamit dulu yak," perkataannya terdengar canggung. Malih merasa cukup untuk sore hari ini. Walaupun sebenarnya belum, "Oke deh, baek-baek di jalan," ujar Malih, "Besok beli Nasi Uduk ya, Peh!"

"Iyak, pamit ya. Wassalamu'alaikum," Fatimah berjalan keluar dan melambai ke Malih. Langkahnya yang kian menjauh terasa berat, ada yang ingin disampaikan olehnya tapi terasa tertahan di benak.

"Wa alaikum salam," jawab Malih.

Pertemuan yang cukup singkat, padahal mereka dulu main sampai lupa waktu. Kepolosan mereka membawa kesenangan, kini kedewasaan hanya menambah kenangan. Malih bangkit dari kursinya, ia melepas sepatu dan jaket ojeknya yang berwarna hijau itu. Ia masuk ke dalam rumah.

Pertemuan dengan Fatimah yang singkat membuat Malih ingin selalu bertemu, dekat dengannya. Pada pagi esoknya, setelah memasak Nasi Uduk, Bakwan, dan Kue Pukis, ia menanti pelanggan spesial yang sudah berjanji akan datang. Ia begitu bersemangat menunggu Fatimah, pelayanan maksimal dan terbaik ingin ia berikan padanya. Nenek Ida melihat sikap yang tidak biasa dari Malih – terlihat lebih riang – turut senang.

Satu persatu bungkus Nasi Uduk terjual, satu persatu kue pukis pindah tangan. Sampai pukul tujuh pagi, Fatimah belum kunjung datang. Dagangan Malih dan Nenek Ida sangat ramai pada hari ini, sudah terlihat semakin sedikit persediaan Nasi Uduknya, khawatir Fatimah tidak akan kehabisan. Malih tetap menunggunya sambil melayani pelanggan dengan sigap.

Waktu terus berjalan, pelanggan datang dan pergi, Nasi Uduk, Bakwan, dan Kue Pukis pun habis. Tapi Fatimah tidak kunjung datang. Raut wajah Malih berubah masam tidak bersemangat. Nenek Ida tidak ingin menanyakan alasannya, ia memberi ruang bagi Malih. Barang-barang dagangan beserta meja di masukkan kembali ke dalam rumah.

Tepat pukul delapan pagi, dagangan sudah ludes terjual cepat. Namun tidak secepat juga kedatangan Fatimah yang tak kunjung datang. Malih berspekulasi ke mana pun kemungkinan yang bisa ia tebak. Salah satunya adalah ia pergi, tapi entah ke mana.

Seusai barang dagangan selesai dibereskan, Malih pamit kepada Nenek Ida untuk ke rumah Fatimah. Dengan berjalan cepat ia lalui rumah demi rumah, sesekali menyapa orang-orang yang ia temui. Harapannya adalah sampai rumah Fatimah ia masih bisa menyapanya.

"Assalamu'alaikum, Patimeh?" Sahut Malih dari pagar luar rumah Fatimah. Tiga kali ia memanggil tidak ada yang menyahut. Ia masih tetap berusaha manggil, nihil. Tidak ada jawaban dari dalam rumah. Kini dugaannya benar. Ia merasa berat menerima kenyataan ini, kenapa cepat sekali?

Dari belakang punggung Malih, seorang ibu-ibu menyapanya. "Permisi, Malih?"

Malih menoleh, ia adalah asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Fatimah. "Oh iye Mpok, aye Malih. Patimehnya ada?"

Ibu itu menggeleng, "Sekitar setengah jam lalu pergi Mpok Patimehnya, balik lagi ke Semarang." Malih terdiam di tempat, ada rasa rindu yang belum terobati, kekecewaan menyerbak, Nasi Uduk spesial tidak jadi dibeli. Firasatnya benar. Ia pergi, dan tanpa pamit.

"Malih, ini ada titipan surat ke lu dari Patimeh, kebetulan kita ketemu di mari deh," asisten rumah tangganya dititipi sepucuk surat oleh Fatimah, dan surat itu ditujukan kepada Malih. Kenapa harus surat? Kenapa tidak bicara secara langsung? Spekulasi dari Malih mulai bermain lagi.

Ia berterima kasih kepada asisten rumah tangga itu dan langsung pamit pulang, "Bu, makasih banyak ya udah sampein, aye pamit dulu."

"Iyak, hati-hati, Lu," balas ibu itu dengan sedikit heran.

Sambil berjalan surat itu dibukanya, kertas putih bergaris warna hijau, merah, dan kuning, terlukis oleh huruf demi huruf, kata demi kata yang membentuk kalimat.

Surat itu tertulis:

 

"Malih, sorry gue balik ke Semarang duluan dan tanpa pamit. Gue harap lu ngerti, gue ngejar flight pagi. Jadi gak sempet juga beli Nasi Uduk Betawi legend buatan lu sama nenek lu. Gue lupa minta nomor lu, tapi dari sini aja dulu gue mau ngomong. Semenjak kita kenal dari kecil sampe sekarang berasa udah pas, tapi gue sedikit khilaf lupa sama lu. Gue punya perasaan lebih ke diri lu, gue harap lu juga sama, tapi mohon gue minta pengertian. Gue udah punya calon yang siap hidup bareng gue setelah lulus kuliah.

Mencintai dan nerima dia bukan suatu hal yang mudah, keadaan menuntut dan meluluhkan perasaan gue, dan akhirnya gue mantap memilih dia. Emang sakit, dan gue terus terang jujur soal ini ke elu. Dia orangnya baik, tapi sayangnya kenyamanan masih dominan sama lu, mungkin karena masalah waktu? Sekali lagi maaf, tapi suatu saat nanti kita ketemu lagi di lain kesempatan."

Dari aku, yang masih mencintai Malih.

 

Surat itu masih ia genggam, wajah Malih tertunduk, ia mencoba memahami dan mengerti semua ini. Ada rasa ketidakadilan yang diberikan oleh Tuhan terhadapnya, tapi apa ini? Beginikah merelakan seseorang yang dicintai sejak lama pergi begitu saja menuju tempat pulangnya yang baru? Namun tetap saja surat ini tidak terlalu menyentuh hatinya karena waktu belum terpisahkan jarak, cinta yang tersirat dapat dirasa, kini cinta harus tersurat yang hanya dapat dibaca.

Malih kembali berjalan pulang, dan seketika setetes air matanya jatuh. Ia masih bertanya, "Kenapa cinta terkadang aneh seperti ini?"

 

Penulis : Faiz Zaki


TAG#cerpen  #karya-sastra  #romansa  #