Fatimah rindu dengan Ibu Kota Jakarta, kerinduannya membawa hatinya untuk pulang setelah 5 tahun kuliah di Semarang. Ia berharap ada kabar dari orang yang selama ini ia tunggu, namun belum ada. Siapa yang ia rindukan?
retorika.id - Bahagianya aku hari ini, berkesempatan akan bertemu dengannya. Sudah lima tahun lamanya berkuliah di Semarang, kini waktunya aku pulang, walaupun skripsi masih kukerjakan. Panggilan rindu dari Ibu Kota Negara Republik Indonesia, kota kelahiranku dan tempat aku tumbuh dewasa membuatku ingin pulang. Akhirnya, kini aku berkesempatan berdiri di peron menunggu kereta ke arah Jakarta. Panjang rel di bawahku ini tak terhitung pasti bagiku. Aku hanya merasa ingin melesat kencang di atas rel ini hingga ke tempat tujuan. Aku telah melewati berbagai suka duka. Dikhianati teman, mengulang mata kuliah, dompet terjatuh di jalan saat menuju stasiun saat hendak bepergian, dan macam-macam pokok permasalahan lainnya. Biarlah aku kehilangan itu semua, aku ikhlas. Tapi aku tidak ingin kehilangan kamu, aku tidak ikhlas.
Orang-orang berbondong-bondong menenteng dan menggendong koper bawaan mereka menuju peron. Tampak sebuah keluarga dan terlihat beberapa individu yang sendirian seperti aku menunggu di peron, mungkin mereka akan mencari kerja di Jakarta, entah lah. Aku hanya ingin bergegas pulang. Aku menengok ke arah kanan peron, suara klakson kereta
api menandakan kereta sudah datang. Aku tersenyum, akhirnya. Ingin kuabadikan momen ini dan memperbaharui cerita di media sosial milikku, kuambil handphone hitamku dari saku sebelah kanan. Kunyalakan benda serba guna ini dan muncul beberapa pesan masuk, teman-teman lamaku sudah menunggu.
“Patimeh .. lu pulang hari ini kan? Fix kita harus ketemuan paslu udah sampe. Kabarin yak!” dari temanku Lela.
“Woy orang jauh. Hari ini lu pulang ‘kan? Nanti mampir ye ke rumah gue, emak masak banyak nih wkwkwk,” dari temanku Tuti.
Dari sekian pesan yang masuk, aku menanggapi tidak pada umumnya kepada temanku Tuti, dengan ucapan “Iyak, Iye” saja.
Aku hanya membalas pesan dari Tuti dengan candaan, “Iye ntar gue makan ke rumah lu, jemput ke stasiun ye? Biar gak naek ojek, mahal wkwkwk,” raut senyumanku melebar.
Kereta sudah berhenti dengan sempurna di depanku. Pintu telah dibuka, penumpang yang lain telah memasuki gerbong kereta duluan, aku masih terpaku di posisi awal. Masih mencari-cari pesan yang masuk dari dia. Dia, dia adalah orang yang membuatku rindu dan merindukanku tiap kali malam hari menelepon. Tapi sampai ke bawah aku cari di kolom pesan masuk, dia tidak mengirim pesannya kepadaku. Aku agak kecewa, khawatir, tapi berhubung aku dengan keadaan emosi yang baik, berpikir positif mengesampingkan spekulasi yang negatif. Mungkin saja ia agak lupa atau semacamnya.
* * *
Di dalam kereta api eksekutif yang terbilang nyaman ini membawaku ingin tertidur pulas. Di luar jendela sana terlihat sinar matahari terik menusuk kulit, serta goyangan gerbong kereta saat berjalan mengiringiku ke dalam keadaan rileks, pemandangan sawah yang hijau menghipnotisku, mataku tanpa kehendak tertutup seketika.
Dalam lelapnya tidurku, aku masih sempat bermimpi bahwa aku tidak akan bertemu dengan dia lagi, dia yang selalu kurindukan tiap malam dan dalam doaku, dia yang begitu perhatian padaku. Tapi seminggu belakangan ini dia menghilang begitu saja, tidak ada tanggapan atas pesan yang kukirim ke media sosialnya. Saat aku sampai nanti, aku ingin membeli bunga, dan memberi buah tangan berupa baju kaos distro yang mungkin dia sukai. Tidak lupa, semua itu dengan cinta.
Tubuhku serasa bergerak-gerak, dalam mimpi ini tidak ada yang menyenggolku dari bahu sebelah kanan. Semakin kencang goyangan itu, semakin terdengar suara seorang laki-laki, “Mbak, mbak, udah sampe, ayo bangun.” Kesadaranku kembali, ternyata aku tidur nyenyak selama perjalanan. Berdiam sejenak memperhatikan peron di Stasiun Pasar Senen yang mulai sepi penumpang dari keretaku tadi. Aku bangkit dari kursi dan keluar. Suhu udara di sini tidak ada berubahnya sama sekali, masih tetap panas, di luar sana sudah ada polusi kendaraan yang menyambut kedatanganku. Ya, aku merasakannya. Namun anehnya, aku tidak merasakan kehadirannya, dia, orang yang kurindukan.
Berjalan menuju pintu keluar dari peron ke arah terminal, orang-orang sudah ramai di sana. Aku masih berharap cemas, ntah kenapa, ada apa ini? Di tengah langkah kakiku yang lunglai akibat masih mengantuk, seseorang memanggilku dari belakang, “Patimeh?!” aku menoleh.
Wajahnya tidak asing, nafasku tidak beraturan, detak jantungku berdegup cepat, kantukku hilang seketika. Dia, dia. Dia orang yang kuingin temui selama ini, Malih.
Ia bertanya dengan nada lembut dan terdengar tenang di telingaku, “Mau ke mana?”
Penulis : Faiz Zaki
TAG: #cerpen #karya-sastra #romansa #